Pengorbanan Cinta

39.7K 1.4K 11
                                    


Pov: Devan

   Ku laju mobilku dengan stabil, menuju rumah yang nantinya akan kutempati dengan istriku, Nabilah.

(Maafkan aku, Nizma. Aku terima perjodohan ini. Aku telah mengkhianati impianku sendiri. membangun bahtera rumah tangga hanya denganmu.
Apalah daya, akupun tak tahu kau dimana. Selepas acara perpisahan sekolah SMA, aku sudah tak pernah melihat Batang hidungmu lagi. Mendengar kabarmupun aku tak pernah. Seminggu lagi.
Apakah sebelum pernikahanku tiba, aku bisa bertemu denganmu? Ahh ... entahlah. Ku serahkan kembali pada yang Maha Kuasa. Aku yakin semua garis takdirku adalah yang terbaik)
*

23 Juni.
11:30 WIB
H-6 menjelang pernikahanku.
Seperti biasa, kegiatanku di kantor belum banyak yang berubah.
Tumpukan berkas pekerjaanku hampir selesai ku kerjakan.

Tok tok tok!

"Silakan"

"Permisi Pak, pukul 13 siang ini ada jadwal meeting dengan relasi, terkait tender baru yang bapak rencanakan". Ujar Iren, sekretarisku.

"Baik, ada lagi?"

"Tidak, Pak. Hanya itu".

Aku mengangguk, dan menyilakan Iren untuk kembali bekerja di ruangannya.

Kriniiiiing...! Kriniiiiing...!
Suara ponselku berdering.

"Assalamualaikum, Ma?"

"Waalaikumsalam Devan, kamu masih sibuk Nak?" Tanya Mama disebrang telpon.

"Nggak, Ma. Ini sebentar lagi selesai. Ada apa Ma?"

"Tolong kamu jemput Nabilah untuk viting baju pengantin di butik biasa langganan kita, ya Nak. Sekalian ajak Orang Tuanya.
Mama udah pesan baju untuk acara pernikahan kalian, tinggal diukur. Untuk ketring dan gedung biar Mama sama papa yang handle".

"Devan sebenarnya ada meeting siang ini Ma. tapi gapapa, nanti Devan minta reschedule lagi ke Iren. Sekalian Devan makan siang diluar dengan keluarganya Nabilah"

"Oke, jangan lupa sholat Dzuhur ya, Nak. Assalamualaikum".

"Iya, Mama sayang. Waalaikumsalam".

Tut. Telpon terputus.
*

Tingnong!

Aku memencet bel rumah Nabilah, tak lama kemudian seseorang membukakan pintu, tak lain ialah calon mertuaku.

"Assalamualaikum, Om".
Kuraih lengan Om Maliq dan kulabuhkan diwajahku, sebagai tanda hormat.

"Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh,
gimana? Sehat, Nak Devan? Mari, silakan duduk".

"Alhamdulillahirobbil'Alamin, baik Om. Om sendiri, gimana?".

"Alhamdulillahirobbil'Alamin, Om juga baik, Mari duduk. Tunggu sebentar, Nabilah dan Ibunya sedang siap-siap".

Aku mengangguk.
Tak lebih dari lima menit aku menunggu, sosok bidadari bercadar itu keluar menghampiri kami.
Dengan gamis yang menjuntai dan jilbab lebar yg menutupi lekuk tubuhnya.
Ahhh ... Melihat pemandangan ini, aku jadi teringat sepenggal ayat surat Ar-Rahman.

'fa bi'ayyi ālā'i rabbikumā tukażżibān'
(Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?)
Punya calon istri yang tinggi, lugu, Sholehah, cantik (terpancar dari auranya, meski aku belum melihat wajahnya), tapi aku masih saja terus mengharapkan Nizma.
Astaghfirullahal'adziiiiim.
Maafkan aku ya Allah, meski pilihanmu sangatlah istimewa, tapi aku masih belum bisa melupakan Nizma.

"Nak Devan!"
Suara Tante Maryam memecahkan lamunanku.

"Eh, iya iya Tante. Sudah siap?".
Tanyaku sambil mengusap wajah dengan kedua telapak tangan.
Aku gugup.
Jujur, aku sangat gerogi.
Menurutku ini aneh, apakah aku mulai menyukai Nabilah?

"Ayo, berangkat"

"Mari Tante, Om"
Aku beranjak membukakan pintu belakang mobilku, menyilakan kedua calon mertuaku untuk masuk terlebih dahulu.

"Ayah, Nabil boleh duduk di belakang dengan Ibu?"
Gadis lugu itu ternyata pemalu juga, sedikit berbeda dengan Nizma sangat aktif, comel, dan ... ceroboh.

"Lho,lho,lho ... ya gak boleh. Kamu harus terbiasa duduk di depan dengan calon suamimu, Nak". Tante Maryam menolak.

"Tapikan belum sah, Bu". Nabilah membujuk sambil menggelayuti lengan Ibunya.
Pemandangan yang sangat manis.

"Kan ada Ayah, ada Ibu juga. Lagian, Nak Devan gak bakalan ngapa-ngapain kamu toh Nak. Jangan GR gitu. Hihi. Iya kan Nak Devan?" Tante Maryam menimpali, sambil menggoda anak gadisnya.

Mendengar celotehan Tante Maryam, hatiku tergelitik. Ingin sekali tertawa rasanya.
Tapi tak aku lakukan, demi menjaga perasaan calon istriku.

"Tidak apa-apa, Tante. Jika Nabil memang belum siap, biar Om Maliq saja yang temani Devan menyetir".

Setelah melewati sedikit perdebatan antara ibu dan anak, akhirnya Nabilah bersedia duduk bersamaku.
*

Diperjalanan ....

"Kuliah lagi sibuk apa, Nabil?" Tanyaku membuka obrolan.

"Lagi sibuk siapin skripsi, Van. Sedikit pusing, sudah tiga kali ngajuin judul, masih ditolak terus sama Dosen".
Jawab Nabilah sambil menunduk.

Untuk ukuran muslimah yang menjaga izzahnya, Nabilah sangat luar biasa. Ia tak pernah menatap wajahku saat berbicara denganku. Ia lebih memilih menundukan pandangannya  karena kita belum sah menjadi suami istri.

"Memangnya ambil fakultas apa?" Sambungku kembali.

"Ekonomi"

"Mikro atau Makro?"

"Mikro".

"In Syaa Allah, nanti saya coba bantu. Kebetulan sayapun saat kuliah ambil Mikro".
Aku tersenyum.

"Em ... boleh, jika tidak merepotkan. Terimakasih sebelumnya".

"Sama-sama, Nabilah. Jangan sungkan. Jika butuh bantuan atau apapun, silakan bilang".

Gadis lugu itu hanya mengangguk.

Tak terasa perutku mulai keroncongan.
Ku parkirkan mobilku tepat disebuah Cafe keluarga, berdekatan dengan butik dimana kami akan viting pakaian.

"Om, Tante. Gimana kalau kita makan siang dulu? Kebetulan butiknya ga jauh dari Cafe ini, jadi bisa santai, makan dan ngobrol-ngobrol sebentar". Ajakku.

"Oke, Om dan Tante setuju, gimana Nabil?"
Tanya Om Maliq kepada putrinya.

"Nabil manut aja, Yah"

Bergegas aku turun terlebih dulu untuk membukakan pintu belakang, bagaimanapun Orang Tua itu prioritas.

---Bersambung---

Pacaran setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang