BAB 14

2.4K 416 24
                                        

Nah gitu dong, semangat vote, kan update-nya jadi cepet wkwkwk

Ditunggu 140 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.

Terima kasih :)

□■□■□■□■□

Memastikan Naru masih nyaman di tempat tidurnya, barulah Hinata turun dari kasur saat ia sendiri tidak bisa tidur dalam semalam.

Pukul empat subuh dia memutuskan untuk pergi mandi, lalu ke dapur membuat sarapan, dan masih kepikiran soal pengakuan suaminya. Sebetulnya, ia jarang mendapatkan pengakuan semacam itu. Naru agak tertutup, dia jarang terbuka pada sesuatu, Naru selalu beranggapan dia tidak pantas mengatakan apa pun. Bisa saja apa yang akan dikatakannya bakal membuat hubungan mereka menjadi jauh lebih aneh—itu dulu, saat mereka masih terlibat dalam kehidupan Kushina. Mereka bermain aman daripada membuat diri mereka terjun ke dalam sesuatu yang jauh lebih rumit. Ternyata, kini tidak lagi dapat ditutupi bagaimana perasaan mereka masing-masing soal kenyamanan.

Pukul enam pagi, Naru terbangun, mendapati bahwa istrinya tidak ada di sampingnya, ia tidak buru-buru terbangun untuk mencari sang istri. Ia meletakkan tangannya ke tempat di mana seharusnya Hinata terbaring di sampingnya. Dingin, seolah seperti biasa, bahwa dia lagi-lagi tidur sendirian. Dan membuatnya tidak berani bangun, kalau benar sosok Hinata adalah bagian dari ilusi, itu benar-benar menyakitkan.

Naru kembali menutup matanya, tapi seseorang masuk ke dalam kamarnya. Ketika membuka mata kembali, Naru menjumpai istrinya sudah berada di sampingnya dengan apron putih manis, seingatnya dia tidak pernah memiliki apron manis itu di dapurnya. Ia punya sekali banyak apron maskulin, yang cocok dikenakan siapa pun. Ia meraba tangan istrinya, kehangatan itu nyata, dia senang Hinata ada di sampingnya, tidur bersama dengannya, memeluknya, menciumnya, dan kulit mereka bersentuhan.

"Hari ini kita ada jadwal untuk pergi ke rumah sakit," tangan Hinata menyentuh rambutnya, menyugar lembut, membuat Naru merasa tenteram. Ia tidak pernah merasakan sesuatu seperti pagi ini. Seolah seluruh rasa lelah dan juga rapuhnya meruntuh. "Apa kau tidak enak badan?" tanya istrinya.

"Aku ingin menyentuhmu lebih lama," kata Naru, tangannya berpindah di atas paha istrinya, lalu ia mencengkeram apron putih itu sampai kusut. "Maaf soal tadi malam."

"Tadi malam kenapa?"

Naru memejamkan matanya. Tadi malam dia mabuk, pantas jika bersikap agak gila dari biasanya. "Lupakan." Dan tentu saja, dia tidak mau menambah rasa malunya. Naru mengambil duduk, mengusap wajah seperti dia sedang menggosok piring kotor, mungkin dengan begitu dia kembali bisa sadar.

"Apakah ini tentang berhubungan intim?" Naru menengok sebentar, ia menghela napas. Tidak butuh waktu lama akhirnya dia bisa merasakan hawa panas menjalar ke punggungnya. Wajahnya berubah memerah karena malu juga. "Apa yang kau minta tidak salah. Jangan menarik kata-katamu." Pinta sang istri. "Saat masa menstruasi selesai, ayo kita melakukannya."

"Jangan terlalu dipikirkan," Naru berkata sambil turun dari ranjang. "Itu kondisi mabuk."

"Kenapa aku tidak memikirkannya?"

Naru terdiam, ia juga tidak tahu, padahal Hinata istrinya.

"Aku ingin melakukannya denganmu—aku ingin melakukannya dan sudah lama menahannya. Aku bukan perempuan yang suka berhubungan intim tanpa komitmen, aku sudah mengatakannya padamu. Aku lebih suka, kalau aku melakukannya dengan suamiku. Dan, kau adalah suamiku."

Baru saja Naru melepas kemejanya dan berhasil melempar ke tempat cucian, dan tidak sengaja melirik meja rias. Seharusnya, dia mengganti topik. "Omong-omong, kau suka meja riasnya?" Hinata melirik sebentar ke benda itu. "Meja rias itu lucu, sepertimu."

"Kenapa seperti aku?"

"Saat menemukannya, benda itu yang paling mengusik penglihatanku," Hinata mengernyit. "Kau selalu terlihat di antara kerumunan banyak orang, aku tidak pernah sulit menemukanmu."

Hinata hanya memperhatikannya saksama. Perempuan itu duduk santai di pinggir ranjang. Wajah bulatnya lucu, rambutnya kali ini diikat agak asal-asalan. Tanpa riasan yang tebal, Hinata seperti gadis remaja. Ia suka wajah Hinata yang bulat, juga suka dengan postur tubuh mungil Hinata—sebenarnya, dia suka segala yang dimiliki oleh Hinata. Juga payudara ideal, Naru harus menelan ludahnya begitu dia melirik bagian itu.

"Aku akan pergi cuci muka dan sikat gigi, tunggu aku di meja makan."

Kepergian Naru, Hinata masih di sana. Ia melirik pigura berisikan satu foto pernikahan mereka yang terlihat kasual. Ia masih menyimpan sneaker yang dikenakannya itu. Meletakan sepatu itu ke sebuah kotak yang diikatnya pita, dan satu-satunya benda yang tidak boleh dibuka, atau kenangan menyakitkan tentang pernikahan mereka bakal diingat oleh dirinya, selamanya. Namun mungkin sekarang rasa menyakitkan tersebut tidak berlaku lagi, karena mereka telah kembali. Hinata pun buru-buru mendekati lemari, dan ia mengambil kotak yang diletakkannya di bawah baju-bajunya yang digantung. Ia melepaskan tali di kotak itu, lalu membukanya.

Naru keluar dengan menggosok wajahnya dengan handuk. "Kau masih di sini?"

Hinata menoleh ke arahnya, lalu berkata, "Ayo, kita pergi kencan dengan memakai sepatu ini." Naru melirik ke arah sepatu itu, dan kemudian dia tersenyum. "Kau masih menyimpannya, 'kan?"

"Tentu, kita bisa mengenakannya lagi, juga cincin pernikahan kita."

"Kau masih menyimpan juga?"

"Untuk apa aku membuangnya?" ujar Naru. "Aku menyimpan semua yang berhubungan denganmu. Aku merasa kita akan kembali bersama suatu hari nanti. Dan itu terbukti."

Hinata senang dengan itu, bahkan dia tidak bisa berhenti menyunggingkan senyuman, menunjukkan betapa dia bahagia pagi ini. Perempuan itu juga tidak kembali meletakkan sepatunya ke dalam kotak, malah dia menyusunnya ke rak sepatu. Hinata senang melihat sepatu itu bisa dikenakan olehnya lagi.

Naru mengamati istrinya. Sebenarnya dia yang paling merasa senang ataupun bahagia karena Hinata kembali berada di sisinya.

□■□■□■□■□

B E R S A M B U N G

SECONDLY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang