Ditunggu 110 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.
Terima kasih :)
□■□■□■□■□
Hinata keluar dari restoran dengan tergesa-gesa. Laki-laki itu pasti gila—mantan suaminya benar-benar gila mengatakan bahwa seorang Hinata butuh perawatan mental ke rumah sakit. Dan laki-laki itu telah menyiapkan segala keperluan rehabilitasi yang akan diikuti olehnya. "Pasti gila. Dia tidak pernah berubah untuk menjadi pria gila. Dasar menyebalkan! Aku tidak akan bertemu dia lagi! Ini terakhir kalinya aku baik padanya—ahhh." Hinata menjauh saat seseorang menarik pergelangan tangannya, ia berhasil mengibaskan kasar, tangan mantan suaminya yang mencengkeram kuat. "Hentikan. Kumohon berhenti mengatakan sesuatu yang menyinggung perasaanku, Naru."
"Aku tidak menyinggung perasaanmu, tapi kau mengkhawatirkan. Kau harus mengikuti serangkai rehabilitasi. Dan, aku berjanji akan menemanimu."
Hinata menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melangkah menjauh, bahkan tak dapat dihindari, bahwa mereka kini menjadi bahan tontonan di lobi. "Berhenti berbicara omong kosong seperti itu. Kita tidak punya hubungan apa-apa. Kita sudah berpisah, kau bukan lagi waliku, dan kau bukan lagi keluargaku. Kita sekarang menjadi orang asing."
"Hinata, pikirkan perkataan ibu untuk pertama kalinya."
"Jangan libatkan ibu ke masalah ini, Naru."
"Tapi apa yang aku lakukan karena ibu yang menyuruhku demikian!" Hinata terkesima. "Ibu berpesan padaku, jika aku harus memperhatikan dirimu, dan selalu ada untukmu."
"Naru," Hinata mencermati mantan suaminya dengan pandangan miris. "Itu jika kita masih bersama—jika kita tidak bercerai. Jika kita benar-benar menikah. Itu yang harusnya kaulakukan padaku. Memperhatikan aku karena aku istrimu. Namun sekarang, kita tidak berada ke dalam hubungan itu. Dan hubungan itu tercipta karena saling membutuhkan. Semuanya demi membahagiakan ibu. Kita telah menulis kontrak, dan di dalam kontrak itu kita akan bercerai setelah ibu—" Hinata memilih tidak melanjutkan, memotong perkataannya, takut-takut bila mantan suaminya itu akan bersedih karena ucapannya. "Kumohon, kau harus berhenti bersikap konyol."
Hinata pergi menjauh, keluar dari restoran, tetapi mereka tetap menjadi pusat perhatian, meskipun sebenarnya suara Hinata tidak terlalu lantang, tapi orang-orang di sekitar mereka bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi pada keduanya. Pastinya, orang-orang itu tahu, bersitegang di tempat umum berarti bukan sesuatu yang baik. Tidak dapat diselesaikan dengan kedua belah pihak hanya duduk manis di tempat mereka masing-masing, dan mungkin, sesuatu yang jelas tidak boleh diperdebatkan, bahkan dibicarakan secara ringan.
Naruto keluar dari restoran di mana dia menghabiskan waktu makan siangnya bersama Hinata. Awalnya cukup membicarakan sesuatu yang ringan, tidak memperdebatkan apa pun, tidak pula saling melempar pemikiran-pemikiran mereka. Dan pastinya tidak ada perseteruan, bahkan Naru menganggap apa yang akan dia tawarkan pada Hinata tidak akan berakhir sebagai peperangan. Tercatat sebagai kriminal, membuat diri Naru tergerak untuk membantu perempuan itu. Hinata tidak boleh menjadi wanita pembuat onar—hanya itu yang dipikirkannya. Ketika pertemuan di kelab malam mengantarkan Naru pada kepedulian sebagai keluarga yang harusnya tak dirasakannya kembali.
Baru saja duduk di kursi kemudi, hingga menyalakan mesin mobilnya. Hiroko tiba-tiba menghubunginya. "Mr. Uzumaki, apakah perlu saya tunda pertemuan dengan klien Anda?"
"Tidak perlu. Aku akan segera kembali ke kantor."
□■□■□■□■□
Naru terpaksa membatalkan sebuah acara pesta, hanya karena dia sangat begitu frustrasi memikirkan tentang Hinata—masalah tadi siang, dia enggan untuk berlama-lama di luar.
Sedangkan begitu sampai di penthouses, ia langsung menyambar wiski, dan menuangkannya ke dalam gelas berisi balok-balok es. Sambil memandang panorama malam dari ketinggian balkon tempat tinggalnya, ia menyesap perlahan dan terus memikirkan tentang mantan istrinya itu.
Sulit mengenyahkan perempuan itu dari dalam pikirannya, pada awalnya kehadiran Hinata sebagai pasangan main yang pas, dan Naru menginginkannya.
Berjalannya waktu, ia peduli pada perempuan itu bukan sekadar peduli pada pasangan main. Hinata menjadi sosok keluarga yang hangat, memperhatikan dirinya sebagai suami wanita itu, menghormati dirinya, bahkan memberikan apa yang dibutuhkan seorang laki-laki pada malam harinya.
Perempuan itu tidak mengeluh jika Naru menginginkannya sebagai seorang laki-laki, tapi bukan sebagai seorang suami yang pantas mendapatkannya, karena mengingat mereka tidak menikah demi terlibat kisah-kisah asmara yang membeludak, bahkan melangkah demi tujuan pernikahan mereka untuk membangun sebuah keluarga. Tapi mereka sebagai pasangan main yang saling membutuhkan.
Naru, seorang aseksual, tapi tidak menutup kemungkinan dia pun menginginkan persetubuhan jika berahi sebagai seorang laki-laki melonjak pada malam harinya. Hinata tak bisa menolak, karena ia pun menginginkannya, berpikir pantas untuk memberikannya pada Naru, meski di balik itu, akan ada kompensasi yang diterimanya persis sebagai seorang pelacur.
Seandainya, pada malam itu temannya tidak mengajaknya ke sana, ia pasti tidak akan segila ini, ketika mendapati perempuan itu sedikit berubah dari Hinata yang lemah-lembut, kini menjadi liar dan pencandu alkohol. Lalu keesokan paginya, Naru meminta seseorang untuk mencari daftar riwayat Hinata—apa yang dilakukan wanita itu selepas perpisahan mereka.
Satu tahun awalnya, Hinata hanya menyibukkan diri sebagai seorang janda yang tinggal di kompleks perumahan orang-orang kaya di Musashino. Naru memberikan rumah itu untuk Hinata tinggal setelah perceraian mereka nanti. Tapi setahun kemudian, rumah itu pindah kepemilikan, dan Hinata tidak pernah diketahui berada di mana.
Sampai akhirnya genap tiga tahun perpisahan mereka, perempuan itu mulai muncul dan berganti-ganti kelap malam. Mengikuti pesta bikini, minum-minuman keras, keluar-masuk tempat-tempat aneh yang tak dipahami oleh Naruto sendiri.
Hinata bahkan semakin terkenal karena blog pribadinya, yang mengulik tentang kehidupan seorang gadis-gadis malam nan liar di Tokyo. Seolah tidak pernah memikirkan untuk berhenti mengikuti serangkaian pesta-pesta gila yang sangat mengerikan.
Pasti, ada sesuatu yang membuat Hinata menjadi seperti itu, karena mungkin, Hinata tidak memiliki tempat untuk bercerita. Perempuan itu amatlah tertekan, ibu mertua yang biasa menjadi tempatnya bersandar kini tak lagi ada di dunia ini, Hinata pasti tengah berjuang untuk memendam kerinduan itu.
"Ya, aku butuh berjuang sedikit lagi untuk meyakinkan Hinata, bahwa dia tidak sendiri." Naru bergumam, selesai dia meneguk wiski terakhir di gelasnya.
Namun beberapa menit kemudian, ketika Naru baru saja selesai menutup pintu balkon, berencana untuk melanjutkan kerja di tengah malam seperti biasa, tiba-tiba ponselnya berdering di atas sofa. Ia tidak dapat mengenali nomor itu. Akan tetapi firasatnya berbicara jika panggilan itu amatlah penting. Maka Naru meraihnya, lalu memberitahu orang di seberang sana, "Ya, dengan Naruto Uzumaki di sini."
Laki-laki bersuara berat mengumumkan, "Maaf mengganggu malam-malam, tapi kami dari kepolisian, apakah betul Anda mengenal seorang wanita bernama Hinata Hyuuga?" Naru terdiam sesaat, sebelum akhirnya dia membenarkan dengan suaranya yang kecil bahkan tercekik di tenggorokan. "Kenalan Anda sedang mabuk berat. Dia menyerang teman minumnya—laki-laki itu saat ini berada di rumah sakit untuk melakukan pengobatan, ada bekas cakaran di wajah, kami menunggu hasil dari rumah sakit, apakah si korban mengalami luka serius. Jika memang begitu, kami tidak bisa hanya menghukumnya tinggal di kantor polisi selama 24 jam."
□■□■□■□■□
B E R S A M B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
SECONDLY ✔
Fanfic[Short Series] Naruto dan Hinata menikah karena alasan yang tak dapat dimengerti oleh mereka sendiri, dan dua tahun kemudian, mereka memutuskan untuk bercerai. Lima tahun setelahnya, tepatnya saat mereka memiliki kehidupannya masing-masing, keduany...