flashback
Setelah serangan beruntun dilepaskan oleh para penyihir berdarah murni yang masih loyal pada kerajaan, barulah Yilduz dapat benar-benar dikalahkan. Namun mereka belum dapat menarik nafas selagi The Dawn masih mengancam dari atas sana. Bayangan pedang raksasa itu masih berupa guratan samar setelah menebas untuk pertama kalinya beberapa jam lalu, mengakibatkan Barat kehilangan Ratunya. Kali ini mereka tak akan membiarkannya lagi.
"Ayo ke Utara, hentikan Sirius!" seseorang berteriak diikuti yang lainnya. Alde tak perlu menunggu seruan itu karena dia yang terdepan memacu kudanya meninggalkan arena pertarungan. Namun baru saja mereka berjalan, B menunjuk ke arah langit dengan wajah sumringah, "Hilang! The Dawn telah hilang!"
"Apa?!"
"Dia benar, pedang itu tak ada lagi!"
"Kita menang?"
"Apa Sirius sudah mati?"
Maddox dan Alde saling melempar pandangan, berpikir hal yang sama. Sirius tidak mungkin mati karena ia seorang darah murni. Hanya sesama darah murni yang dapat membunuh satu sama lain. Kemungkinan terbesar adalah relic-nya telah hancur.
"Ayo kita pastikan ke Utara!"
Mereka bergerak lagi, meski kini separuh dada sudah mulai lega. Kehancuran sudah dapat dicegah dan kini mereka hanya tinggal meringkus pelaku penyebab keonaran ini.
Kondisi Tanah Tertinggi tak ubahnya dengan Barat; hancur total. Bahkan Kuil suci di penghujung daratan ini juga hampir ambruk akibat pertarungan yang terjadi di dalamnya. Tak menyiakan waktu, Aldebaran dan pasukan penyihirnya juga para pengendali Selatan yang membantu mereka di Barat langsung maju menerjang ke dalam.
Sementara seluruh bala bantuan yang ia bawa menyerang Sirius yang kini seorang diri, langkah penyihir Sage itu terhenti. Rambut merah itu tak ada dimanapun!
Atap kaca di atas telah hancur meninggalkan pecahan kaca berserakan di lantai. Ada juga lubang pada dinding di depan, seperti sesuatu telah dilempar paksa ke sana. Di dekat tembok yang hancur itu, Ia melihat pangeran mahkota selatan terbaring dengan seorang wanita di sampingnya. Tetap ia tak melihat Fairi di sana. Alde mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan seorang pengawal pangeran kedua selatan seolah mengerti apa yang sedang dicarinya, menunjuk tepat ke arah dinding yang hancur itu.
"Ia terlempar ke sana," ucapnya ditengah nafasnya yang tersengal, "Fairi, dia terkena pedang cahaya Sirius entah yang keberapa kalinya."
Dan Alde merasakan kakinya bergerak lebih dahulu dibanding pikirannya. Ia tak memperhatikan lagi apa yang terjadi di sekitarnya dan hanya fokus mencari bayangan rambut merah pada puing-puing ini!
Saat ruangan terakhir tempat hancurnya dinding ia masuki dan melihat bekas darah di sana, hatinya bagai dihantam palu gada. Segera diikutinya instingnya yang menuntunnya keluar dan menemukan sebuah kamp yang diperuntukkan sebagai balai pengobatan. Alde akhirnya menemukan Fairi disana; penuh luka dan tak sadarkan diri.
Quentine hanya berdiri di sudut dengan tubuh gemetaran sementara para pengendali sudah menampakkan wajah putus asa.
"Ia terluka parah.. dan mungkin akan koma."
Penyihir itu menyapukan lagi pandangannya ke arah wajah cantik yang kini dipenuhi luka. Ia menyentuh dahinya yang mulai berganti warna dihiasi memar di sana-sini. Sesuatu seperti mencekal jantungnya, namun kali ini bukan karena pengendalian darah, tapi sebentuk emosi.
"Akan kubawa ke Barat," ucapnya tegas, bukan dengan nada meminta persetujuan, "sihir penyembuh di sana akan lebih bisa mengobatinya."
Meski tak sepenuhnya setuju mengingat gadis ini berada dalam tanggungjawabnya, Quentine membenarkan bahwa pengobatan di Barat jauh lebih baik daripada Selatan. Ia mengangguk dan dengan ekspresi memohon, berkata pada Alpha di depannya, "bersumpahlah, berikan yang terbaik yang kalian miliki."
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIRI : Istana Kaca (Buku 2) ✔
FantasíaUsai meninggalkan Menara Langit, Fairi melanjutkan perjalanannya ke Barat untuk mencari penyihirnya dan mengobati sakitnya... atau ia akan mati di tangan orang yang memberinya kekuatan? disclaimer: cover image isn't mine, i took it from pinterest.