Ditunggu 150 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.
Terima kasih :)
□■□■□■□■□
Tinggal sendirian di pentouses, ternyata membuat Hinata benar-benar kesepian, dengan perbedaan waktu sekitar lima jam, Hinata lebih cepat untuk pergi tidur sementara Naru sibuk bertemu beberapa orang di Dubai. Tadi malam, suaminya menceritakan tentang Ms. Hiroko, malam ini pun tidak jauh berbeda. Laki-laki itu terlihat gusar dan cemas, "Aku tidak bisa apa-apa tanpa Hiroko, dia yang banyak membantuku, beradaptasi dengan orang baru membuatku tidak nyaman," kali ini sang suami menghubunginya lewat sambungan panggilan video. "Mungkinkah terjadi sesuatu? Tapi akhir-akhir ini dia sangat pendiam."
"Berarti ini perjalanan bisnis untuk terakhir kalinya bagi Ms. Hiroko?"
"Iya, setelah itu dia akan berhenti bekerja."
"Apa mungkin kau memberikan gaji yang tidak sesuai?" suaminya terdiam, berpikir sejenak. "Bukankah orang-orang seperti Ms. Hiroko bakal memiliki keinginan kuat untuk berhenti dari pekerjaannya bila mereka tidak mendapatkan gaji yang sesuai dengan apa yang sudah dia kerjakan selama ini. Kau sudah banyak menyusahkan Ms. Hiroko, coba kau temui dia, ajaklah mengobrol soal gaji yang pantas atas kerja kerasnya."
Mungkinkah?
"Kurasa masalahnya itu, tapi apakah benar begitu?" Naru menjadi bimbang.
"Tidak ada salahnya untuk mencoba. Kau sudah terlalu nyaman dengannya, tidak mudah menemukan seseorang yang memberikan pelayanan sebaik Ms. Hiroko, kau mungkin sulit akan menemukan yang baru nanti." Naru mencoba untuk mengingat-ingat berapa banyak yang sudah dia keluarkan untuk memfasilitasi Hiroko. Tapi Naru rasa, semuanya lebih dari cukup.
Di tahun kedua di mana Hiroko bekerja, Naru telah menghadiahkan Hiroko mobil Toyota C-HR, karena wanita itu butuh mobil pribadi untuk pergi ke mana-mana, kenaikan gaji, fasilitasi berlibur setidaknya enam bulan sekali, dia tidak mau membuat sekretarisnya stres karena pekerjaan yang menumpuk. Naru telah memberikan apa pun yang dibutuhkan oleh Hiroko. Nah, kalau kenaikan gaji, setiap tahunnya Hiroko akan mendapatkannya.
Dan, mungkinkah semua yang diberikan olehnya itu masih kurang?
"Aku akan bicarakan hal ini dengan Hiroko lagi."
Benar, mungkin ada ketidakpuasan yang dirasakan oleh Hiroko, dan Naru melewati bagian itu.
Di tengah panggilan video, Naru menjumpai Hinata sudah pergi tidur, tapi tangan wanita itu tetap memegangi ponsel, sehingga kamera ponsel tetap menyoroti wajah tidur istrinya. Seandainya dia punya waktu untuk kembali ke Jepang, Naru pasti akan melakukannya. Tapi mengingat dia bertemu banyak orang di sini, Naru tidak ingin melewatkan acara-acara yang seharusnya dihadiri olehnya, ia tidak mau membuat orang-orang yang telah mengundangnya datang ke sini kecewa berat.
Dua hari berturut-turut dia datang ke pesta ulang tahun seorang pejabat negara, menghadiri pesta rumah mode, pesta-pesta luar biasa lainnya yang mendatangkan artis-artis papan atas dunia. Ia pikir istrinya harus ikut. Dengan begitu dia bisa membawa setidaknya beberapa gaun rancangan yang diperebutkan di sini—itu kalau Hinata memang menginginkannya.
Paginya, Hinata bangun dengan kaget, saat ponselnya mati, menduga kemudian jika Naru tidak memutuskan panggilan video itu, sampai akhirnya Hinata menyambungkan daya dan menghidupkan ponsel itu kembali. Pesan masuk dari Naruto, "Selamat tidur, Sayangku," menghiasi halaman notifikasi. "Aku mulai membicarakannya dengan Hiroko."
Berselang beberapa menit, mungkin sekitar lima belas menit, tiba-tiba ponselnya berdering. Hinata menduga itu suaminya. "Selamat pagi," dia berucap manis dengan memegangi secangkir teh chamomile. "Bagaimana suamiku? Apa kau sudah berbicara serius dengan Ms. Hiroko?" Hinata melirik jam dinding. Ini pukul sepuluh pagi, berarti di Dubai jauh lebih pagi. "Kau belum tidur?"
"Tenang saja, aku sudah tidur kok."
"Kurasa di sana terlalu pagi untuk membicarakan masalahmu dengan Ms. Hiroko."
"Iya, aku baru berkeliling hotel untuk lari pagi, udara di sini cukup baik. Dan, kuharap kau bisa ikut kemari lain kali. Oh iya, tadi malam aku menghadiri lelang amal, aku membawakan sesuatu untukmu."
"Apa itu?"
"Tunggu aku di rumah."
"Aku berpikir pasti itu mahal."
"Tidak terlalu mahal kok."
"Sayang sekali, aku tidak yakin denganmu," Naru terkikik. "Oh iya, aku harus ke rumah sakit nanti siang. Dan aku perlu mampir untuk bertemu dengan Gaara."
Naru menghadap cermin kamar mandi setelah dia memasang pengeras suara pada ponselnya. Ia kini sibuk mencukur jenggot tipis yang tumbuh di sekitar area bibirnya. "Aku tidak berharap kau pulang-pulang dengan menangis."
"Menangis kenapa?"
"Tentu saja, karena Gaara menggodamu, karena mau mirip babi guling."
"Diam!" Hinata merengut, sementara Naru dapat membayangkan wajah istrinya yang cemberut. "Aku tidak akan tinggal diam kalau kau menggodaku juga."
"Sayang, kau cantik, kalau berisi dan muka tembam, kau jauh lebih cantik, aku tidak akan meninggalkan dirimu hanya karena berat badanmu naik. Untuk sekarang kau benar-benar kurus, aku bahkan bisa menggendongmu dengan satu tangan saja," dari seberang sana, Naru dapat mendengar istrinya membuang napas terlalu berat. Pasti marah. Pasti merajuk. "Jangan lupa sarapan, jangan meninggalkan makan siang, jangan meninggalkan makan malam juga."
"Sudah kubilang diam, aku tidak akan lupa soal makanan." Selesai dengan mencukur, Naru kembali menempelkan ponselnya ke telinga. "Aku rindu, ini sudah seminggu kau meninggalkan rumah, aku jadi kesepian. Lalu besok, kau langsung pergi ke Australia, bukan?"
"Betul, aku akan mengambil penerbangan sekitar siang hari waktu setempat."
"Setelah seminggu di Australia, kau akan pulang ke rumah, 'kan?"
"Kurasa tidak bisa langsung berjanji, aku pikir harus mengosongkan jadwal akhir tahunku, banyak yang harus aku lakukan di luar negeri, aku mungkin perlu ke Bangkok dan Singapura setelah itu. Kau yang paling tahu, aku memiliki banyak pekerjaan, dan aku berjanji pada ibu untuk melakukan semuanya sekaligus, mengurus bisnis minyak, batu bara, trading. Jadi, kumohon maafkan aku karena harus sibuk sampai empat bulan ke depan." Suaminya mencerocos, Naru tampak menyesal karena mungkin kepulangannya ke Jepang nanti tidak akan bertahan lama. Berselang beberapa hari dia harus pergi ke luar negeri lagi, jadwal tersebut menjadi acara tahunannya, dan sepertinya sulit untuk menundanya. Dan sejak kemarin, dia berpikir untuk menyelesaikan sekaligus supaya dia bisa merayakan Natal bersama istrinya.
Hinata tersenyum di balik sambungan telepon. "Aku tidak pernah menyuruhmu untuk meminta maaf, aku ingat apa yang telah kau janjikan pada ibu. Oh iya, aku akan pergi ke panti asuhan lusa depan, ingin memberikan bingkisan untuk ibu panti."
"Tentu, lebih baik lagi kau membagi-bagikan bingkisan untuk anak-anak di sana juga."
"Akan lebih baik kalau aku mengirimkan hadiah-hadiah tepat hari Natal saja, dan hari Natal masih beberapa bulan lagi, ini baru akhir bulan Juli."
"Aku janji bulan Desember tidak ada jadwal apa pun," walaupun sepertinya itu mustahil, Hinata tidak akan mengatakan kekecewaannya terlebih dahulu. Ia perlu percaya pada suaminya, bulan Desember nanti, mereka bisa merayakan Natal bersama, mereka juga punya jadwal kencan. Masa bodoh kalau umur mereka sudah tiga puluh tahun, dan mereka perlu berlagak seperti anak muda.
□■□■□■□■□
B E R S A M B U N G

KAMU SEDANG MEMBACA
SECONDLY ✔
Fanfiction[Short Series] Naruto dan Hinata menikah karena alasan yang tak dapat dimengerti oleh mereka sendiri, dan dua tahun kemudian, mereka memutuskan untuk bercerai. Lima tahun setelahnya, tepatnya saat mereka memiliki kehidupannya masing-masing, keduany...