BAB 3

2.8K 403 9
                                    

Ditunggu 110 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.

Terima kasih :)

□■□■□■□■□

Keluar dari kamar di penthouses yang ditinggali oleh Naruto, ruang tamu, juga dapur yang seingatnya berantakan karena dia ingin membuat sesuatu tiba-tiba bersih seolah tadi malam tidak terjadi sesuatu padanya.

Ia ingat kalau kelaparan tengah malam, bahkan membiarkan sesuatu dalam panci panas menggosong begitu saja, sementara di dalam oven, pasta pun bernasib sama, karena tidak ada waktu untuk mengingat apa yang ada di dapurnya, dia pergi menerima telepon. Belum cukup dengan ponselnya, telepon nirkabel berdering layaknya alarm kebakaran yang tidak bisa berhenti sebelum api benar-benar dipadamkan. Dan mungkin saja benar-benar akan terjadi jika dia tidak menyadari atau mencium sengatan gosong dari arah dapur.

Naruto berdeham sembari melangkah, kepalanya pening bukan main. Tepat di tengkuknya serasa ada batu besar yang terus menempel dan membuatnya ingin terjatuh.

"Selamat pagi." Seorang wanita dengan apron muncul dari dapurnya. Wanita itu sibuk mengelap tangannya dengan tisu basah, lalu melepas apron yang dikenakannya, meletakkannya di atas meja kabinet. "Sangat memprihatinkan dapurmu. Untung aku pagi-pagi sekali datang. Kalau tidak, kau mungkin menggerutu dan selalu kepikiran masalah kecil seperti itu di tengah-tengah kerjamu nanti."

"Maaf, aku benar-benar kelaparan tadi malam, ingin membuat sesuatu."

"Kau bisa memesan, atau kau bisa menghubungi aku."

"Tidak bisa. Aku tidak mau merepotkanmu."

Wanita itu menyunggingkan senyuman. "Kalau begitu coba kau cari seorang kekasih atau mungkin seorang istri." Naru mengerucutkan bibirnya. "Itu satu-satunya cara supaya kau tidak merasa sungkan, karena itu tugas mereka."

"Kukira tidak semudah itu."

Naru bergegas untuk duduk di kursi meja makan sambil tangannya meraih surat kabar. Merasa tidak ada berita yang menarik. Ia mengambil tablet putih di sebelah surat kabar tadi. Menaik turunkan layar untuk melihat rincian saham pagi ini, dan membuka satu demi satu e-mail masuk. Naru juga menyesap kopi hitam tanpa gula dari asistennya—sebenarnya wanita itu sekretarisnya yang bisa melakukan apa pun untuknya. Namanya Aimi Hiroko. Dan Naru sering memanggilnya dengan Ms. Hiroko.

"Lumayan, bisa menghilangkan pengar."

Ms. Hiroko hanya tersenyum sembari wanita itu menghidangkan roti yang sudah dilapisi oleh mentega. Naru menggigit potongan roti itu, mengunyah penuh di dalam mulutnya dan terus memandangi tablet kerjanya. "Tidak yang ada menarik pagi ini." Ms. Hiroko bersuara, Naru masih fokus. "Apa aku boleh membereskan kamarmu?"

"Tidak. Aku bisa melakukannya sendiri."

"Aku bekerja selama empat tahun padamu, tapi kau tidak pernah mengizinkan aku untuk membersihkan kamar itu. Sebenarnya, apa yang sedang kau sembunyikan?"

"Aku tidak pernah menyembunyikan apa-apa darimu. Tapi mungkin kamar itu sedikit privasi."

"Oh, benarkah?" Ms. Hiroko sempat berpikir ke mana-mana. "Sesuatu yang liar?"

Naru merespons dengan terkikik. "Aku tahu apa yang sedang kau pikirkan."

"Semua orang akan berpikir begitu—sama sepertiku yang kini malah tidak sanggup mengenyahkannya."

Pria itu mematikan tablet, dan meletakkannya di atas surat kabar. "Aku akan pergi mandi."

"Aku akan pergi ke ruang kerjamu untuk menyiapkan semuanya."

"Terima kasih."

Ms. Hiroko bukan wanita tua kuno yang kecentilan. Dia wanita ramping, berwajah kecil, berambut lurus cokelat, matanya bulat, hidungnya mancung, dengan postur tubuh semampai ia dapat menaklukkan laki-laki mana pun. Itu pikiran Ms. Hiroko yang mungkin saja bisa menaklukkan hati bosnya, yang sebenarnya bukan terlahir sebagai pria kaku. Pria itu sangat cekatan, perhatian, murah senyum, dan semua yang ada pada diri bosnya adalah pria idaman yang dicarinya. Sebuah kesempurnaan yang menurut Ms. Hiroko tak dapat dibantahkan serta tidak mudah ditemukan.

Semua kebaikan ada pada diri laki-laki itu menjadi daya tarik bagi Ms. Hiroko yang terus mencari seorang pangeran sempurna menurut versinya. Namun sayang sekali jika Ms. Hiroko sepertinya tidak mendapatkan tempat di hati bosnya yang benar-benar tidak tertarik untuk bercinta.

Desas-desus yang dapat didengar olehnya, bahwa Mr. Uzumaki sudah menikah. Tetapi ketika Ms. Hiroko menyinggung rumor seperti itu, Mr. Uzumaki selalu memiliki tempat dan waktu yang pas untuk mengelak dan mengalihkan pembicaraan.

Ketika berhasil masuk ke dalam ruang kerja Mr. Uzumaki. Kadang-kadang Ms. Hiroko punya ambisi untuk mencari sesuatu tentang rumor itu. Ruang kantor pribadi bosnya tampak berantakan, sepertinya tidak akan menemukan apa pun di sana. Ms. Hiroko sudah pusing duluan.

Ia hanya menghela napasnya, memunguti satu demi satu kertas berserakan di lantai penuh permadani berwarna hijau tua. Lalu menumpuk menjadi satu di atas meja kerja. Tapi kali ini berbeda yang ditemukan oleh Ms. Hiroko yang langsung dengan sigap mengambil pigura kecil yang cocok diletakkan di atas meja kantor.

"Oh, ini." Ms. Hiroko terkesima. Ia meneliti saksama sebelum dirinya benar-benar ketahuan kalau menemukan rahasia—rumor yang selama ini mengganggu pikirannya sendiri selama bertahun-tahun.

Perempuan beruntung itu amatlah cantik. Selera Mr. Uzumaki terlihat dari bagaimana dia mencari istri. Meski sebenarnya wanita itu bertubuh sangat pendek, duduk di atas kap mobil dengan memamerkan sneaker warna putih daripada sepatu hak tinggi yang sangat indah. Senyumannya manis dan terlihat tulus. Salah satu tangannya menggenggam tangan Mr. Uzumaki, sementara tangan Mr. Uzumaki lainnya menggenggam buket bunga.

Mereka sangat bahagia—semua pengantin seperti itu. Dan terlihat kalau pengantin prianya pun mengenakan sepatu yang sama. Kasual, elegan, glamor, kombinasi yang sangat cantik. Memberikan kesan bebas tapi tidak meninggalkan esensi sakral dalam upacara pernikahan.

Mata Ms. Hiroko memanas, hatinya pun bernasib sama. Oh, sakit sekali memang mengetahui kenyataan semacam itu. Berat—Ms. Hiroko ingin menangis. Tapi dia tidak boleh melakukan hal tersebut. Ia harus profesional daripada melibatkan masalah pribadinya dalam cinta bertepuk sebelah tangan.

Ternyata, orang yang dicintainya telah menikah. Kabar itu memang benar.

"Hiroko!"

Sebelum ketahuan dirinya melihat foto pernikahan itu. Hiroko cepat-cepat menarik tas setelah memasukkan beberapa maps ke dalam tas laptop Mr. Uzumaki.

Keluar dari ruang kerja, Mr. Uzumaki sangat tampan, mengenakan setelan dari rumah mode Boglioli, serta kaus putih polos yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana tanpa ikat pinggang yang biasanya melingkar pada pinggulnya. "Hari ini tidak terlalu banyak jadwal. Oh iya, aku ingin mampir ke suatu tempat nanti sore. Jadi, kalau ada yang mencariku, tolong bilang aku ada urusan pribadi dan tidak bisa dihubungi."

"Saya mengerti." Naru mengenyit, Ms. Hiroko mengubah aksennya secara tiba-tiba, nadanya juga terdengar sopan—bukan berarti selama ini tidak sopan. "Silakan, Presdir."

Namun Naru tidak menanggapi keanehan Ms. Hiroko, dia keluar lebih dahulu dari penthouses bahkan masuk terlebih dahulu ke dalam tabung lift.

Hiroko di sampingnya masih diam tak bersuara.

Mungkin ada sesuatu yang terjadi. Walau tidak terganggu, tapi aneh rasanya menjumpai Hiroko yang terkenal banyak bicara dan selalu memberikan setiap arahan kepadanya diam begitu saja. Mungkinkah perempuan itu sudah punya pacar dan sekarang sedang masa-masa kritis, bertengkar di tengah hubungan itu adalah hal biasa. Biasanya, wanita yang paling emosi dan sering kali meluapkan apa pun itu yang mengganggu pikiran mereka. Seseorang yang dikenalnya seperti itu.

□■□■□■□■□

B E R S A M B U N G

SECONDLY ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang