Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gue yang lagi enak-enakan nikmatin mie di kantin kampus, tiba-tiba dikagetkan dengan kedatangan Hendra di depan meja gue. Dia keliatan marah.
"Kenapa lo?"
Tanpa jawab pertanyaan gue, Hendra udah narik kerah gue. Sontak membuat banyak mahasiswa lainnya menatap ke arah kita. Bingung, pasti. Tapi kenapa?
"Lo udah berani ya sekarang."
"Maksud lo apasih gue nggak ngerti."
Satu pukulan keras tepat mengenai rahang pipi gue. Sialnya, darah dengan cepat mengalir. Dengan tenaga yang ada, gue memberanikan diri buat ngebales perbuatan Hendra. Namun sayang, dia berhasil menghindar. Lemah banget sih lo, Ta.
"Belum cukup kayaknya satu pukulan buat bikin lo sadar, Ta."
Kerah gue ditarik lagi sama Hendra. Kali ini bener-bener lebih keras dari yang tadi. Beberapa mahasiswa nahan Hendra biar nggak mukul gue lagi. Dimas yang tiba-tiba dateng bantu gue buat berdiri.
"Lo ada masalah apa sama Semesta, Hen?"
Meski samar-samar, gue bisa lihat kalau Hendra marah besar sama gue. Tapi karena apa? Gue ada salah sama dia?
"Gue kira kita temen, Ta. Tapi ternyata lo munafik. Lo udah berani peluk Risa kemaren."
Jadi, Hendra udah tau semuanya. Kenapa waktunya nggak pas banget.
"Bentar-bentar gue nggak paham maksud lo, Hen."
"Kemaren gue lihat dia sama Risa lagi pelukan di rooftop. Gue kira gue salah lihat, tapi ternyata itu beneran Semesta.
Dan parahnya, dia udah bikin Risa nangis, Dim. Gue aja belum pernah bikin Risa nangis. Brengsek lo, Ta."
"Bener kayak gitu, Ta?"
Gue yang lemes cuma bisa ngangguk. Hendra udah mau mukul gue lagi, tapi untung aja mereka masih bisa nahan dia.
"Jangan tahan dia, gue yang salah di sini."
Mereka semua diam. Termasuk Hendra. Mungkin yang sadar sama kelakuan aneh gue cuma Dimas.
"Lo nggak ada pembelaan gitu, Ta?"
"Pembelaan gimana lagi, Dim? Gue emang yang salah di sini."
"Brengsek."
Hendra beneran mukul gue. Gue sampai nggak bisa bangun. Kalau gue mati di sini, gue udah ikhlas.
"Hendra, stop!"
Siapa lagi kalau bukan Risa. Risa mencoba buat nenangin Hendra. Tapi gue yakin kalau emosi Hendra bakalan sulit buat diredain.
"Kamu belaiin dia, Ris?"
"Bukan aku belaiin Semesta, tapi apa yang kamu lakuin itu berlebihan. Hen!"
Seperti tak ingin mendengar perdebatan mereka, gue memutuskan untuk pergi. Berdiri perlahan dengan sisa tenaga yang ada. Sialnya, Hendra menyadari kalau gue mau pergi.
"Mau kemana lo?"
"Pergi."
"Cih langsung pergi aja, pengecut lo."
"Bukan pengecut, tapi gue nggak mau denger kalian debat. Risa yang jelasin panjang lebar, lo nya nggak mau denger penjelasan dia. Sebuah konversasi yang percuma.
Gue sadar kalau gue salah di sini. Jadi bro, gue minta maaf. Kalau lo mau selesaiin ini, kelarin dulu debat lo sama Risa, baru selesaiin baik-baik sama gue. Gue balik duluan."
Dengan sisa tenaga, gue berjalan pelan keluar dari kerumunan itu. Gue nggak bisa hubungin siapa-siapa, hp gue mati. Gue berharap aja seseorang dateng bawa gue. Samar-samar gue ngelihat seseorang berlari ke arah gue. Tapi sebelum terlihat jelas, penglihata gue udah berubah. Semuanya jadi item.