Biasanya Jeno sudah tertidur pulas lalu akan terbangun lagi di jam 2 pagi ketika mendapat panggilan masuk. Biasanya ia berharap agar tidak ada yang menelponnya lagi di jam 2 pagi sehingga tidak menggangu waktu tidurnya.
Seperti sekarang, ia sudah terbangun dari tidurnya. Bukan karena ia mendapatkan panggilan masuk, tetapi sebaliknya. Ia terbangun karena sejak awal tidak bisa tertidur dengan nyenyak. Ia menunggu telepon dari Haechan. Kejadian saat ingin ke tempat guru Kim sedikit banyak membuatnya cemas.
Kemarin ia sempat mendengar obrolan ibunya dan tetangga sebelah kalau di dekat kompleknya sedang marak penculikan anak TK dan sekolah dasar.
Bagaimana kalau ternyata Haechan diculik?
"Tapi kan Haechan sudah SMA!" Erangnya frustasi.
Inginnya tidur, tapi tidak bisa. Matanya masih fokus menatap handphone digenggamannya.
Ini bahkan sudah hampir jam 3, tetapi Haechan masih belum juga menghubunginya. Biasanya ia tidak pernah absen untuk menelpon Jeno. Haechan selalu menelponnya dengan alasan yang sama, tidak bisa tidur atau terbangun karena mimpi buruk.
Jeno tiba-tiba tertawa pelan ketika menyadari tentang kekhawatiran berlebih yang ia alami karena Haechan tidak menelponnya.
Jika Haechan tidak menghubunginya, itu artinya ia sudah tertidur dengan nyenyak di balik selimut hangatnya dan tidak mendapati mimpi buruk malam ini.
"Bodoh. Ngapain gue harus khawatir sama dia?"
Dan Jeno benar-benar merasa lebih bodoh lagi ketika tangannya tanpa sadar sudah menekan nomor Haechan sehingga menghasilkan nada dering telepon.
"Nomor yang ada tuju sedang—"
Jeno langsung mematikan panggilannya ketika mendengar suara operator. Melemparkan ponselnya asal lalu mengacak rambutnya kesal.
"Sial!"
Tebecee