12-Dѐjá vu

3.7K 410 62
                                    

Jika berkenan mohon membaca note author di bawah.

.

CHAPTER 12

Dѐjá vu

Jangan memaksa bertahan. Jika lelah, lepaskan. Jangan menjadi bodoh untuk kali kesekian.

*Señora*

Mulanya Louisa enggan peduli pada kondisi tubuhnya yang ia yakini tidak baik-baik saja. Pengacara kondang itu lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan berat. Tidak ambil peduli pada mual berlebih di pagi hari, kram perut menyiksa bahkan pusing mendera di beberapa keadaan.

Dia selalu mencoba namun sebanyak itu pula tubuhnya tak mau mengalah. Puncak pemberontakan tersebut di hari putusan pengadilan atas kasus yang sedang Louisa tangani. Pembelaan didepan hakim terpotong tak beretika ketika Louisa mual di tengah adu argumentasi. Sidang di tunda karena keadaan tidak signifikan. Memaksa gadis itu harus memeriksa diri atau sidang berikutnya ia benar-benar akan gagal.

Dan apa yang paling Louisa sesali adalah keputusan opsi terakhir. Wanita itu tidak perlu menajamkan pendengaran dua kali lipat atau lensa sekuat laser atas vonis yang dokter tetapkan. Ini bukan penyakit seperti presepsi selama ini. Berupa selembar kertas ber-abjad bold capital menerakan usia janin tiga bulan!

Apotek menjadi sasaran utama. Membeli sekotak penuh alat penguji kehamilan untuk memperkuat vonis dokter yang tak sepenuhnya Louisa anggap benar.

Tangisnya pecah. Dada sesak seolah terhimpit gada berkarat menyerah pada tes pack ke lima belas yang seluruhnya bergaris dua merah. Tangannya ia bawa mengusap bagian perut. Benar gelembung terasa disana. Sesal menyeruak memenuhi dada. Kesibukan menyita habis seluruh waktu hingga perubahan pada bagian tubuh tidak ia sadari.

Sejak kapan segumpal darah bernyawa itu dalam tubuhnya? Lantas sepotong memori empat bulan lalu melintas tak beretika. Seseorang yang telah membuatnya menjadi workholic empat bulan terakhir. Alasan lingkar hitam mengerikan dibawah mata tercipta. Seseorang yang sangat tidak ingin ia temui sekaligus ayah dari janin tak berdosa dalam kandungannya.

"Willis.." parau si pengacara muda bergumam lirih. Tubuh merosot di lantai kamar mandi berharap kertas dalam genggaman dan ceceran tes pack hanyalah mimpi.

***

Guntur berkilat menggelegar. Peliknya kota dari lantai tiga puluh P-Luminor perlahan lenggang. Kaca transparan setinggi delapan meter mencetak embun dan bulir air langit yang berlomba-lomba menjatuhi bumi. Yunho merasakan per-kubik hujan itu berusaha menghantamnya berkali-kali. Ia selamat karena mampu berlindung dibawah naungan dinding kokoh Luminor yang bergengsi.

Semua bertahan seolah seperti itu pada takdir yang membelenggu diri. P-Luminor, kursi kebesaran, megahnya mansion Park dan jejeran otomotif ternama dari produk ciptaannya. Benda-benda tak bernyawa itulah buah dari keegoisan yang ia tanam selama lima belas tahun terakhir.

Park Pengecut Yunho. Nama tersebut selalu ia sematkan atas ketidakpedulian akan seseorang yang tersakiti diluar sana -buah keegoisannya yang lain. Mereka-semua diantara gambar secarik foto dalam genggaman. Yoona, mantan istrinya-dan kedua putra mereka.

Yunho tidak lupa pada tanggal berapa, hari apa bahkan durasi detik keberapa potret kebersamaan mereka di ambil. Mungkin dia menjadi satu-satunya yang mengingat. Segelintir memori itu ia simpan apik dalam kepala hanya untuk dikenang setiap malamnya.

SeñoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang