Sudahlah, aku benar-benar nggak tega sama kalian yang ngerasa tidak pernah berulah :')
Ditunggu 140 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.
Terima kasih :)
□■□■□■□■□
Sampai di penthouses milik Naru—mantan suaminya—Hinata tetap tidak banyak bersuara. Ia masih merasa begitu mabuk, perutnya seperti terkena serangan sembelit, tapi bukan itu yang sebenarnya terjadi, dia hanya tegang dihadapkan pada kenyataan tentang betapa bodohnya dia sampai menghubungi mantan suaminya, dan melibatkan laki-laki itu ke dalam masalahnya. Ya, walaupun memang sepertinya Naru tidak mempermasalahkan, akan tetapi bagi Hinata tetap saja itu amat memalukan. Kalaupun di sekitar sini ada lubang yang dapat menyembunyika dirinya dari laki-laki itu, sepertinya rasa malu tetap akan bertahan.
"Tidak perlu dilepas sepatunya, pakai saja." Naru menginterupsi Hinata, ketika Hinata hendak melepaskan sepatu hak tingginya. Naru kembali ke depannya, kemudian menggandeng tangannya, dan mengajak cepat-cepat untuk masuk. Dari wajahnya, Naru tampak lelah. "Apa yang sedang kau pikirkan? Lelet sekali! Bukankah kau punya pergerakan cepat?" Naru mendesah kesal.
"Aku kan baru pertama kali kemari, jadi aku tidak tahu." Dengan gerakan cepat, Hinata mengibaskan tangannya dari genggaman laki-laki itu. "Apa kau punya makanan di dalam kulkas?"
"Ada makanan beku, kau tinggal memanaskannya saja."
"Apa kau selama ini makan itu?" Naru melotot, ia tidak mau Hinata mengomel, perempuan itu berhasil menemukan kebiasaannya yang tidak pernah berubah. Makanan beku dan ramen. Karena makanan-makanan itu yang paling simpel untuk dihidangkan, Naru butuh sesuatu yang cepat untuk berdamai dengan perutnya. Lalu dia akan kembali ke pekerjaannya. "Kalau kau lapar, aku bisa memasak untukmu."
"Iya, tapi tidak ada bahan apa pun di dalam kulkas, sementara kau bisa menikmati makanan beku."
Hinata membuang napasnya. "Jadi, kau mau sekalian aku memanaskan bagianmu?"
"Boleh."
Di dalam lemari pendingin yang besar, Hinata mengambil nasi instan di dalam sana. Beberapa lauk yang hanya tinggal digoreng, atau bahkan dimasukkan ke microwave seperti nasi dalam kemasan putih dengan penutup plastik merah putih. Ini makan malam yang paling dibenci oleh Hinata sendiri, di mana dia tidak pernah bisa berteman dengan makanan-makanan instan. "Mau bagaimana lagi." Ia mendengkus lelah, merasa sudah cukup malam ini untuk membuat kekacauan. Tidak harusnya dia menambah tekanan dan vertigo yang mungkin saja dapat menyiksa Naruto.
Ketika microwave berbunyi bip, itu artinya semua makanan itu siap dihidangkan, tinggal gyoza yang ada di atas teflon sebentar lagi bakal matang.
Dan begitu semuanya telah selesai—makanan-makanan itu telah ditata di atas meja makan. Perempuan itu buru-buru mengetok jidat mantan suaminya yang tertidur di atas sofa. "Sudah beres, kau benar-benar sungguh sudah mengantuk?" Naru mengambil duduk, terlihat agak enggan untuk melakukannya. "Kalau kau tidak mau, aku bisa makan semuanya sendiri kok."
"Dasar, kau benar-benar rakus ya, dan satu-satunya bagian itu yang aku tahu, tidak pernah berubah darimu."
Tidak mempedulikan ocehan Naru, Hinata berjalan mendekati dapur, kemudian duduk di atas kursi meja makan, hingga Naru pun menyusul duduk di depan perempuan itu.
"Akhirnya, aku punya teman untuk makan malam," ujar Naru, suaranya agak pelan, seperti ia menggerutu dalam kesedihan. "Biasanya aku akan membuat ulah di dapur."
"Salah satu kebiasaanmu kau pelupa. Pasti pancinya berakhir gosong, 'kan?"
Naru mengernyitkan wajah, tampak malu. "Benar. Tidak bisa menghilangkan kebiasaan itu."
Mereka makan dengan ketenangan yang bahkan orang-orang mengira, kalau penthouses itu tidak ada penghuninya. Bunyi detik jam saja terdengar sangat berisik. Saat balkon sempat dibuka demi mendapatkan angin malam yang segar, gemeresik dedaunan buatan yang menghiasi halaman balkon membuat mereka sedikit kedinginan.
"Kenapa di sini sunyi sekali?" tanya Hinata, ia merasa tidak nyaman.
"Eh?" Naru tersentak. "Bukannya saat makan tidak boleh bersuara, ya?" Hinata tiba-tiba memandanginya jijik. "Ibu sering mengingatkan kita, kalau makan tidak boleh berbicara—"
Hinata memotongnya dengan kesal. "Itu saat ibu bilang kalau mulut kita penuh oleh nasi!" Naru terdiam, badannya seakan-akan menyusut menjadi kecil. Ia lupa, kalau Hinata sosok wanita yang dapat membenahi kesalahan otaknya—Naruto itu bodoh! Di tidak akan mengerti hal apa pun di dunia ini, terkecuali pekerjaannya. Naru dapat mengingat kata-kata itu, saat upacara teh terakhir kalinya, Hinata tersenyum seperti ibu tiri yang tengah mengejek tetapi tertutupi oleh kebaikannya. Muka setannya itu, ngeselin!
Naru melanjutkan makannya sementara Hinata pergi ke dapur untuk membuang bungkus-bungkus makanan instan. Lalu mencuci tangannya. Pergi ke kamar Naru. "Kamarku..." Naru berujar sedikit panik. "Kamarku."
"Aku tahu kamarmu berada di mana, kau tadi sempat masuk ke sana. Kenapa? Kau suruh aku tidur di sofa?" Naru menggelengkan kepala. "Laki-laki baik nan gagah tidak akan menyuruh seorang wanita tidur di sofa." Si pendek itu benar-benar menyebalkan, kenapa dia bersuara manis sih.
Tidak lama masuk, Hinata keluar lagi, agak tergesa-gesa, jari telunjuknya terus menunjuk Naru yang baru saja memasukkan seluruh makanannya ke mulut. "Hei, apakah kau maniak?" Naru masih terdiam. "Kenapa banyak fotoku di dalam kamarmu?" lalu menyemburkan nasi, sampai Hinata menjauh, ia kemudian mengernyit. "Jorok!"
Belum berhasil menelan seluruh makanan yang masih tersisa di dalam mulutnya, Naru menggerakkan tangannya, menolak tuduhan itu. "Aku akan memaafkan foto pernikahan kita tepat di atas kepala. Tapi, semua foto-foto pribadiku sangat menggangguku."
"Aku tidak pernah mendekorasi kamarku, jadi aku membiarkannya begitu dari kamar yang lama."
"Dasar aneh!" Hinata menggeleng-gelengkan kepala karena terheran-heran. "Besok, kau harus melepaskannya dari tembok kamarmu. Tentu saja, aku tidak mau fotoku disalahgunakan."
□■□■□■□■□
B E R S A M B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
SECONDLY ✔
Hayran Kurgu[Short Series] Naruto dan Hinata menikah karena alasan yang tak dapat dimengerti oleh mereka sendiri, dan dua tahun kemudian, mereka memutuskan untuk bercerai. Lima tahun setelahnya, tepatnya saat mereka memiliki kehidupannya masing-masing, keduany...