Waktu masih kecil, Fairi pernah diceritakan oleh kakeknya yang seorang pelaut, bahwa jauh di utara, ada sebuah tempat suci bernama Tanah Tertinggi. Di pulau yang dijaga oleh para Havardur itu, tinggallah para makhluk legendaris seperti Phoenix, Siren, dan Pegassus.
Para pengendali air yang berani akan bertaruh nyawa mendekati tempat itu, dan mencari siren mereka. Para siren ini kemudian akan menggendong para manusia dan menenggelamkannya ke laut sambil menampakkan sosok mereka yang menyeramkan. Kalau para manusia ini memasrahkan diri mereka, maka para siren akan kembali ke wujud asli mereka dan memberikan mutiara siren. Saat itulah, para pengendali air disebut memiliki kekuatan sempurna; mereka bisa melebur menjadi air.
Meski Fairi belum menemukan siren dan mutiaranya, namun kekuatan sempurnanya untuk pengendalian darah sudah ia dapatkan dari perjanjiannya dengan Maddox dan Aldebaran. Dan ia tak akan lupa membalas budi.
"Aarrgggghhhh!!!!" suara sang Alpha memecah malam di tempat pembantaiannya. Darah sudah mulai mengalir dari mulut dan hidungnya.
Duar!!
Sebuah bola hitam menghantamnya dan ia terlempar, untuk kemudian dicekal lagi jantungnya. Alde berusaha memberontak, mempertahankan hidupnya dalam sepuluh menit terakhir. Dikeluarkannya kekuatannya yang berwarna emas dan dilemparkan ke tempat lawannya.
Duar!! Duar!!!
Terdengar rintihan, tanda ia mengenai targetnya. Sejujurnya, pertarungan ini sungguh merepotkan! Bukan saja karena kekuatan pengendalian darah Hames yang tak kasat mata, tapi juga karena ia dikeroyok tiga orang; 1 penyihir, 1 zombie, dan 1 pengendali.
Saat melihat kilatan hitam lagi, cowok itu memasang perisai melingkari tubuhnya. Serangan lawannya terpental. Alde kemudian membuat sebentuk lingkaran cahaya di atas daerah sekitar lawan-lawannya, untuk kemudian dijatuhkannya hujan cahaya yang berbentuk ratusan anak panah.
Cukup untuk membuat Hames melepaskan cengkeraman pada dirinya.
Aaarrrgghhhhh!!!
Suara teriakan lagi, tapi bukan berasal darinya. Dari parau suaranya, itu Rowan.
"Alde!" Fairi yang tiba-tiba muncul dari belakangnya, sedang main tarik ulur dengan Hames sekaligus mencengkeram jantung Rowan, dan satu tangannya mengendalikan es untuk menahan Margareth.
"Bagaimana cara membunuh zombie?!" teriak cewek itu kebingungan. Kalau mereka memiliki darah dan jantung, ia bisa dengan mudah menghancurkannya. Tapi kalau nggak punya, bagaimana cara ia mempertemukannya dengan malaikat maut?
(Eh, mereka emang udah ketemu ya?)
"Aku saja!" teriak cowok itu sambil mengeluarkan sepasang cahaya berbentuk piringan emas dan langsung menebas leher Margareth yang masih tak bisa bergerak karena kakinya yang membeku dalam es.
Sebuah kepala jatuh disertai ledakan akibat energi pengendalian necromancer yang lepas.
Fairi menyaksikan tubuh zombie itu mengering bagai daun layu dengan cepat, sebelum akhirnya hilang menjadi debu. Yang tidak ada memang seharusnya tak usah diada-adakan, kan?
"Okay."
Satu tumbang.
Kini cewek itu fokus pada sepasang penyihir dan pengendali di depannya. Ia masih erat menggenggam jantung Rowan yang mulai menggelepar bagai ikan kehabisan air, namun Hames berhasil membuat hidung Fairi mengeluarkan darah segar. Cewek itu mulai kesulitan bernafas.
Sebelum ia juga menggelepar seperti musuhnya, dengan secepat kilat, Fairi memilih melepaskan Hames dan memutuskan jantung Rowan seutuhnya. Penyihir pria itu berteriak kesakitan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Jatuh ke tanah dengan mata terbelalak. Hames berlutut di sampingnya sambil mengguncang-guncangkan tubuh penyihirnya itu, berusaha mencari reaksi yang tak akan pernah ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAIRI : Istana Kaca (Buku 2) ✔
FantasiUsai meninggalkan Menara Langit, Fairi melanjutkan perjalanannya ke Barat untuk mencari penyihirnya dan mengobati sakitnya... atau ia akan mati di tangan orang yang memberinya kekuatan? disclaimer: cover image isn't mine, i took it from pinterest.