Sepulang ngampus, yang gue dapetin saat masuk ke kamar cuma satu, kosong. Maksud gue kosong dalam artian dia nggak ada di sini. Gue nyesel kemaren udah ngebentak dia.
"Kok gue jadi mikirin dia?"
Gue langsung bersiap-siap buat kerjaan yang udah nanti gue daritadi. Dengan style yang simple, gue langsung berangkat ke cafe. Semoga aja banyak yang suka sama suara gue.
"Semesta!"
Dia pemilik cafe sekaligue temen gue –bang Ian. Gue deket sama dia dari SMA. Banyak yang bilang gue sama dia ada kemiripan, padahal mah masih gantengan gue.
"Oy bang!"
"Gimana udah siap? Langsung aja."
"Siap, bentar gue mau ambil minum dulu."
Gue ninggalin bang Ian sendirian. Cafe masih nggak terlalu rame, kebanyakan yang dateng pasangan yang lagi kasmaran. Sorot mata gue menangkap sesuatu. Di bangku dekat jendela, dia di sana –Risa dan Hendra. Tawa Risa yang lepas bikin perasaan gue adem. Seketika gue mikir, kapan gue bisa jadi alasan dia ketawa kaya gitu. Tiba-tiba ada yang nepuk pundak gue.
"Semesta."
"Eh, kenapa bang?"
"Buruan, udah banyak yang dateng."
Gue ngangguk. Lalu gue berjalan ke arah panggung kecil. Di sana udah ada temen bang Ian, yang bakal manggung bareng gue. Semua pandangan pengunjung mengarah ke kita. Karena nggak mau menunda waktu, gue pun mulai berbicara.
"Selamat malam semua, semoga malam ini kalian tetap bahagia."
Mendengar suara yang menurutnya nggak asing, Risa menatap gue. Mata kita bertemu. Gue hanya memberikan senyuman tipis. Alunan gitar mulai memenuhi cafe.
Kumendambakanmu mendambakanku
Bila kau butuh telinga tuk mendengar
Bahu tuk bersandar, raga tuk berlindung
Pasti kau temukanku di garis terdepan
Bertepuk dengan sebelah tangan
Tepuk tangan meriah gue dapetin dari mereka. Ada kesenengan tersendiri kalau banyak yang suka sama suara gue. Berarti suara gue emang bagus, hahaha.Hampir 2 jam gue nyanyi, ternyata bikin tenggorokan kering. Akhirnya gue minta waktu bentar buat ambil istirahat. Tapi di tengah perjalanan, gue ketemu Risa yang kayaknya habis dari kamar mandi.
"Semesta."
"Kenapa, Ris?"
"Lo kerja di sini? Btw tadi suara lo bagus banget."
"Hahaha makasih, bukan kerja tapi bantu-bantu temen apa salahnya kan."
"Baik bener jadi orang, yaudah gue ke sana dulu ya."
Gue ngangguk. Sepeninggalan Risa, bang Ian ngehampirin gue. Dia sepertinya ngerti arti dari raut muka gue.
"Lo masih nunggu dia?"
"Nggak tau bang, gue juga bingung."
"Mending cari yang lain, daripada lo capek-capek nunggu tapi hasilnya nggak sesuai sama harapan lo, yang ada malah sakit hati."
"Pikir belakangan aja lah masalah gituan."
"Terserah lo kalau itu, btw makasih ya udah mau bantu gue."
"Santai kali, kaya sama orang asing aja."
"Gratis kan?"
"Enak aja, hahaha."
"Hahaha gampang lah masalah itu, gue ke belakang dulu."
Hari udah malem, gue pun memutuskan buat pulang. Tapi nggak tau kenapa kaki gue mengarah ke arah supermarket. Mungkin gue butuh minuman isotonik sama makanan ringan. Mengingat tadi gue nggak sempet makan di sana.
Kaki gue berhenti tepat di depan rak onigiri. Seketika gue teringat seseorang. Ralat, tapi hantu itu. Tanpa sadar gue ambil beberapa bungkus, kali aja dia mau balik kalau gue kasih itu.
Keadaan kamar kos gue masih sepi. Gue naruh barang belanjaan gue di meja yang sering gue buat kerjain tugas. Dari belakang, gue ngerasa ada suara kresek-kresek. Pas gue toleh, ternyata oh ternyata.
"Ngapain?"
"Laper, hehe."
To be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] 40 days, kang minhee
Fanfic[ bahasa ] ( P R O D U C E X 1 0 1 - S E R I E S ) Terkadang Semesta mengajak bermain-main dengannya hingga lupa ada takdir yang sudah memasang garis waktunya. © rosethctic, 2019