Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gue menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan kasar. Seketika perasaan sakit ini muncul. Iya, sakit karena Risa. Gue emang bodoh, udah tau dia ada yang punya tapi masih aja bersikukuh buat ngejar-ngejar dia tanpa tau resiko buat diri sendiri.
"Hatimu, lagi sakit ya?"
Gue ngangguk. Sedari tadi Kirana emang nemenin gue di rooftop kafe, tapi gue diem tanpa ngajak Kirana ngomong sedikit pun. Berusaha menenangkan hati gue yang lagi acak-acakan. Sampai dia yang membuka pembicaraan. Mungkin dia mulai bosen.
"Kamu tau nggak, Ta?"
"Tau apa?"
"Aku selalu berharap bisa jadi bintang nantinya."
"Kenapa mau jadi bintang?"
"Meski dia kecil dan jauh, bahkan kadang tak terlihat, tapi dia masih bisa memandangi kesayangannya."
Kirana tersenyum sambil memandang jutaan bintang di langit malam ini. Gue masih nggak paham sama perkataannya. Apa ada orang yang dia sayang selama ini? Siapa? Apa dia orang yang berjasa pada masa lalunya?
"Dan kesayanganku sekarang ada di sini, Ta. Disebelahku."
Gue terpelanjak kaget. Dia bilang kaya gitu tanpa ragu sama sekali. Bahkan dia tersneyum saat mengatakan kalimat itu. Gue semakin dibuat bingung dengannya.
"Sayangnya, dia hari ini lagi murung. Padahal aku suka banget kalau dia ketawa lebar. Bisa bikin perasaanku ikut bahagia."
Gue cuma bisa diem. Sampai akhirnya, mulut gue bisa dengan berani ngomong kalimat yang tanpa gue duga.
"Lo tau, gue nggak pernah berharap bisa jadi bulan, Na."
"Kenapa? Padahal bulan kan indah."
"Bulan dan bintang bisa saling bertemu tanpa ragu, meski takdir tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan."
"Takdi mereka emang apa, Ta?"
"Nggak bisa bersatu."
Kini giliran Kirana yang terdiam. Tiba-tiba saja air matanya turun. Ukiran senyumannya yang tadinya terlihat jelas, kini perlahan memudar. Bibir pucatnya menambah kesan sedih di wajahnya. apa gue salah ngomong?
"Kirana, lo gapapa?"
Dia tetap diam. Namun, nggak lama kemudian dia memutuskan untuk pergi. Tanpa pamit, tanpa mengucapkan sesuatu ke gue. Gue menghela napas panjang. Mengusap kasar surai hitan gue.
"Maaf, Na. Gue juga nggak mau nerima takdir. Tapi apa daya, kita berbeda."