"Apa kau akan mati besok?"
Suara tawa menggelegar menjawab pertanyaanku barusan. Aku bisa membayangkan kata-kata yang keluar dari mulut sang Uchiha selepas tawanya usai. Kemungkinan besar dia menertawakan kebodohanku, kekhawatiran tak berguna, atau bahkan kecerewetanku.
Uchiha satu itu telah pergi-pulang medan perang hampir seumur hidupnya. Dia seorang petarung. Aku tidak akan terkejut jika suatu waktu ia akan mendeklarasikan orang ke-1000 yang ia bunuh. Konsep kematian yang ada di kepalaku jelas tak sama dengannya.
Aku tak pernah habis pikir, kenapa kematian menjadi begitu agung di mata para petarung. Mereka mengangkat senjata, menebas nyawa, dan menemui maut dengan gagah berani. Hampir tiap hari aku melihat prajurit yang buntung salah satu tangan atau kakinya mencoba bunuh diri karena malu tidak mati di medan perang. Padahal di waktu bersamaan, ada pula tua renta yang berdoa agar masih diberi waktu agar bisa lebih lama bersama orang yang ia cintai.
"Apa kau ingin aku mati?" Madara balas bertanya di sela tawanya.
Jelas aku menggeleng. Kematian di kepalaku sama artinya dengan kegagalan diagnosis, penanganan tidak tepat sasaran, atau bahkan ketidakcakapan melakukan tindakan. Cukup egois memang, tapi kematian terasa seperti hinaan bagiku.
"Apa kau bisa membunuh?" tanya lelaki itu lagi. Tawanya telah usai dan ia terlihat jauh lebih serius.
"Aku tidak membunuh" jawabku mantap.
Madara menghujamkan ujung kunai di tangan kirinya tepat di leherku. Bersama rasa perih, bisa kurasakan cairan hangat mengalir dari sana. Tidak terlalu dalam, tapi sangat mengancam.
"Kau tidak akan mencoba membunuhku, bahkan saat kunaiku sudah di lehermu?" tanya laki-laki itu lagi.
Aku tidak suka lelaki yang banyak bertanya.
"Kau bahkan baru bisa menggerakkan tanganmu kemarin. Sekarang pun perutmu masih basah oleh darah dan pernafasanmu belum teratur. Kau akan mati jika kau membunuhku. Tidak ada seorang pun dokter selain aku di pelosok desa ini"
Uchiha Madara tersenyum.
.
.
.
Beberapa hari yang lalu, seorang lelaki terkapar di pinggir sungai dekat hutan. Darah merembes dari tubuhnya yang tengkurap, menuju riak air sungai dan memberi perpaduan warna disana.Waktu itu aku sedang berkeliling mencari tanaman obat. Untunglah Jounenji, teman masa kecilku selalu ikut setiap aku mencari obat ke hutan. Aku melakukan pertolongan pertama dan Jounenji membantu membopong lelaki itu menuju rumah sekaligus klinikku.
"Dia seorang ninja" ujar Jounenji menyadari lambang klan yang terpatri di zirah perang sang lelaki berambut hitam.
"Seorang ninja pun butuh bantuan" balasku.
"Tapi dia bisa membunuhmu kapan saja"
"Tapi dia juga bisa mati kapan saja"
Jounenji tampak kesal dengan jawabanku. Ini bukan pertama kalinya kami berselisih paham soal memberikan pengobatan pada ninja. Aku tak bisa menyalahkan. Ayah Jounenji mati dibunuh ninja pelarian saat ayahnya melakukan jual beli dengan para ninja itu.
"Aku akan datang setiap hari. Pastikan kau selalu waspada" tutur Jounenji sembari pamit.
.
.
.
Tubuh kekar lelaki itu membuatku cukup susah mengangkat punggungnya saat hendak mengganti perban. Aku pernah mengobati beberapa orang ninja sebelumnya, namun ini pertama kalinya aku mengobati seorang ninja yang kekar tapi tetap proporsional.Bicara soal penampilan fisik, lelaki ini hampir bisa dibilang sempurna. Wajahnya mulus, hidungnya mancung, dan bulu matanya lebat meskipun tidak lentik. Bahunya bidang dan aku senang melihat otot-otot di tubuhnya. Demi Tuhan aku tidak bermaksud mesum! Aku hanya sedang mempelajari kondisi fisik pasienku. Aku yakin dengan kondisi tubuh yang macam ini dia akan lebih cepat pulih ketimbang orang kebanyakan.
Aku tak sabar menunggunya terbangun. Iris mata seperti apa ya yang dimiliki lelaki ini?
.
.
.
Hal pertama yang dia lakukan saat terjaga adalah mengancamku dengan pisau buah yang ada di samping nakas. Aku cukup menepis tangannya dan pisau itu terjatuh tanpa perlawanan berarti. Dia hampir mati beberapa hari yang lalu, tertidur berhari-hari dan hanya bertahan lewat cairan isotonik yang aku minumkan tiap 1x 4 jam.Aku membiarkan lelaki itu dengan semerawut pikirannya. Aku seorang dokter. Tugasku hanya mengurus tubuh. Urusan pikiran, hati, atau mental, bukan bagianku.
.
.
.
Keesokan harinya, lelaki itu kutemukan tertidur di dipan dengan pakaian lengkap. Lengkap dalam artian dia telah memakai zirah perangnya dan sepertinya menyembunyikan beberapa senjata."Selamat pagi" ujarku.
Dia tak menjawab. Gestur tubuhnya masih terlihat waspada meskipun dia mengizinkanku melakukan pengecekan dan penanganan pada luka di perutnya.
"Siapa namamu?" tanyanya
"Y.N. Hanya Y.N. Kau?"
"Uchiha Madara"
Bulu kudukku serta merta berdiri. Uchiha? Madara? Lelaki ini benar pemimpin klan Uchiha yang menjadi tokoh berpengaruh dalam perang?
.
.
.
Part 2?
YOU ARE READING
Anime One Shots: Chara X Reader
FanfictionVarious chara x reader dari berbagai anime ❤ Akan ada beberapa couple OTP author juga SasuHina, OkiKagu, SeshouRin, dll Selamat membaca. Plot sangat sangat ringan. Hanya untuk selingan dan hiburan 😉 Rate T