'Devan?'

11.8K 600 66
                                    

Jangan lupa vote, ya! 😊

Pov. Nabilah

"Sayang, sudah hampir pukul dua belas malam, sebentar lagi cafe akan tutup." bisik seorang pria tampan, memegang kedua bahuku, lalu mengusapnya.

"Tunggu sebentar lagi, Mas."

Pria itu tersenyum, lalu berkata, "Baiklah, aku akan menunggu,"

Ya, satu kalimat itu selalu ia lontarkan setiap tahun, sebanyak enam kali berturut-turut.
Ia selalu setia mengantarku pergi ke sebuah cafe, dimana terdapat suatu kenangan manis di dalamnya.

29 Juni at Cafe familly,
Aku selalu datang bersama seorang pria yang teramat tulus mencintaiku, menerimaku apa adanya, meski kini aku masih menjadi sosok rumpang yang tak bisa berjalan seorang diri ... mentalku hancur berkeping, bahkan dokterpun memvonisku gangguan jiwa.

Terlalu hebat dampak kejadian enam tahun yang lalu ... aku bahkan tak berani menatap wajah Putriku yang amat cantik, yang kuberikan nama Aisyah.
Meski sering kali ia meronta ingin memelukku, tapi aku tetap menolaknya.
Betapa berdosanya aku ini! Seorang ibu yang telah gagal ....

Aku masih duduk di cafe ini, sedangkan pria tampan tadi masih menunggu ku dengan ikhkas di seberang sana ... sembari menatap ku.
Aku ... selama enam tahun ini berusaha melawan takdirku.
Meminta dan memaksa pada Tuhan, agar ia kembalikan sosok hangat yang pernah duduk berdua denganku ditempat ini ....
Siapa yang sangka, aku yang memegang teguh agamaku, begitu rapuh dan tak kuat menerima cobaan terbesar ini, saat kehilangan Ayah ... aku kuat, karena ada 'dia' disampingku ....
Pun ketika Ibu menyusul meninggalkanku, aku masih kuat, karena ia selalu ada untukku ....
Akan tetapi, ketika aku kehilangan 'dia' ... bisa kau bayangkan rasanya seperti apa?
Aku roboh, aku hancur, keimananku goyah, aku marah pada diriku sendiri, aku benci pada takdir yang telah Allah siapkan untukku.
Kenapa harus 'dia' yang mendahului ku?
Jika aku tahu teramat sakitnya seperti ini, biar aku saja yang pergi mendahuluinya.
Aku kecewa kepada Allah, bukankah semua yang aku alami atas kehendaknya? Mengapa ia menghendaki ku seperti ini?

Aku menunggu ... masih menunggu ... mengharap seseorang datang dan memberikanku surprise teristimewa, atas hari jadi pernikahanku yang ke enam ini.
Aku tak meminta bunga, aku pun tak lagi meminta oleh-oleh ... aku hanya ingin kau datang, dan tersenyum kepadaku.
Mengajakku pulang, dan membelai putri cantik kita yang telah tumbuh cantik di tangan Nenek dan Kakeknya.
Aku akan meminta maaf padamu, atas izin yang telah membuatmu pergi, atas kebodohan ku yang mengacuhkan firasat buruk itu ... atas kesalahanku menjadi ibu yang gagal ... ya, aku ibu yang gagal. Aku bahkan tak kuat melihat putri kecilku, Mamamu selalu bercerita ... setiap kali aku berusaha menggendong Aisyah, aku langsung menangis sejadi-jadinya, aku menjerit, mengamuk, berusaha mencelakakan diriku sendiri.
Sebab saat melihat Aisyah, emosiku memuncak, aku trauma hebat.
Maaf ... bukan aku tak ingin membesarkan Aisyah dengan kasih sayang dan tanganku sendiri, tapi memang inilah yang terjadi padaku selepas kau pergi dan tak kunjung kembali, enam tahun kebelakang.

Hanya tatapan kosong, dan semilir angin malam yang kurasa ... lagi ... kau memutuskan tak kembali hari ini.
Mungkin pekerjaanmu belum selesai, dan saking sibuknya disana, kau belum sempat mengabariku meski hanya sebatas kata 'hallo' melalui telepon.
Kau benar-benar sibuk di sana, iyakan ... Devan?

Air mataku terus berjatuhan, membasahi kedua pipi ....

"Ayo Sayang, kita pulang."

Aku mengangguk pasrah, dan meninggalkan tempat ini, sambil sesekali menengok ke belakang, berharap engkau tiba di sana, dan melempar senyum kepada ku.
Tapi itu semua ... nihil.

Di mobil ....

"Mas?"

"Ya, Nabil? Katakan."

"Apa hatimu terluka?"

Pacaran setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang