Pulang

133 85 33
                                    

Karya : Malik

Bunyi klakson menderu-deru di jalanan yang macet. Asap knalpot dari banyak kendaraan membuat nafas terasa sesak. Belum ditambah sinar matahari yang terik memanggang bumi. Peluh bercucuran membasahi kemeja.
  Azfar, pemuda berkemeja coklat itu meneguk habis minumannya. Ia melirik jam berwarna perak yang melingkar di tangan. 12:45, ia sudah duduk 4 jam di kursi bus itu. Pantatnya sudah terasa pegal.

   "Cangcimen cangcimen cangcimen!!" Suara cempreng milik seorang lelaki memenuhi seisi bus. Beberapa orang tampak membeli kacang. Azfar membuang muka, tidak peduli. Ia tidak berniat membeli jajanan lelaki itu.
   Setelah lelaki itu turun dari bus, dari arah pintu depan naik seorang ibu-ibu berpakaian lusuh. Wajahnya yang hitam dan kotor karena debu jalanan tampak berkeringat. Ia memasang senyum di wajahnya, mulai menawarkan minuman botol yang dibawa dalam box kecil berisi es batu.

  "Mas, Mbak minuman dinginnya nih yang haus yang haus..." Ia berjalan menghampiri semua kursi. Di depan sana seorang bapak-bapak membeli dua botol untuk anak juga dirinya. Ibu itu melayani dengan ramah, menyapa semua orang yang ada dalam bus. Tidak peduli meski orang itu tidak membeli dagangannya.
  Melihat ibu itu berjalan ke arahnya, Azfar segera mengeluarkan uang Rp. 20.000 dari saku celana. Sejak tadi ia memang sudah berniat membeli minum. Selain karena cuacanya panas menyengat, si ibu juga mengingatkan dirinya pada Ibu di kampung. Ia merasa kasihan padanya. Memikirkan panas-panas begini berjualan asongan.

  "Satu Bu!" Azfar menyodorkan uang lalu menerima minuman pilihannya.
  "Mau kemana Mas?" Si ibu basa-basi bertanya sambil mencari uang kembalian.
  "Cirebon." Azfar membuka tutup botol itu lalu segera meneguk isinya. Benar-benar melegakan.
"Eh gak usah Bu, ambil aja.." tangan Azfar menolak halus uang yang ibu itu serahkan.
  "Lah ini kan duit sampeyan Mas.." tapi si Ibu tidak mau begitu saja menerima uang itu.
"Gak papa Bu ambil aja.." manik hitam Azfar menatap wanita itu, ia tersenyum manis.
  "Kalo gitu maturnuwun yo Mas. Semoga sampeyan selamat sampe tujuan.." Azfar mengamini doa itu. Ketika si ibu pergi dari hadapannya, ia terlelap tidur.

   "Woy Bang! Bangun. Udah nyampe terminal nih!!" Kondektur bus itu menggoyangkan bahu Azfar sampai ia terbangun. Azfar menguap, berlalu sambil mengucapkan terimakasih. Akhirnya ia sampai di tanah kelahiran setelah 10 tahun merantau di Ibu Kota.
   Dari terminal Azfar harus naik satu kali lagi angkutan umum. Tak butuh 20 menit ia sudah sampai di depan jalan besar menuju rumahnya. Banyak hal yang berubah. Bangunan-bangunan baru kini sudah berdiri di sepanjang jalan. Dulu, mungkin hanya ada satu-dua bangunan saja. Selebihnya hanya kebun pisang dan kopi milik warga. Ibunya dulu sering membawa Azfar mengumpulkan daun pisang untuk dijual di pasar. Kenangan-kenangan yang tiba-tiba menyeruak dalam pikiran membuatnya tidak sabar bertemu sang ibu. Ia sudah sangat rindu.

  "Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh" speaker di masjid berbunyi. Suaranya sangat tak asing bagi Azfar sekalipun. Pasti Mang Soleh, takmir masjid.
   "Innalilahi Wa inna ilaihi rojiun........" Azfar menghentikan langkah, sapaan yang khas setiap kali ada orang meninggal. Beberapa orang dijalan juga ikut menghentikan aktifitas mereka. Penasaran siapa yang meninggal. Mang Soleh mengulangi kalimat innalilahi sampai 3 kali, Azfar melanjutkan perjalan. Sementara suara dari speaker di masjid itu tiba-tiba tidak terdengar.
   Azfar mencoba mengingat kemana jalan menuju rumah. Ada banyak gang. Ia bahkan hampir tersesat di kampungnya sendiri.
  "Azfar!" Teriakan seseorang membuatnya menoleh. Ada lelaki dengan baju koko putih melambaikan tangan di ujung gang. Benar, ini gang menuju rumahnya. Azfarpun sedikit berlari. Tapi sesuatu terasa aneh, ia mendengar tangisan. Suara itu semakin jelas seiring langkahnya yang semakin dekat dengan rumah.

  "Nak, yang sabar nak yang sabar...." Seorang wanita paruh baya tiba-tiba saja memeluk Azfar. Di halaman rumahnya sudah banyak orang berkumpul. Ada bendera kuning di pasang di tiang rumah.
  "Wa Ijah? Ada apa ini Wa?" Azfar mengenal wanita itu. Kenapa banyak orang di rumahnya? Siapa yang meninggal? Pikiran Azfar mulai kacau.
  "Azfar!!! Huwaaaaa!!!" Belum selesai Wa Ijah memeluknya, tiba-tiba Bi Eem datang. Ia menangis terisak. Bi Eem mengamuk di depan Azfar, memukul keras-keras dada ponakannya. Wa Ijah dibantu yang lain mencoba menenangkan Bi Eem.

   "Siapa yang meninggal?" Azfar bertanya pada orang-orang yang membaca yasin di rumahnya. Tapi mereka hanya memandang wajah Azfar dengan tatapan sendu. Tak ada yang menjawab. Mereka kembali membacakan yasin sambil terisak menahan tangis.
  Azfar melihat sesosok tubuh terbaring di kasur. Tubuhnya yang kecil tertutup kain batik. Tanpa harus bertanya lagi Azfar segera tau siapa sosok itu. Tapi hatinya tetap menolak kenyataan. Ia berlutut. Dengan mata yang sudah memanas Azfar membuka kain, melihat bagaimana wajah pucat pasi ibunya tertidur. Air mata bercucuran begitu saja, dadanya sejak. Ia berteriak menyuruh ibunya bangun. Pelayat yang menyaksikan hanya bisa ikut menangis, mereka tak kuasa melihat pemandangan di depan mata.

  "IBUUUUUUU.... IBUUU BANGUN BUU!!!" Azfar memeluk jasad ibunya. Berteriak tak terima. Niatnya pulang bukan untuk melihat ibunya meninggal. Tapi bagaimana lagi, Azfar harus menyesal karena tidak pulang lebih awal. Ibu pasti merindu lebih banyak darinya.
  "Far, ayo ambil wudhu, kita shalati ibumu." Tangan Pak Ustadz menepuk bahu Azfar yang masih menangis. Azfar mengusap air matanya, ia berjalan mengambil air wudhu dengan segala penyesalan.
  Ibu Azfar pulang, kenapa ibu ikutan pulang? Maafin Azfar Bu, Azfar sayang Ibu.. ucap Azfar dalam hati.

-Kuningan 231019-

  

 
 

Kerikil Kata || CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang