Sinar terang yang berasal dari cela jendela yang sedikit terbuka itu menyusup masuk, mengenai permukaan wajah sesosok pria yang kini masih terlelap di dalam tidur nyamannya. Ia adalah Singto, pria itu tak lama kemudian membuka kedua kelopak matanya, hal yang dirinya dapati pertama kali, membuatnya bingung. Ia terbaring di atas ranjang asing dan masih mengenakan pakaian yang kemarin di kenakannya. Ia memegangi kepalanya sendiri yang terasa pusing, mungkin ia terlalu banyak minum tadi malam dan mungkin ini adalah kamar sosok yang di temuinya tadi malam, karena Singto tak ingat apakah dirinya kembali pulang atau tidak. Segalanya tampak mengabur yang ia ingat ketika tanpa tahu malunya ia menangis di pelukan pria itu. Padahal mereka baru mengenal beberapa waktu lalu. Entah mengapa ia tampak dekat dengannya.
Ia nyaman dengan Kit. Begitu mereka membicarakan sesuatu seperti pria itu adalah sosok yang sudah lama di kenalnya. Singto nyaman bersamanya, ia melihat sosok lain di dalam diri pria manis tersebut, yang harusnya coba untuk di lupakannya.
Tak lama kemudian, pintu kayu itu terbuka. Sosok pria manis kemarin tersenyum ke arahnya, membuat Singto menjadi tidak enak hati karena pasti sangat menyusahkannya.
"Sudah bangun?"
Singto menggangguk pelan, "Maaf jika aku merepotkan."
"Tidak apa-apa. Kebetulan aku tinggal sendiri, jadi tidak masalah."
"Apa aku menyusahkan mu tadi malam?"
"Tidak. Menangis itu wajar. Aku sering melakukannya."
"Ah, aku memang sedikit emosional akhir-akhir ini."
"Jika kau membutuhkan teman, aku bisa menjadi pendengar yang baik."
"Terimakasih."
Krist mengganggukan kepalanya, memandang sosok itu dengan seksama, lalu menyerahkan air mineral yang ada di atas nakas meja pada Singto.
Pria itu menerimanya, "Terimakasih."
"Kau terlalu banyak berterimakasih padaku. Kau bilang kita teman, jadi tidak perlu mengatakan hal seperti itu."
Singto menyetujuinya, ia bangkit dan ingin bergegas pulang, banyak yang harus dirinya kerjakan di kantor dan ia juga harus menjumpai Mook nanti. Helaan napas berat meluncur begitu saja dari bibir Singto.
"Kau mau kemana?"
"Aku harus pulang, jika tidak aku akan terlambat pergi ke kantor."
"Baiklah, hati-hati."
Krist mengantarkan pria itu sampai ke teras rumahnya, membiarkan Singto pergi dengan mengendarai mobilnya, melajukan kendaraannya itu menjauh dari halaman rumahnya. Pria manis itu hanya mengusak surai kecoklatannya hingga berantakan, untunglah pria itu cepat pergi, jika tidak Krist takut Singto curiga nantinya.
Langkah kaki pria manis itu terhenti ketika mengingat kejadian tadi malam saat Singto menangis di dalam pelukannya. Itu terlihat seperti nyata bukan hanya pura-pura. Sepertinya pria itu sangat terpuruk akan sesuatu hal, tetapi tak mungkin karena Krist kan?
Ia tidak percaya kalau itu kerenanya. Faktanya sangat jelas kalau Singto itu pria brengsek yang membunuhnya. Mengingatnya semakin membuat Krisy frustasi, karena ia benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa segalanya menjadi rumit. Pemikirannya ini membuatnya berada di saat-saat sulit, padahal tujuannya dari awal itu hanya satu, menjatuhkan Singto.
Krist ingin melihat bagaimana Singto akan sengsara nanti, karena harta yang di kejarnya. Sementara Krist hanya akan berdiri di atasnya dan menertawakan segalanya.
Baru saja Krist ingin melangkah masuk, ada tangan seseorang yang menarik lengannya, membuat Krist tersentak kaget, ia menatap ke arah belakang di mana ada seorang wanita yang menatapnya marah, seperti sangat tak menyukainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[35]. Revenge [ Krist x Singto ]
Fanfiction[ completed ] "Phi Sing, aku sangat mempercayaimu kau tahu itukan?" Pria berkulit Tan itu mengganggukan kepalanya, sembari mengusak rambut pria manis itu pelan, "Ya, aku tahu." ** "Aku tidak mau tahu, kau harus bisa membunuhnya buat semuanya seolah...