BAB 12

2.3K 406 3
                                    

Ditunggu 140 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.

Terima kasih :)

□■□■□■□■□

Naru mengangkat tangannya, meletakkan telapak tangannya setelah itu ke pipi Hinata. Kulit Hinata sangat lembut, dan perempuan itu punya bibir mungil dan hidungnya pun mungil. Menurut Naru, Hinata seperti kurcaci. Kalau sekarang dia berniat memeluk Hinata, seolah ia mampu menelan tubuh Hinata yang mungil seperti anak SMP. Dengan gaun linen tanpa lengan berwarna putih, Hinata terlihat cantik, tapi sebenarnya yang terlihat ada kesan menggemaskan.

Semakin dekat, Naru dapat mencium bau ceri, dan itu berasal dari bibir Hinata yang dilumasi pelembap bibir sebelum terjun ke atas kasur tadi.

Ia punya dorongan untuk semakin mendekat ke istrinya, tapi dia perlu mencegah apa yang diinginkannya. Ia tidak mau membuat ulah di acara berbaikan mereka setelah sekian tahun berpisah karena keadaan yang mengharuskannya demikian. Surat kontrak itu andil. Dan sekarang surat kontrak itu pun menyatukan mereka kembali. Naru harap, ia benar-benar tidak memaksa Hinata untuk menyetujuinya, tidak mau menganggap bahwa tidak ada bedanya dari dulu, semua karena keinginan yang sama, tentu saja Hinata tidak akan menolak untuk terus digaji setiap bulannya lima puluh ribu dolar dari apa yang mereka sepakati untuk masuk ke dalam pernikahan. Tidak ada rasa suka tidak ada rasa cinta, tapi yang mereka lakukan karena sama-sama ingin menikah. Apakah di dunia ini ada pasangan konyol seperti itu selain mereka?

Naru amat menyukai Hinata karena wanita itu pasangan main yang pas baginya. Karena tidak ada wanita segila Hinata di dunia ini. Naru menghela napas dengan menurunkan tangannya. Ia terlalu lancang untuk bisa menyentuh istrinya seperti sekarang. Dan agak bertanya-tanya di benaknya, ketika diserang ledakan seperti membakar tubuhnya, tentu saja celana piama itu mendadak sesak. Ia perlu membahas lagi soal ranjang panas mereka, keadaan itu seharusnya normal. Dan, memberitahu Hinata, kalau sekarang dirinya mendatangi seorang psikolog pribadi sudah setahunan. Naru merasa Hinata berhak tahu meskipun kemungkinan besarnya bahwa perempuan itu tidak sepenuhnya peduli, tentang seksualitas yang dialaminya agak berbeda—separuhnya Hinata sudah mengetahuinya.

"Aku pikir kau akan diam-diam melepaskan gaun tidurku," hampir saja dia melompat ketika suara istrinya menyeruak di tengah keheningan kamar. Sebetulnya, jantung Naru yang menjadi tidak karuan. Perempuan itu membuka kelopak matanya, mungkin sejak awal memang berniat menggoda.

"Jangan salah paham, aku sedang berpikir bahwa aku mungkin telah melakukan kesalahan besar malam ini padamu." Naru membenahi posisi tidurnya untuk menghadap ke langit-langit kamar. Itu posisi yang lebih baik daripada melihat Hinata terus tersenyum ke arahnya. "Selamat tidur."

Masih tetap mempertahankan posisinya tidur miring, berbantalkan lengannya yang kali ini diletakkan di atas bantal, Hinata meneliti suaminya yang terbaca jengah. "Kau yakin tidak mau melakukan sesuatu denganku?" dengan sukarela tentu saja menawari, tetapi suaminya justru menutup mata. Walau yang dapat Naru nilai, hal tersebut amat menggoda baginya, karena dia laki-laki normal. Aseksual tidak bisa dikaitkan seperti biarawan. Naru punya dorongan seks di waktu-waktu tertentu pada seorang wanita yang menurut dirinya tepat. Karena itu dia tidak pernah tertarik dengan wanita atau bahkan tidur dengan seorang wanita setiap waktu, karena wanita-wanita itu tidak membuatnya bergairah, seseksi apa pun mereka seperti Ms. Hiroko misalnya dengan kancing kemeja yang renda bahkan rok sepan yang sangat ketat, ia tidak pernah bereaksi sedikitpun.

"Apa kau benar-benar masih mengalami gangguan seksual itu?"

"Itu bukan gangguan seksual, tapi rasanya seperti kau hanya berminat dengan seseorang yang kau yakini pantas untuk kau gauli," alis Hinata bergerak untuk menekuk ke bawah. "Ini tentang apa yang kau rasakan, bukan apa yang ingin kaulakukan."

"Lalu, perasaanmu malam ini bagaimana tentang gaun tidur baruku?" kelopak mata Naru terbuka. "Apakah aku mampu membuatmu bergairah?" tepat sekali, itu yang dimaksud oleh Naru, ia kehilangan akalnya dan hampir tidak bisa mengontrolnya. Ia perlu berpikir jernih, tapi ternyata sulit. "Kau benar-benar perlu digoda dulu?"

Naru masih memandangi langit-langit, dan mengingat awalnya dia sangat merasa terganggu dengan kenyataan bahwa dia seorang aseksual. Ia beruntung mengenalinya saat masa-masa SMA, ketika dia memiliki seorang pacar, ketika dia tidak berminat melakukan seks pada saat itu, dan seharusnya umur segitu dia bisa tidur dengan banyak gadis, tapi dia seorang perjaka, bahkan di dalam kepalanya tidak sedikit pun memikirkan untuk membawa seorang gadis ke dalam kamarnya. Akan tetapi, dia takut mengecewakan siapa pun, keinginannya mungkin akan cepat kandas sebelum dia benar-benar menawari pacarnya berhubungan intim.

Pada akhirnya, waktu itu Naru mengetahui jika pacarnya selingkuh hanya karena Naru tidak pernah bergairah sedikit pun pada gadis itu. Dan yang dia katakan pada pacarnya waktu itu, "Aku tidak berminat melakukan seks bersamamu atau bersama siapa pun itu, ini soal waktu, dan persisnya aku belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya." Tapi gadis itu tidak mau mengerti apa yang telah terjadi pada pacarnya—Naru tidak pernah menganggap bahwa aseksual adalah penderitaan. Itu seperti keberuntungan baginya. Dengan begitu, dia lebih fokus untuk merasakan kehidupan, menikmati waktu untuk mencoba banyak hal, mengerjakan hal-hal yang lebih bermanfaat.

Bergerak miring, Naru memandangi istrinya yang menarik setiap ujung bibirnya. "Aku sedikit mempelajari apa yang terjadi padamu," kata istrinya. "Setidaknya aku tahu, kau bukan pria mata jelalatan yang akan tergoda dengan tubuh seksi seorang gadis lalu kau membayangkan bisa menyetubuhi mereka di dalam kepalamu. Kau memiliki waktu tertentu untuk melakukannya, bukan setiap waktu yang kau inginkan."

"Itulah, mengapa aku ingin menikah denganmu, aku juga ingin tahu apa yang membuatmu tidak bersikeras menolak untuk melakukan kedua kalinya denganku. Meskipun awalnya aku menyuruhmu untuk rehabilitasi, tapi aku benar-benar tidak ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi—semuanya di luar kendaliku."

Tanpa meminta izin atau menerima persetujuan, Hinata mendekati suaminya, mengambil pelukan ke tubuh besar laki-laki itu, dan rasanya benar-benar hangat. "Aku terus memikirkanmu selama ini," suara pelan perempuan itu membuat Naru mendekatkan kepalanya sampai menyentuh ujung kepala istrinya, berpikir mungkin dia bisa mendengar dengan sangat jelas. "Apakah kau makan dengan teratur, apakah kau bisa mengurus diri, setelah kau mengumumkan bahwa kita resmi bercerai, kau terlihat tidak baik-baik saja waktu itu, mungkin pada waktu itu kau masih berkabung. Meski ingin, tapi aku tidak bisa berada di sisimu karena kesepakatan itu memberikan kenyataan bahwa aku harus pergi dari kehidupanmu."

Naru bahkan tidak tahu, Hinata menangis seharian karena perpisahan mereka. Bukan hanya rasa sedih karena wafatnya Kushina, tapi dia juga menangisi tidak berada di sisi Naru. Mereka jarang berhubungan intim, mereka juga jarang berinteraksi seperti pasangan di luar sana, akan tetapi kalau nyaman, tetaplah menjadi rasa nyaman yang bagi Hinata tidak butuh alasan. Ia bukan suka Naru dari cara laki-laki itu memanjakannya, memberikan gaji sebagai istri kontrak, terus terang, Naru sebenarnya laki-laki hangat yang berusaha membuat Hinata tidak merasa terluka atau dirugikan.

Malam ini tidak seperti kemarin, di mana mereka tidur pulas satu kasur, tak terlibat apa-apa sementara untuk sekarang, mereka berpelukan setelah berbicara singkat tentang perasaan mereka. "Naru, aku selalu menghindari hubungan intim tanpa komitmen," ungkap Hinata. "Aku tidak akan melakukannya dengan siapa pun. Aku hanya melakukannya dengan suamiku—siapa pun yang menjadi suamiku."

Naru mengeratkan pelukan. Baginya, sudah lama tidak memeluk seseorang ketika pergi tidur. Perasaannya menjadi terasa hangat, rasa lelah, jengkel, atau sempat tadi dia tidak berpikir jernih, kini menghilang. Semua hal-hal negatif itu tidak lagi bersarang di sekitar dirinya. "Aku harap, kita selalu melakukan petualangan bersama. Aku tidak berharap hubungan kita berakhir. Ini masih panjang, bukan?"

"Iya, memang masih panjang."

□■□■□■□■□

B E R S A M B U N G

SECONDLY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang