1. pagi yang kusut sengkarut

68 9 2
                                    

"Aksa! Tungguin hei!" teriakku memanggil seorang lelaki.

Lelaki itu membalikkan tubuhnya, menghadap penuh ke arahku. "Lam-bat!" ujarnya penuh penekanan.

Memang menyebalkan orang ini. Tapi kadang sih. Memang begitu dia jika tak mau disalahkan.

Aku berlari menghampirinya. "Jahat banget sih, main pergi duluan. Hobby banget ninggalin orang!" ujarku seraya memutarkan kedua bola mata bertujuan menyindir.

"Sudah waktu kita dewasa, meninggalkan sesuatu yang buruk karena semua tidak harus tentang setia dan bertahan. Mungkin di depan sana ada sesuatu yang lebih baik untuk diperjuangkan," ujarnya sok menasihati.

Bukannya dia tersinggung, malah aku yang dibuatnya naik darah. "Lo pikir gue buruk gitu? Jadi harus ditinggalin?!" Emosiku mulai membara.

Aksara berjinjit kaget. "Telinga itu fungsinya untuk mendengar dan Tuhan memerintahkan umatnya untuk mendengarkan hal yang baik. Kalau omelan itukan hal buruk, berarti bukan perintah Tuhan dong? Berarti ...." Aksara menjeda ucapannya.

Aku langsung menangkap arti dari ucapannya. Itu artinya aku bukan umat Tuhan, begitu? "Aaaa! Sebel banget gue sama lo! Serah! Gue MA-RAH!" ujarku memakinya. Masa bodoh dengan keadaan sekitar yang menatap heran kita berdua.

Aku berjalan mendahuluinya. Dia yang aku tinggalkan sekarang. Bukankah kata dia tadi kita harus meninggalkan hal yang buruk? Ini langkahku balas dendam.

Emosiku masih setia berada di ubun-ubun. Masih sepagi ini dan mood-ku sudah hancur. Aksara rese!

"Hei! Mau ke mana?" teriakkan Aksara memanggilku.

Bego sekali dia! Sudah jelas aku mengenakan seragam sekolah, masih saja ditanya mau ke mana.

"Mau ngapain sih ke arah kuburan?"

Deg!

Apa?!

Aku celingukan melihat sekitar. Ini memang ke arah kuburan, walaupun jauh jaraknya.

"Bego! Bego! Bego!" Aku mengucapkan kata itu tanpa sadar.

Ngapain sih tadi aku belok kiri, kan seharusnya aku belok kanan.

Aku malu setengah mati.

Mamaaaaa. Maluuuuu.

Sudah mengumpat Aksara, ngatain dia bego. Malah aku sendiri yang bego. Ingin rasanya melenyapkan diri ke bumi lalu menghilang.

Aku memutar tubuhku, lalu berjalan angkuh seperti tidak terjadi apa-apa.
Melewatinya begitu saja dan meliriknya sekilas.

Sial!

Ia sedang mengulum tawa. Kalau saja egoku tidak tinggi, sudah aku pukul ia dengan tasku dan kumaki-maki lagi.

Oke, sabar. Ingat sabar.

Hempuskan napas, keluarkan perlahan. Hembuskan napas, keluarkan perlahan. Miss universe gak boleh emosi. Nanti kulitnya cepat keriput. Sabar.

Aku masih terus berjalan dan melakukan hembusan napas secara teratur. Tetap berjalan dan menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang.

"Ngik." Suara perempuan yang sengaja memplesetkan namaku terdengar nyaring di telingaku, lalu terdengar juga langkah kaki berdentum ke arahku.

Aku memutarkan mata malas. Emosiku yang tadinya meredam muncul kembali jadinya. Aku benci nama panggilan itu karena diplesetkan seperti suara salah satu binatang.

"Jangan panggil gue 'Ngik'! Nama gue 'PELANGI'!" sambarku marah lalu menoleh ke arah perempuan sebayaku itu.

Bukannya takut, perempuan itu malah tertawa. "Siapa suruh nama lo kepanjangan! Ribet keleus manggil lo Pelangi, enakkan juga Ngik," sahutnya disertai tawa kemenangan.

AKSARA HILANG MAKNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang