BAB 9

2.3K 409 9
                                    

70% perasaan saya lagi bahagia maka saya update bab 9 lebih cepat, yang 30% jangan ditanya kenapa tidak bahagia :)

Ditunggu 140 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.

Terima kasih :)

□■□■□■□■□

Apa yang ditunjukkan oleh Naru adalah surat kontrak yang sengaja dibuat untuk meyakinkan ibunya, tentang surat kontrak objektif dalam pra-nikah, lalu dipegang oleh notaris keluarganya. Surat tersebut adalah surat lain yang juga sah, bukan asal-asalan untuk dibuat. Namun, masih ada beberapa surat yang mengatur perceraian, dan hanya keduanya saja yang tahu tentang itu.

Orang-orang seperti Naru sering kali membutuhkan perjanjian pra-nikah, kebanyakan karena pernikahan bisnis. Atau, terdapat alasan yang mampu dipahami oleh mereka sendiri mengapa wajib untuk membuatnya sebelum terikat ke dalam pernikahan.

Kushina terkejut, jika mereka membuat surat semacam itu sebelum menikah—beruntung bahwa Kushina tidak tahu, masih terdapat surat lainnya, yang mungkin bakal membuatnya sakit hati soal perceraian yang diatur—tentu saja, Naru tidak berniat memberitahu soal itu sampai kapan pun.

"Aku menunjukkan surat ini dan mengatakan pada ibu, kalau kita memiliki perjanjian pra-nikah. Kebanyakan pasangan memiliki hal ini, dalam kesepakatan yang sudah diatur, agar tidak ada satu pun pihak yang merasa dirugikan jika sesuatu terjadi pada hubungan mereka. Kebanyakan pernikahan antar keluarga dinasti, untuk membagi-bagi harta gono-gini, juga mengatur apa yang dapat diberikan ke anak-anak." Naru menyimpan seluruh data perjanjian itu ke dalam sebuah brankas besi yang disimpan di dalam lemari. Tertutupi oleh pakaian-pakaian yang digantung. Dan hanya dia yang bisa membuka brankas kecil itu. "Meski tidak semua, aku ingin sebagian yang telah kita sepakati diketahui oleh ibu."

Hinata membuang tawa kecilnya, ia memandang Naru dengan tatapan kesal. "Dalam perjanjian itu aku yang paling disudutkan. Pantas ibu mengatakan bahwa aku tidak boleh meninggalkanmu, meski nanti kau tidak lagi memberikan apa yang aku mau." Naru tiba-tiba merasa bersalah, dia mengalihkan pandangannya karena sangat begitu berdosa. "Padahal aku tidak ingin apa pun yang kauberikan. Aku hanya ingin berada di sisi ibu, tetapi kepergian beliau justru membawa kekecewaan terhadapku."

"Ibu sangat bahagia bersamamu, kau harus melihat dari bagian itu."

"Karena dia ingin membuat kenangan terbaik bersama seorang menantu," ujar Hinata lirih, bukan lagi diserang rasa malu ataupun amarah, kini dia dibingungkan apakah ibu benar-benar bahagia bersamanya selama ini. Apakah senyuman Kushina tulus untuknya, apakah genggaman tangan wanita itu memang karena perasaan bahagia atau justru sebuah kebencian—Hinata bahkan masih mengingat, tangan ringkih nan lemah Kushina.

"Kukira ibu sangat sedih, karena kita melakukannya tanpa perasaan yang tulus. Kau tahu, bukan itu yang diinginkan oleh ibu, 'kan? Kita berpura-pura bahagia, ibu tahu semua yang telah kita lakukan. Ibu menyesal membuat kita harus bermain-main seperti ini. Perasaanku makin tidak tenang, dan ini membuatku semakin kacau." Hinata membanting map mika, dan seluruh kertas-kertas tersebut keluar dari map berceceran di dekat kaki Naru. "Seharusnya kita tidak membuat kontrak-kontrak aneh. Atau seharusnya, seseorang tidak perlu menunjukkan ini pada ibu."

"Maka dari itu aku memilih untuk tidak menceraikan dirimu."

"Apa kau bilang?" dahi Hinata berkerut.

"Maka dari itu aku tidak mengurus surat perceraian, dan aku akan merevisi soal perceraian itu."

"Hentikan omong kosong semacam itu!" Hinata mendorong kasar dada Naru. "Kita akhiri semuanya. Kau menulis bahwa tidak ada pihak yang dapat dirugikan, tapi aku benar-benar dirugikan dalam masalah ini. Kau memberitahukan perjanjian yang harusnya diketahui oleh kita dan notaris. Namun kau memberitahu ibu, bahkan kau tidak memberitahu soal itu padaku, kau melanggar semuanya Naru. Kau yang melakukan kesalahan."

"Aku akan memberikan kompensasi, dalam bentuk yang kau inginkan."

Hinata menggeleng miris. "Kau masih berpikir aku butuh uang dan semua harta-harta sialan itu darimu?" Hinata menunduk, tangannya terus bermain-main secara gugup. "Apa kau sama-sekali tidak merasa bersalah telah memberitahu ibu? Apa kau tidak merasa bersalah karena telah mempermainkan perasaan ibu? Sepertinya otakmu sedang bermasalah." Hinata beranjak dari tempat itu, dia perlu memikirkan ulang untuk terlibat lagi dengan mantan suaminya—bukan! Laki-laki itu masih menjadi suaminya sekarang.

□■□■□■□■□

Hampir setengah jam Naru tetap berada di dalam kamarnya. Ia begitu berat meninggalkan tempat itu. Namun saat dirinya berhasil mengenyahkan perasaan enggan yang terus meninggi, Naru memutuskan keluar dari persembunyiannya. Dan sekeluarnya dari tempat tersebut, Naru menjumpai Hinata duduk sembari menekuk kakinya, kemudian menjatuhkan kepalanya ke atas lutut. Sepertinya perempuan itu telah berdamai dengan rasa sedihnya, meninggalkan kedua mata yang membengkak dengan bola mata memerah.

Awalnya Naru tidak berani mendekati Hinata. Namun ia harusnya mendekati perempuan itu, mengatakan sesuatu yang mungkin saja bisa menenangkan Hinata. "Kita bisa menunda pergi ke rumah sakit kalau kau memang belum siap untuk pergi ke sana."

Dengan perasaan yang amat frustrasi, Hinata menggeleng kecil, membalas ucapan Naru. "Sebaiknya aku tidak pergi ke sana—sampai kapan pun itu." Naru mengambil duduk pada meja minimalis sofa. Hanya di situlah yang paling dekat untuk tetap berada di depan Hinata. Ia ingin meraih tangan Hinata yang terus mengepal, tapi Naru tahu, ia tidak boleh melakukannya, mungkin saja wanita itu tidak menyukai sikapnya. "Apakah kau tidak mendaftarkan perceraian itu hanya karena menjaga perasaan ibu?" Naru terkesima. Ia tidak bisa menjawab bagian itu. "Adakah yang mengganggumu selain kau memikirkan perasaan ibu?"

"Tentu," Hinata tersenyum kecut. "Aku tidak tahu persisnya kapan, tapi aku senang berada di sisimu. Aku pikir tidak perlu mendaftarkan tentang pernikahan dan mengurus perceraian. Karena aku merasa suatu hari nanti ada kesempatan kedua kita bisa dekat dan memutuskan untuk bersama. Agaknya, kita memiliki sebuah kecocokan. Sama-sama tidak begitu menyukai lawan jenis—bukan berarti kita menyimpang, hanya saja kita tidak pernah memikirkan untuk terikat."

"Tapi nyatanya kita terikat."

"Benar," berat hati Naru membenarkan. Ia perlu membasahi bibirnya sebelum melanjutkan perkataannya. "Tidak adakah kesempatan kedua?" Hinata mendongak, wajahnya terlihat masih bersedih. "Kupikir kita bisa bermain sekali lagi kehidupan keluarga, karena aku membutuhkannya, kita yatim piatu, bukankan begitu? Kurasa saat kita masih sama-sama merasa nyaman kita perlu memikirkan ulang pernikahan."

"Kehidupan pernikahan itu... membingungkan." Balas Hinata, suaranya sumbang karena sehabis menangis.

"Hubungan kita juga membingungkan. Tapi aku menyukai saat kau berada di sisiku."

"Naru..."

Naru tersenyum, ia terlihat manis dengan lesung pipitnya. "Ada saatnya aku berusaha ingin menemukanmu, tapi ada pada diriku memberitahukan kenyataan, kalau kau mungkin tidak akan nyaman dengan pertemuan kita, maka aku memutuskan untuk tidak pernah melakukannya. Pun, saat aku memutuskan untuk memproses perceraian, itu terasa amat berat. Jadi, aku tidak pernah melakukan apa pun pada hubungan kita. Aku tidak mau melangkah, aku juga tidak mau mundur. Lalu, maafkan aku karena tidak mengatakan dari awal apa yang aku beritahukan kepada ibu tanpa persetujuanmu."

Hinata tahu, jika dia terlibat dengan Naruto Uzumaki, ia akan dibingungkan oleh sikap laki-laki itu. Naru sangat aneh, dan kadang-kadang Hinata mempertanyakan sikap asli laki-laki itu. Naru tidak bisa dinilai sebagai laki-laki baik, juga tidak bisa dinilai sebagai laki-laki buruk. Kehidupannya datar, dia cenderung pendiam bagi Hinata, bersikap sesuai keadaan—yang paling penting sifat yang diketahui Hinata dan seolah melekat, adalah ketidakpekaan laki-laki itu.

Apakah semua aseksual seperti Naru?

□■□■□■□■□

B E R S A M B U N G

SECONDLY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang