BAB 8

2.4K 416 4
                                    

Ditunggu 140 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.

Terima kasih :)

□■□■□■□■□

Hinata terbangun. Dengan mata masih mengerjap, dia turun dari kasur besar Naru. Semalam yang dia ingat, dia tidur bersama dengan mantan suaminya itu—tidur biasa, tidak ada yang terjadi pada mereka. Hanya saja, Naru punya kebiasaan setidaknya satu atau dua jam setelah tidur dia pasti akan terbangun. Maklum, dia bekerja seperti penduduk Jepang pada umumnya, tanggung jawab dalam pekerjaan diprioritaskan. Bukan rahasia lagi, angka kematian karena kelelahan bekerja semakin tinggi di Jepang. Sampai-sampai pemilik perusahaan mengimbau untuk semua karyawan pulang tepat waktu, tapi bagaimana kalau bosnya sendiri macam Naruto?

"Naru, aku lapar!" Hinata menepuk-nepuk perutnya, tapi Naru tidak ada di mana pun ketika dia mencarinya setelah keluar dari kamar—tidak mendengar laki-laki itu menanggapi keluhannya, Hinata semakin dibuat kesal.

"Oh, dia di sana." Tidur di atas sofa, kertas-kertas HVS berserakan, jatuh jatuh tepat di atas permadani, ada yang masih tertata rapi di sebelah laptop laki-laki itu. "Naru, bangun! Ayo makan!" ujar Hinata.

Naru hanya melenguh sesaat saat masih berbaring, lalu dia tidur lagi. "Ini hari kerja lho, kenapa kau masih tiduran? Ini sudah jam enam, nanti kau telat."

"Aku yang punya perusahaan, kenapa aku harus khawatir?" masih memejamkan mata, laki-laki itu berkata. "Kau pesan makan saja ya. Kita akan pergi ke rumah sakit sekitar siang. Dokter tersebut masih menghadiri beberapa konferensi pagi-pagi sekali, dan ada urusan setelah itu."

"Jadi kau benaran akan membolos?"

"Iya. Lagi pula, seingatku, tidak ada jadwal penting hari ini."

"Apakah hari ini seharusnya kau punya jadwal bermain golf?" Naru membuka matanya. "Apakah jadwalmu masih sama seperti beberapa tahun yang lalu?"

"Ya. Seharusnya. Tapi aku sedang lelah, aku akan ambil jadwal sekitar sore hari." Naru mengambil duduk, dengan merasakan sesuatu yang berat berjatuhan ke belakang tubuhnya. Namun ia mengangkat wajahnya, Hinata mengambil duduk di atas pahanya. Tubuh kecil perempuan itu menghadap ke arahnya. Dengan tali kamisol yang melorot, Hinata terlihat seksi. Tapi bukan waktunya untuk tergoda. "Apa yang kaulakukan?"

"Apa kau masih sama juga?"

"Apanya?" Hinata menggelengkan kepala, wajahnya menggoda, bibirnya tersungging senyuman. "Apa yang ingin kaukatakan?"

"Kau... masih menjadi aseksual? Kau tidak terangsang?" mantan istrinya berbisik. "Kau tidak merasakan dorongan seks pagi ini?" Naru masih memandanginya—perempuan sialan ini mengajaknya bermain. "Bagaimana kalau aku melucuti semua pakaianmu? Aku akan berada di bawahmu... lalu... aku..." belum berhasil membisikkan semua kata-kata penuh gairah itu. Hinata kaget menjumpai seorang wanita tinggi semampai berwajah syok. "Oh, demi Tuhan!" Hinata buru-buru berguling ke samping, Naru mengernyit tidak mengerti sampai akhirnya dia pun menjumpai Ms. Hiroko yang masih membeku. Naru buru-buru membenahi kancing kemejanya, juga menurunkan kaus dalaman—Hinata baru saja menggoda dengan menyentuh perutnya—memasukkan tangannya ke dalam kaus dalaman putih yang dikenakan olehnya.

Naru berdiri, tapi masih tenang, tidak termakan gugup ataupun panik seperti Hinata yang buru-buru berlari masuk ke dalam kamar Naru.

"Apakah... saya mengganggu?"

"Tidak." Naru mencari pelarian dengan membenahi semua kertas-kertas yang berjatuhan. "Oh iya," dia kembali berdiri tegap, kedua tangan masing-masing diletakkan pada pinggul. "Bukankah aku sudah mengirimmu pesan, kalau aku tidak akan pergi ke kantor seharian ini. Aku yakin mendapatkan notifikasi kalau pesan itu benar-benar sudah terkirim ke akun sosial mediamu." Ms. Hiroko berwajah malu. "Kau tidak mengecek ponselmu?"

SECONDLY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang