BAB 2

3K 425 15
                                    

Ditunggu 100 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.

Terima kasih :)

□■□■□■□■□

Begitu melewati lorong kelab malam, Naruto merasa malu pada dirinya sendiri saat dia menyadari barusan, jika ia mengalami kecerobohan memalukan—tidak tahu jalan keluar. Dia terjebak di tengah lorong berdinding hitam mengilap memantulkan cahaya dan juga dirinya yang berdiri tegap namun sebenarnya gemetar, bahkan lantai yang bernasib sama seperti seluruh dinding di lorong itu, kini terlihat menyerupai lorong rumah hantu dengan pencahayaan yang kelam, belum lagi pandangan Naruto sendiri yang terasa sangat kabur, ini mungkin efek sebotol wiski yang dihabiskannya sendiri.

Ketika dia mengambil ponsel, terdengar rintihan-rintihan yang membuatnya menoleh ke kanan maupun ke kiri. Ia berharap tidak bertemu makhluk-makhluk aneh yang membuatnya sendiri harus gelagapan mencari tempat persembunyian. Jujur saja, agak malu dirinya mengakui kalau takut pada hantu dan sejenisnya. Karena dia sendiri memiliki kenangan terburuk akan hal itu. Mengingat mendiang ibunya sering kali menceritakan kisah-kisah misteri dibumbui hal mistis yang membuat Naruto tidak bisa tidur karena membayangkan segala kengerian fantasi ibunya.

Naru mulai melangkahkan kakinya kembali, menyelamatkan kondisinya yang jelas tidak terlihat baik. Ia berencana kembali ke tempatnya semula—menuju ke ruang pribadi di kelab malam, di mana temannya memesan untuk berpesta. Terkutuk! Memang benar-benar teman terkutuk! Sampai berujung mendamparkan dirinya ke tempat mengerikan seperti ini. Apalagi bertemu mantan istrinya, lalu ditambah mendatangkan wanita tak dikenalnya untuk menghibur. Padahal kalau ada waktu dia tidak akan terlibat dengan perempuan mana pun. Ia belum siap berumah tangga kembali meski sebenarnya tidak ada luka yang benar-benar membekas karena pernikahan pertamanya.

"Darling!" Naru terdiam. Menoleh ke arah suara selagi ia mewaspadai sekitar yang masih terasa amat mencekam. Naru menjumpai seorang perempuan mendekatinya dengan gerakan tubuh yang terlihat agak kegirangan. "Apa yang kaulakukan di sini? Apa kau sedang ikut kencan buta atau semacamnya? Atau kau sedang berpesta minuman dengan teman-temanmu?"

"Yang terakhir." Naru menjawab dengan pilihan yang paling tepat. "Jadi, apa yang kaulakukan di sini?" Kau terlihat—" dengan pandangan yang sulit digambarkan oleh Hinata sendiri, Naru memandangi kaki telanjangnya sampai akhirnya kembali bertemu pandang dengannya. "Dandananmu sangat kacau. Kau bau alkohol."

Hinata mengernyit, serta mengiyakan. "Kau terlihat sangat rapi." Kemudian yang dilakukan oleh Hinata, dia menjauhi Naruto dengan setengah langkah mundur, membuat dahi Naruto mengerut. "Kupikir aku tidak bisa mendekatimu, karena perutku agak mual, terlalu banyak minum."

"Mungkin kau masuk angin." Hinata terbahak-bahak, Naru sendiri merasa tidak ada yang lucu dari percakapan mereka. "Lihat sendiri dandananmu. Kau mengenakan atasan pendek yang memperlihatkan pusar. Kau mengenakan denim seperti celana berenang. Kalau kau membelakangiku, aku bisa melihat lipatan bokongmu."

"Ih, dasar mesum!" Naru memejamkan mata, juga menarik napas, lalu membuangnya. "Kau tidak boleh bicara terang-terangan saat kita sekarang bahkan tidak memiliki hubungan."

"Baiklah." Naru putus asa. "Kita terbuka sebagai seorang teman."

Hinata mendekati Naruto, tangan kecilnya menepuk-nepuk pundak laki-laki itu. "Kalau begitu, aku akan pergi ke kamar mandi, bye-bye, Darling."

Di tempatnya, Naruto masih memandangi Hinata dari belakang. Perempuan itu menyeret langkahnya. Rambutnya yang panjang berayun-ayun karena langkah yang terseok-seok, dan mungkin saja sewaktu-waktu bisa roboh.

Tak dapat dipungkiri bahwa perasaan iba sering kali menyelusup, juga sikap yang tak dapat dikondisikan itu, Naruto buru-buru mendekati Hinata serta menangkap tubuh mantan istrinya itu. "Kau baik-baik saja?"

"Hentikan!" Hinata mendorong tubuh Naruto dengan keadaan yang amat kaget juga berwajah syok. "Apa yang kaulakukan?" Naru mulai merasa heran dengan sikap Hinata yang berubah. "Aku... aku... bisa sendiri." Perempuan itu terbata-bata.

"Terjadi sesuatu?"

"Tinggalkan aku." Hinata berkata, nadanya agak merintih. "Tidak apa-apa. Semuanya baik-baik saja."

"Sungguh?" dengan yakin Hinata mengangguk. "Tapi kondisimu memprihatinkan. Kau mabuk berat."

Tidak menanggapi kebaikan Naruto, Hinata bergegas kembali melangkah pergi, dan yakin kali ini kondisinya jauh lebih baik, daripada yang dapat dia rasakan barusan, di mana hampir limbung karena serangan pusing yang tiba-tiba menyerang.

Sebenarnya, tak banyak yang dapat diingat oleh Naruto sendiri, bagaimana mereka bertemu, dan akhirnya menjadi dekat dulu.

Dan anehnya di tengah pernikahan mereka, tidak ada kesepakatan khusus kecuali perceraian yang mereka atur di atas surat kontrak sepeninggal ibu Naruto.

Naru mengenal Hinata dari seorang teman, perempuan itu sama-sekali tidak butuh uang. Kondisinya yatim piatu dan tidak memiliki keluarga. Kerabat satu, kerabat dua, dan kerabat tiga, Hinata diserahkan secara bergantian. Alasan yang dapat Naruto ingat pernikahan itu terjadi, karena kondisi Kushina, ibu Naruto. Berkeinginan untuk memiliki seorang menantu sebelum dia dapat dijemput oleh maut karena kanker yang dideritanya. Keinginan itu sederhana, tapi Naru sendiri tidak pernah memikirkan sedikit pun untuk menikah bahkan berumah tangga.

Kushina ingin pergi ke mana pun bersama menantu dan putranya. Membentuk keluarga bahagia di tengah keadaannya yang sekarat. Membuat foto keluarga. Pergi ke mana pun bertiga. Menghabiskan pekan bersama untuk minum teh atau membaca buku di taman. Karena keinginan sederhana itu membuat Naru akhirnya menikahi Hinata karena kecocokan untuk melakukan permainan—tak disangka-sangka, semuanya berjalan mulus seperti apa yang diinginkannya sejak awal berkeinginan menemukan teman sepermainan yang dapat dikendalikan olehnya.

Aseksual yang dideritanya memang membuatnya tidak dapat mengenal perempuan mana pun. Keinginan untuk tidak berbagi ranjang membuat Naruto sendiri tidak memiliki alasan untuk membangun sebuah hubungan. Agaknya memang pada saat itu dia tidak memiliki pilihan lain selain membuat pernikahan kontrak demi ibunya.

□■□■□■□■□

B E R S A M B U N G

SECONDLY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang