Ketika ruang luas yang terbentang di atas bumi berganti warna keunguan, pertanda jika sebentar lagi malam akan tiba, sosok manis yang sedari tadi tengah duduk sendirian sembari menonton acara televisi itu, bergerak tidak tenang, Krist menatap jam dinding waktu menunjukkan pukul 6 sore. Ia dengan ragu mengambil ponselnya yang tergeletak begitu saja di atas meja, jemari lentiknya berselancar pada layar persegi itu mencoba mencari nama seseorang di sana, sampai akhirnya berhenti tepat di depan kontak Singto.
Ia bosan, tetapi haruskah Krist mengajak Singto pergi, jika di pikirkan kalau ia bersikap pasif Singto tak akan pernah meliriknya, haruskah Krist bersikap agresif sekarang untuk menarik perhatian pria itu?
Krist mencoba memikirkannya selama beberapa saat, hingga akhirnya tersenyum sinis. Kalau dengan cara seperti itu ia bisa menarik Singto dalam jebakannya maka Krist akan melakukannya. Ia akan membuat Singto meninggal wanita itu dan berpaling lagi padanya, setelah itu ia akan menendang Singto jauh-jauh darinya, membongkar semua perilaku busuk pria itu di belakangnya.
Jemarinya menekan nomor Singto dan tak berselang lama, pria itu mengangkat teleponnya. Krist tersenyum senang karena Singto mudah sekali untuk di dekati.
"Apa aku mengganggumu?"
"Tidak, kau tidak mengganguku. Ada apa?"
"Kau ada waktu luang malam ini?"
"Iya, aku punya waktu. Kau ingin mengajakku bertemu?"
Pria manis itu hanya tertawa pelan, ternyata Singto lebih pintar daripada apa yang dirinya bayangkan.
"Iya, apa phi mau makan malam denganku?"
"Kirimkan alamatnya, aku akan kesana menemuimu."
"Sungguh?"
"Iya."
"Aku akan melakukannya, terima kasih mau menerima ajakanku."
"Tidak perlu berterimakasih."
Entah Krist salah atau benar, sepertinya suara Singto berubah sedikit parau, tetapi ia tidak tahu apa penyebabnya, Krist tak mungkin bertanya padanya, tidak mau terlalu ikut campur, jika kejadian aneh itu ada di depan matanya baru ia akan bersimpati, kalau tidak ia akan berpura-pura tak tahu.
****
Krist menyiapkan banyak makanan lalu menyusunnya di meja makan, ia berpikir lebih bagus kalau ia mengajak Singto pergi ke sini, hanya ada mereka berdua di tempat ini, tidak ada yang lain lagi, jadi Krist bisa berbuat sesukanya tanpa adanya gangguan.
Senyuman manis mengembang pada wajahnya, setelah menyelesaikan segalannya, ia sengaja memasak makanan kesukaan Singto. Pria itu tak akan curiga, ia akan berkata kalau Nat yang memberitahunya, ia ingin berterimakasih pada Singto karena pria itu mempercayakannya untuk melakukan pekerjaan itu.
Beberapa waktu kemudian, Krist mendengar bel rumahnya berbunyi ia langsung berlari ke sana, meskipun setelahnya ia melambatkan kedua kakinya, untuk apa Krist seantusias itu padahal yang datang hanyalah pria penghianat, pria itu bukan suaminya lagi. Meskipun dalam hukum ia tetap Istrinya, tetapi karena tidak ada yang tahu ia masih hidup, mereka bukan siapa-siapa lagi sekarang, selama yang lain tak tahu jika ia Krist maka hidupnya akan bebas, tidak terkurung bersama pria jahat seperti Singto.
Dibukanya pintu itu dengan perlahan, ia menampilkan senyuman terbaiknya, lalu mempersilahkan Singto untuk masuk ke dalam.
Singto membalas senyuman Krist, pandangannya tertuju pada interior rumah yang serasa tak asing untuknya.
"Apa kau tinggal sendirian di sini?"
"Iya, memang bersama siapa lagi?"
"Dimana orang tuamu tinggal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[35]. Revenge [ Krist x Singto ]
Fanfiction[ completed ] "Phi Sing, aku sangat mempercayaimu kau tahu itukan?" Pria berkulit Tan itu mengganggukan kepalanya, sembari mengusak rambut pria manis itu pelan, "Ya, aku tahu." ** "Aku tidak mau tahu, kau harus bisa membunuhnya buat semuanya seolah...