Ditunggu 140 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.
Terima kasih :)
□■□■□■□■□
Malam itu, pertama kalinya bagi Naru merasakan kemarahan membakar kepalanya. Ia tergerak untuk menendang, dan pastinya dia tidak boleh merasa menyesal setelah itu. Tidak mempedulikan situasi yang membekukan orang-orang di sana. Naru menarik istrinya, lalu diletakkan ke pundaknya. Hinata sendiri tidak mencoba meronta. Baginya pun, itu kemarahan pertama dari Naru yang dapat dijumpainya selama dirinya mengenal laki-laki itu. Naru pembawaan tenang. Benar kalau menganggap Naru bersikap sesuai kondisi, dan malam ini kondisinya tidak memungkinkan bagi pria itu tenang. Hinata pasrah, karena itu satu-satunya yang pantas dilakukan saat keadaan benar-benar tidak menjadi teman baiknya.
Meskipun mereka sudah berada di dalam mobil, perjalanan menuju ke penthouses, tidak ada sepatah keluar dari mereka seakan-akan menunjukkan jika waktu berdamai belum dibutuhkan.
Hinata bertanya-tanya di benaknya mengapa bisa Naru menemukannya—sebaiknya dia harus lebih berhati-hati mulai sekarang dalam meminta izin keluar dari rumah. Atau bakal ini yang akan terjadi padanya.
Keesokan harinya, mungkin akan ada artikel yang memberitakan dirinya tentang kekacauan di kelab malam. Itu jika memang seseorang mulai mencari kesempatan untuk menjelek-jelekkan dirinya. Hinata rasa, semua orang tidak benar-benar menyukainya, terlebih lagi seorang gadis populer yang sama seperti dirinya, yang suka mengikuti pesta, atau segala kegiatan yang sama persis. Ini akan jadi kesempatan baginya mengetahui, siapa yang benar-benar mendukung dirinya atau sebagian dari mereka bermuka dua.
Daripada memikirkan orang-orang yang mungkin membicarakan dirinya di belakang, hal yang paling dibutuhkannya untuk saat ini dia bisa berbaikan dengan Naru. Laki-laki itu terlihat murung. Namun sayang sekali, Hinata pikir jika dia bisa bersuara, mengeluarkan satu huruf saja, itu akan memperkeruh keadaan mereka.
Sampai di penthouses, Naru mempersilakan Hinata terlebih dahulu masuk. Pasti sudah saatnya bersuara. Dan di ruang tamu, mereka berhadap-hadapan. "Sekarang aku mengingat kau akan pergi ke apartemenmu sendiri untuk mengambil barang-barangmu, tapi yang kutemukan kau berada di dalam kelab malam tanpa izin dariku terlebih dahulu. Aku dapat mendengarnya lalu menyetujui kepergianmu, yah, sori kalau aku sempat lupa, tapi aku mengingatnya sekarang."
Naru sangat tegang menghadapi situasi seperti sekarang, laki-laki itu kemudian menahan emosinya. Kemarahannya, juga kegilaannya tadi mungkin membuat takut istrinya. "Aku sudah berjanji akan datang demi temanku—setidaknya aku akan pulang. Aku berencana pamit tadi karena aku tidak bisa lama. Tapi seseorang menarikku, dan aku terkejut."
"Apa kau mengenalinya?"
"Tidak. Tidak banyak laki-laki yang dekat denganku kecuali Gaara Sabaku."
"Jadi, siapa itu Gaara Sabaku?"
"Teman."
"Teman?" Naru mengulang. "Teman yang bagaimana? Teman tidurmu?"
"Ya Tuhan! Dia hanya teman. Aku tidak punya teman tidur, dan aku tidak pernah melakukannya dengan siapa pun kecuali denganmu. Kau satu-satunya laki-laki di dunia ini yang menggarap tubuhku sampai rasanya aku mengalami patah tulang dan perlu ke rumah sakit untuk memeriksakan pinggulku!" itu terlalu vulgar, tapi memang Naru dapat mengingatnya, sekalinya dia menginginkan bercinta itu akan membutuhkan waktu lama demi berdamai dengan sisi liarnya. "Aku tidak mau membahas soal ranjang kita karena aku lelah."
"Kau pikir aku tidak lelah mencarimu? Aku perlu menghubungi seseorang agar bisa masuk ke dalam kelab sialan aneh itu. Aku hanya ingin mengingatkan dirimu, bahwa kau tidak dilarang pergi ke mana pun, kecuali kelab malam. Kau akan melakukan rehabilitasi dalam waktu dekat. Atau kau perlu aku menghubungi seluruh pub dan kelab malam agar kau dilarang masuk ke sana?"
Hinata membalikkan badannya, ia menghela napas. "Sayangku, aku terakhir berada di sana."
"Kata-kata itu terdengar omong kosong bagiku."
"Percayalah, aku tidak ingin berdebat denganmu, aku juga tidak memaksa kau mau percaya atau tidak." Perempuan itu berlalu pergi, benar-benar terlihat enggan untuk berdebat saat ini. Padahal mungkin, biasanya Hinata cukup tertarik adu mulut bersamanya—walau sebenarnya bukan adu mulut serius.
Seusai melepas jaket, Naru berada di ruang makan, ia membuka tudung saji di atas meja makan, tadi dia tidak sempat melihatnya, bahwa Hinata menyiapkan makan malam sebelum pergi. Dan begitu menemukannya Naru memandanginya saja, karena Naru tidak berselera. Seandainya dia menemukannya lebih cepat, mungkin dia bisa makan terlebih dahulu sebelum ke kelab malam dan membuat kekacauan. Tapi apakah benar bisa? Dia sudah dikuasai kemarahan saat tahu istrinya tidak di tempatnya, menebak ke mana perempuan itu berada. Ia justru lebih mengkhawatirkan soal Hinata daripada apakah dia benar-benar perlu makan malam.
Mandi dengan air hangat, Naru tidak sepenuhnya merasakan kedamaian karena pancuran di atasnya. Badannya sangat tinggi, baru-baru ini berat badannya pun naik. Apakah laki-laki yang dia tendang tadi baik-baik saja? Atau mengalami remuk pada tulang rusuknya? Tendangannya lumayan sangat keras, karena Naru mengingat ia mengikuti serangkai bela diri, seperti Aikido, Karate, dan Judo. Karena itu ia mengkhawatirkan laki-laki tadi, jelas serangkaian bela diri itu menjadikan Naru tahu bagaimana membuat kerusakan yang parah daripada orang normal yang mencoba menendang lawan mereka.
Keluar dari kamar mandi, Naru melihat istrinya berada di depan cermin yang berdiri di pojok dekat lemarinya. Karena kamar ini tidak diset sebagai kamar seorang wanita sekaligus, jadi tidak ada meja rias bagus untuk istrinya duduk merawat diri sebelum tidur. Wanita itu sempat meliriknya malas di cermin. Kalau meminta maaf apakah bakal diterima? Tapi apa kesalahannya? Istrinya sendiri yang mencari perkara. Dan wajar sebagai seorang suami dia marah ketika istrinya melancong ke tempat aneh, lalu ada laki-laki hidung belang yang mencoba menariknya, dan sepantasnya bukankah Hinata harusnya berterima kasih padanya untuk itu?
"Aku tidak mau berdebat denganmu!" umum Hinata, dengan wanita itu melangkah pergi. Ia memasukkan kakinya ke dalam selimut hangat. Naru terheran-heran di depan cermin selesai menggosok rambutnya dengan handuk lalu melemparkan handuknya ke tempat cucian di sebelah lemari. "Wajahmu menunjukkan kalau kau ingin mengatakan sesuatu."
Wanita itu tidak mau berdebat, sudah tidak bisa dihitung berapa kali Hinata mengatakannya tadi. Maka dia terpaksa sekadar melirik saja, kemudian berpikir lebih baik masuk ke dalam selimut juga, setelah mematikan lampu, dan menjadikan kamar tersebut temaram.
Di atas nakas, ada buku agenda, Naru menyalakan lampu tidur, ia berpikir daripada terlibat dengan istrinya yang mungkin bakal menguras tenaganya, ia lebih baik memperhatikan seluruh jadwalnya. Selama dua minggu ke depan benar-benar tidak ada yang penting, dia sudah mengeceknya tadi, dan tentu saja besok dia hanya pergi ke kantor sebentar untuk bertemu beberapa direktur, lalu dia kembali ke rumah untuk melanjutkan pekerjaan sampingan sebagai seorang konsultan profesional, ia lebih menyukai pekerjaannya yang itu daripada mengurus perusahaan keluarganya yang membuatnya seratus kali lipat lelahnya.
Ketika mengembalikan agenda itu ke tempatnya, Naru melirik ke samping dan mendapati istrinya sudah tertidur pulas. Ia menyukai Hinata yang tenang seperti sekarang. Naru semakin masuk ke selimutnya dan berbaring nyaman di atas kasur. Kini posisinya tidur miring untuk melihat Hinata yang tidur menghadap ke arahnya.
Kalau seperti ini, wanita itu seperti gadis kecil yang membutuhkan perlindungan darinya. Ia belum berhasil kembali mengorek-ngorek apa yang selama ini Hinata lewati tanpa kehadirannya di sisi wanita itu. Ke mana perempuan itu pergi untuk menenangkan diri seusai kesepakatan mereka untuk memutuskan bercerai. Seandainya setelah kematian ibu dia mengakui apa yang disimpannya itu, mungkin Hinata tidak seperti hari ini. Tapi mengapa perlu disesali? Masalah itu sudah terlampau lalu. Jika menyesali sekarang, itu tidak benar-benar mengubah keadaan.
□■□■□■□■□
B E R S A M B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
SECONDLY ✔
Fanfiction[Short Series] Naruto dan Hinata menikah karena alasan yang tak dapat dimengerti oleh mereka sendiri, dan dua tahun kemudian, mereka memutuskan untuk bercerai. Lima tahun setelahnya, tepatnya saat mereka memiliki kehidupannya masing-masing, keduany...