24. Dia

91 8 1
                                    

Tiga minggu kemudian:

Quentine menghempaskan dirinya di atas kursi, menarik nafas sebentar sambil memejamkan mata. Pikirannya dipenuhi oleh apa yang akan ia hadapi esok hari. Sang pangeran harus berangkat ke Utara kala matahari mulai bersinar esok hari untuk membahas pengalihan hak atas Tanah Tertinggi.

Ya, pengelolaan tempat tinggal para makhluk legendaris itu akan diserahterimakan ke negara Selatan. Tapi nggak gratis. Harga yang mereka tawarkan hampir dua kali lipat dari nilai site tambang yang pernah mereka negosiasikan dahulu.

Belum lagi desakan sebagian besar menteri dan para pengendali agar Selatan tak lagi berhubungan dengan Utara, berkaca pada kasus perang kemarin. Betapa negara tetangga itu tak memiliki itikad baik sedikitpun untuk membantu mempertahankan Tanah Tertinggi.

Akibatnya, mereka menentang pertunangan Eric dan Adeena.

Kepala pangeran kedua itu langsung nyut-nyutan.

Bruukkk!!

Wajah minta ditabok Ares adalah yang pertama ia lihat kala membuka matanya, disusul tumpukan perkamen di atas mejanya yang semakin menggunung.

"Ini apa?"

"Kodok."

Baku hantam dimulai.

Alangkah damai hidupnya saat ini, pikir Quentine.

~**~

Di ruangan lainnya, terdengar suara ketukan pada pintu yang sedang dijaga Finn. Pengawal berambut pirang itu memeriksanya dan menemukan Raja Edmund menunggu di baliknya. Ia pun memberi hormat.

Sang Raja memasuki ruangan putranya, menatap lurus pada seorang pemuda yang sedang bersandar pada dipan kasurnya. Meski sudah berangsur membaik, namun wajahnya masih sedikit pucat. Dari apa yang dilaporkan padanya, kedua kaki Eric masih butuh waktu untuk kembali berfungsi seperti sedia kala. Sama seperti yang terjadi pada Cleo dulu ketika ia diselamatkan dengan meleburkan phoenix ke dalam tubuhnya. Butuh waktu hampir dua bulan saat itu.

"Bagaimana keadaanmu, nak?"

Eric tersenyum, "para tabib sudah memperbolehkanku untuk berjalan-jalan sebentar, sekaligus melatih otot-otot kaki ini."

"Jangan dipaksakan. Anne akan kembali esok hari membawa beberapa obat dari Timur."

Mereka berbincang singkat dan ringan, sama sekali tak membahas perang yang sudah terjadi ataupun ketegangan politik antara Utara dan Selatan. Edmund menunggu kondisi anaknya pulih terlebih dahulu sebelum membahas nasib pertunangannya dengan putri Adeena. Ia tak ingin Eric terbebani pikirannya saat ini. Untuk urusan negara pun, saat ini Quentine yang mengurus semuanya, dan harus ia akui anaknya menjalankannya dengan sangat baik.

Edmund awalnya tidak berekspekstasi lebih pada putranya yang terkenal akan sifatnya yang playboy dan menyukai pesta itu. Namun perlahan dari pertarungan demi pertarungan yang dilaluinya, ia melihat Quentine semakin menunjukkan jiwa kepemimpinannya, dan itu adalah hal yang sangat baik.

"Istirahat yang cukup, nak." pesan sang raja sebelum meninggalkan kamarnya, Eric memberi salam.

Di balik jendela, tumpukan salju mulai menipis. Tak ada lagi badai. Mereka sudah sampai di penghujung musim..

"Finn...?"

Terdengar helaan nafas panjang dari seberang kamar, dan itu saja sudah membuat hatinya berat.

"Belum ada kabar lagi, Eric. Masih sama."

Kali ini sang pangeran mahkota yang menghela nafas panjang. Meski matanya masih memandangi para penjaga istana yang sedang membersihkan jalan dari sisa-sisa salju, pikirannya kembali pada malam itu..

FAIRI : Istana Kaca (Buku 2) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang