'The first experience'

16.4K 724 28
                                    

Pov. Devan

Pukul 06:15 WIB
Jakarta.

Sebelum berangkat kerja, seperti biasa aku melakukan ritual sarapan pagi bersama dengan istriku dan juga bi Inah.
Ditengah-tengah sarapan sedang berlangsung ....

"Sayang ..." Nabil membuka percakapan.

"Hm."

"Koq Hm doang? Ish, sebel."

"Iya, apa sayaaang ...?"

"Iren apa kabar, ya? Aku kangen."

"Telpon lah sayaaang ... video call gitu."

"Gak puas, aku maunya ketemu Iren."

"Lah, terus? Kamu mau nyusul dia ke London? Gitu?"

"Yuk!"

"Kemana?"

"Ke London."

"Sekarang?"

"Iya, sekarang. Yuk!"

"Ya Allah Sayaaang ... jangan ngedadak gitu, aku harus reschedule semua kerjaan aku, dong? Besok, ya? Gimana?"

"Yaudah, gak jadi."

"Lho, koq? Jangan ngambek gitu dong sayang ...."

"Pokoknya gak jadi,"

"Yaudah, ayo, siap-siap, kita berangkat sekarang."

"Nggak."

"Hm ... terus maunya gimana?"

Nabil diam, tak ada jawaban.

"Yasudah, aku pergi ke kantor dulu, ya!"

"Lho, koq ke kantor?"

"Iya, Sayang. Ke kantor. Kalau bukan ke kantor, terus mau kemana?"

"Katanya tadi mau ke London?"

"Lho? tadi aku ajak pergi sekarang, gak mau ...? Gimana sih, Sayaaaang ...?"

"Ya habis kamunya sih, aku kan maunya sekarang, malah diajak besok. Kan BT jadinya...!"

Aku menarik nafas panjang ...

'Huft ....'

"Tuhkan, narik nafas kayak gitu? Kesel ya, sama aku?"

"Kalau aku gak narik nafas nanti mati dong, Sayang ... enggak, gak pa-pa koq."

"Gak pa-pa apanya? Gak pa-pa aku bikin kesel kamu, gitu?
Devan ... koq kamu gitu, siih ...?
Masa aku minta ke London aja kamu kesel ...?
Kan kita udah lama gak pernah kemana - mana, kamu gak ngertiin aku gitu, aku tuh lagi kangen sama sahabatku, Iren, Sayang ... hiks."

'Astaghfirullohaladziim ... Ya Allah, maafkan aku, jika tak sengaja ucapanku menyakiti hati Nabil'

"Sudah dong, Sayang ... jangan baperan gitu ah ... Aku minta maaf, ya! Kamu mau ke London kapan? Asal jangan hari ini. Ada meeting penting di kantorku, Sayang."

"Tuh, kan! Sekarang malah ngatain aku baperan! Kamu jahat, Devan!"

Nabil menaruh sendok dan garpu dan segera meninggalkan aku pergi ke kamar atas.

Bi Inah, yang sedari tadi ada bersama kami, pun ikut merasa heran.

"Nabil kenapa, Bi?" tanyaku.

"Mungkin bawaan dedek bayinya, Mas. Sensitif. Pengennya dimanja terus. Hihihi."

"Memangnya ada yang begitu ya, Bi?"

"Lha ya ada, Mas! Tuh, buktinya. Mba Nabilah. Hihi."

"Ah Bibi, bisa aja. Jangan disangkut pautkan sama dedek bayinya, Bi. Gak boleh."

Pacaran setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang