Tujuh hari setelah kepergian Daeho.
Taehyung mencoba menulis belasan eulogi dalam sebuah buku untuk mengenang sang sahabat, membayangkan segala kebaikan dan kehangatan Daeho yang sangat ia rindukan.
Seperti bagaimana saat mereka bertemu di minggu pertama taman kanak-kanak, di mana Taehyung kecil yang begitu pemalu terlalu takut masuk ke dalam ruang kelas, sampai akhirnya sang guru mengutus satu muridnya untuk membujuk Taehyung agar mau masuk mengikuti pembelajaran.
Kim Daeho, nama anak itu.
Si kecil yang tampan, ceria, dan begitu blak-blakan sekalipun masih susah baginya menyebut huruf R. Daeho dengan lantang mendeklarasikan pada seisi kelas bahwa Taehyung adalah 'sahabat kalibku!', dan semua yang dikatakannya memang benar terjadi.
Bahkan di saat Daeho mengetahui bahwa Taehyung memiliki suatu 'kelebihan' yang bahkan ia sendiri tidak ingin memilikinya, Daeho tetap menerima dengan tangan terbuka, bahkan tidak segan-segan untuk melakukan konfrontasi kepada siapa saja yang berani mengganggu Taehyung.
Desah napas pemuda manis berambut legam terhembus di udara.
Tidak bisa dibayangkan jika saat itu ia tidak mengenal Daeho, atau Daeho sendiri pun sama pemalunya seperti dirinya, bisa dipastikan Taehyung pasti akan menjadi pribadi yang tertutup dan jauh dari pergaulan.
Dengan senyum getir, Taehyung memainkan pena di tangan. Empat setengah halaman habis ia tuliskan perihal Daeho, dan saat akan membuka lembaran baru, sang kakak masuk ke dalam kamar dan berdiri di depan pintu dengan senyum tipis.
"Tae, sarapan dulu?"
"Ah, ya," Taehyung refleks menutup buku, tidak ingin menunjukkan pada Seokjin bahwa ia tidak tidur dari semalam. Direnggangkannya tangan dan kaki, lalu ia mengikuti Seokjin yang sudah terlebih dahulu melangkah meninggalkan ruangan.
"Um, Hyung?"
Seokjin menengok ke arahnya dengan alis terangkat sebelah.
"Setelah ini aku mau mengunjungi Paman dan Bibi Kim lagi."
"Lagi?" Kursi berderit kala Seokjin menariknya mundur. Dilihatnya Taehyung duduk di seberang dengan hela napas panjang.
"Ya soalnya.... seperti masih ada yang mengganjal, gitu. Setengah percaya tidak percaya," hidung bangir Taehyung mengendus-endus, aroma roti panggang buatan Seokjin sungguh menggoda perut. "Paman dan Bibi pasti butuh support, apalagi Daeho anak satu-satunya."
"Itu.... aku paham," Seokjin berujar ragu. Ingin mengatakan sesuatu, namun dia sendiri mengurungkannya. Lantas Seokjin mengoleskan mentega pada setangkup roti polos, menaruh olesan ovomaltine kesukaan Taehyung di atasnya dan memberikannya pada Taehyung, "Aku juga sedih, Tae, tapi apa tidak mengganggu kalau setiap hari kau mendatangi mereka?"
Taehyung menggeleng, menerima roti pemberian Seokjin dengan wajah tidak terbaca, "Mereka yang memintaku untuk datang. Katanya ada sedikit hal yang mau dibicarakan."
"Terkait?"
"Kematian Daeho mungkin? Entahlah, aku juga tidak tahu."
"Oh," Seokjin tampak membeku pada awalnya, sebelum akhirnya kepalanya terayun paham.
Mereka berdua tidak lagi berbicara, sibuk dengan roti dan pikiran masing-masing.
Di tengah kunyahan kesekian, Taehyung melamunkan sesuatu. Tentang pertanyaan kedua orang tua Daeho yang sempat dilayangkan padanyaーapakah Taetae tahu sesuatu tentang tanda-tanda sebelum Daeho memutuskan untuk mengakhiri hidupnya?
Gigi Taehyung terantuk rapat.
Demi Tuhan, ia tidak tahu harus berkata apa. Meski Daeho adalah sahabat karib dan ia sering menceritakan segala sesuatu tentang dirinya pada pemuda itu, namun nyatanya ada hal-hal tentang Kim Daeho yang tidak Taehyung ketahui.