Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gue terbangun dengan keadaan berkeringat. Mimpi itu dateng lagi. Tapi sekarang lebih gila. Gue disuguhkan dengan adegan di mana dia menyiksa Kirana. Sayangnya, muka dia masih belum keliatan jelas. Mengingat atas tawaran bang Ian beberapa hari yang lalu, dengan segera gue menghubunginya.
"Halo bang."
"Kenapa, Ta?"
"Lo janji kan mau kasih nomer temen lo yang detektif itu?"
"Iya, lo udah butuh bantuan dia?"
"Iya, gue butuh."
"Sekarang lo ke tempat gue, kebetulan dia lagi di sini sama gue."
"Oke bang, bentar lagi gue otw."
Gue segera bersiap-siap dan pergi ke kafe bang Ian. Tak lupa gue juga ngehubungi Dira. Fyi, kemaren gue sempet minta kontaknya. Siapa tau bisa bantu-bantu nantinya. Saat gue mau pergi, Kirana dateng.
"Mau kemana, Ta?"
"Mau ketemu temen, lo di sini aja ya."
Dia ngangguk. Untung aja dia nggak curiga. Kalau curiga bisa-bisa gue yang bingung kasih alesan apa.
Keadaan kafe masih sepi. Mungkin karena hari masih sore. Tapi dengan gini gue lebih mudah buat omong-omongan nanti. Di sana gue liat bang Ian sama seseorang yang gue tebak temennya. Menyadari kedatangan gue, bang Ian melambai ke arah gue.
"Ta, dia yang gue maksud kemaren."
Perawakannya nggak menunjukkan kalau dia seorang detektif. Mungkin banyak yang menganggap dia hanya seorang mahasiswa akhir tahun. Atau emang style para detektik lain juga kaya dia? Penyamaran kali.
"Gue Semesta."
"Gue Wira."
Gue mulai menjelaskan semuanya dari awal hingga akhir. Bahkan tentang beberapa mimpi gue akhir-akhir ini. Dan sepertinya Wira juga udah mulai paham sama jalan cerita gue.
"Untung gue ketemu lo, Ta. Kalau nggak kasus ini bakalan ditutup."
"Ditutup kenapa?"
"Bukti yang gue kumpulin masih kurang cukup, jadi pihak pusat kalau masih kaya gini terus dengan terpaksa ditutup."
Gue hanya ngangguk. Indera penglihatan gue menangkap sosok Dira yang baru masuk. Dengan segera gue melambaikan tangan ke arahnya yang membuat bang Ian dan Wira menoleh. Mereka seakan bingung dengan kehadiran Dira.
"Dia Dira, siswi yang bantu gue."
Dira berkenalan dengan bang Ian dan Wira. Lalu dia menceritakan kenapa sekolah mereka menutup mulut para wartawan akan kejadian ini. Dan alesannya bikin emosi gue naik.
"Mereka terpaksa nutupin kejadian ini supaya nama sekolah tetep baik."
Mereka lebih mementingkan keperluan pribadi tanpa memikirkan Kirana? Sungguh, sekolah macam apa.
"Dira, kamu tau motif pembunuhan Kirana apa?"
"Nggak mas, tapi banyak rumor kalau ini semua ulah mantan kekasih Kirana."
"Kamu tau siapa namanya?"
Sayangnya Dira menggeleng. Disaat udah nemu clue, ada aja yang bikin susah. Masa gue harus tanya Kirana siapa mantan dia? Ya kali, namanya sendiri aja lupa.
"Semesta."
"Apa, Wir?"
"Lo bilang sering mimpiin kejadian waktu dia dibunuh, lo inget ciri-ciri tempatnya nggak?"
Gue mencoba mengingat tempat. Berusaha tetap fokus dan berharap cepat mengingat ciri-ciri tempat itu. Sayangnya yang gue inget cuma beberapa.
"Gue cuma inget di tempat itu dikelilingi banyak pohon, tapi sinar matahari masih bisa masuk."
Wira mencoba mencari ciri-ciri tempat itu di google. Semoga saja ketemu. Dan harapan gue terkabul, dia menemuman tempat itu.
"Itu di hutan. Hutan deket sekolah Kirana. Besok kalian berdua free?"
"Aku nggak bisa mas, besok ada tambahan."
"Gue bisa kok, Wir."
"Yaudah, besok lo sama gue ke sana."
"Kalian nggak ngajak gue?"
Siapa lagi kalau bukan ban Ian. Sedari tadi dia cuma diem, nyimak, dan nggak ngasih saran sama sekali. Gue memutar bola mata males.
"Jangan, lo cukup kasih kita konsum aja buat besok."