BAB 17

2.5K 374 9
                                    

Ditunggu 150 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.

Terima kasih :)

□■□■□■□■□

Setahu Naruto, Hinata memang tukang makan, tapi tidak berpikir bahwa serakus yang diceritakan oleh wanita itu sendiri—Hinata mengakuinya, betapa sedih dia sering kali memiliki kebiasaan untuk ikut lomba makan di beberapa kesempatan, kalau memang ada hadiah yang menggiurkan menurutnya.

Perempuan itu mengakui, sekitar lima bulan yang lalu dia mengikuti acara lomba makan mi dan meraih hadiah berlibur ke pulau Bali. Hinata ingin pergi ke Bali, tapi dia perlu memikirkan banyak hal untuk pergi ke sana. Rasa-rasanya dia lebih mementingkan untuk belanja baju-baju mahal daripada berniat traveling. Ia menghabiskan 20 mangkuk ramen dengan tambahan taoge juga daging babi yang menggunung. Itu pertama kalinya Gaara Sabaku mengetahui betapa rakusnya dia. Tetapi beruntung tidak bertahan lama ketika hadiah benar-benar mendarat untuk kemenangannya. Dan sejenak teman merahnya itu berhenti mengolok-olok soal rakusnya dia pada makanan.

Namun pertemuan mereka hari ini, Gaara mengungkit kembali, "Kira-kira suamimu tahu soal itu?" Naru mungkin tahu kalau dia mampu menghabiskan makanan, dengan alasan tidak ingin menyia-nyiakan makanan. Jika soal rakus, dia kira Naru tidak pernah membayangkan sampai ke sana.

Sambil mengaduk teh, sejak tadi Naru ingin tertawa karena sikap istrinya. Kali ini perempuan itu sedang di depan televisi selagi memasukkan potongan pizza ke mulutnya. Dia menonton drama dari kaset yang dibeli oleh mereka tadi, saat tiba-tiba sang istri berkata, "Kita nonton movie saja di rumah, sayang sekali kalau TV besarmu tidak pernah dimanfaatkan." Malam pertama mereka dihabiskan menonton dua film romantis yang tidak benar-benar Naru mengerti ceritanya. Sejak tadi dia ikut menonton hanya mencoba memijit pergelangan kaki istrinya, dan menggoda habis-habisan wanita itu yang tidak mau diganggu acara menontonnya.

Begitu sampai di sebelah istrinya kembali, Naru duduk miring menghadap istrinya yang cantik dan pantulan cahaya televisi berpendar ke depan wajah istrinya yang fokus memandangi layar.

Seingatnya dulu dia tidak seberapa dekat dengan istrinya seperti sekarang. Naru mengingat kalau mereka dulu penuh kecanggungan. Mereka berdua berpikir hubungan mereka cuma main-main dan ada saatnya nanti perpisahan yang mengakhirinya. Tidak perlu menganggap begitu dekat, Naru merasa tidak nyaman kalau dia mendapatkan dua kali lipat rasa kehilangan yang menyakitkan.

Merasa diamati, Hinata berhenti mengunyah pizza yang penuh di dalam mulutnya. Sialan, perempuan itu mengumpat. Ia kehilangan kendali terhipnotis oleh movie dengan cerita menyentuh sepasang kekasih yang berakhir tragis—sebenarnya lebih tragis dia yang sudah menghabiskan medium lasagna serta delapan potong pizza, belum dengan empat ayam krispi, satu botol cola. Dasar mulut ini memang kurang ajar! Ungkapnya dalam kemarahan di dalam hatinya.

Hinata mengusap pinggiran bibirnya, kemudian meraih mug berisi teh hangat yang ada di meja minimalis di depannya. "Terima kasih tehnya."

"Kau masih ingin makan lagi?" Hinata menggelengkan kepala, tampak malu. "Kita bisa pesan lagi kalau kau mau," dengan gerakan cepat, Hinata meraih tangan Naruto yang mengotak-atik ponsel, dengan sistem daring mereka bisa memesan makanan yang mereka mau, dan akan diantar dalam waktu kurang lebih dua puluh menit. "Kenapa?"

"Sudah kenyang."

"Kau yakin?" suaminya terlihat tidak peduli bagaimana dirinya telah menghabiskan banyak makanan untuk malam ini. "Kau harus makan yang banyak, kurasa kau butuh tenaga saat di ranjang," goda Naru. "Tidak, tidak, aku cuma bercanda." Pria itu nyaris terpingkal-pingkal melihat wajah istrinya yang cemberut. "Kita bereskan sekarang."

SECONDLY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang