Ditunggu 150 vote, untuk update bab selanjutnya. Ayo bersenang-senang.
Terima kasih :)
□■□■□■□■□
Seseorang menyibak gorden kamarnya, aroma kopi menguar, membuat Hinata terbangun dengan mengambil pelukan pada selimut erat-erat.
Sebelum memutuskan untuk turun dari kasur, Hinata menengok ke samping. Suaminya tidak ada di sebelahnya. Sekarang pukul tujuh pagi, secangkir kopi sudah mendarat di meja dekat jendela setinggi langit-langit. Pemandangan pagi ini sangat indah, meskipun sebenarnya disertai mendung. Hari ini cuaca mungkin tidak bersahabat, lebih baik dia menjatuhkan diri di kasur kembali, rasanya enggan untuk memulai aktifitas. Naru pasti mau mengerti kondisinya.
Tadi malam mereka menghabiskan waktu cukup lama—tiga kali bercinta rasanya tidak cukup. Pertama, mereka perlu melakukannya di sofa, kemudian yang kedua, mereka melanjutkannya di kamar, diakhiri dengan mandi bersama. Bercinta di bawah pancuran, sensasi cukup menyegarkan, tapi sebenarnya belum benar-benar berakhir sampai di sana. Mereka kembali melanjutkannya di atas kasur, lalu mereka tertidur karena kehilangan tenaga. Ini percintaan ekstrem. Karena benar-benar ingin melakukannya berkali-kali, Hinata tidak dapat mengeluh atas apa yang diinginkannya itu.
Sepuluh menit kemudian, ketika perempuan itu masih di atas kasur. Naru masuk ke dalam kamar, ia menggelengkan kepala di saat menjumpai istrinya masih terbaring di atas kasur. "Kau tidak mau sarapan?" tanya pria itu, mengambil duduk setelahnya di pinggir kasur. "Ayo, bangun."
"Aku ingin tidur seharian ini."
"Masih lelah?"
"Tapi aku ingin melakukannya lagi." Hinata terkikik. "Kurasa kau tidak ada gairah untuk pagi ini."
"Ada banyak pekerjaan, kurasa ditunda dulu untuk pagi ini. Kita bisa mencoba nanti malam."
"Aku akan menunggumu di sini."
"Jangan lupa siapkan lingerie manis yang kau bilang," Hinata mengambil duduk. "Tapi aku tidak yakin tepat waktu untuk sampai di rumah. Kau tidak perlu menyiapkan makan malam, karena aku ada makan bersama dengan beberapa orang."
"Sepertinya kau sibuk sekali."
"Benar," jawab Naru, ia agak menyesal pada titik itu. "Terdapat konferensi siang nanti dengan beberapa pemegang saham. Juga, sepertinya lusa aku harus pergi ke Dubai, dilanjutkan pergi ke Australia. Apa kau mau ikut bersamaku? Sekalian kita pergi bulan madu." Naru menawari, mereka mungkin bisa bersenang-senang, dengan adanya Hinata di sisinya, Naru pikir dia akan bersemangat untuk bekerja.
Hinata menggelengkan kepalanya untuk menolak, ia tidak boleh meninggalkan Jepang untuk beberapa waktu belakangan dengan alasan yang tampak jelas. "Aku tidak bisa meninggalkan jadwal konsultasi rutin di rumah sakit," istrinya memberitahu. "Setidaknya tunggu sampai dokter memberikan jadwal sebulan sekali untuk pergi ke rumah sakit. Dengan begitu, kita bisa pergi ke mana pun."
"Kau yakin tidak apa-apa tinggal di rumah sendirian?"
Hinata memicing, meneliti suaminya, dan menemukan kekhawatiran sebenarnya. "Kukira kau lebih khawatir saat aku mungkin saja pergi minum-minum bersama teman—ke kelab malam tanpa seizinmu, atau parahnya membuat ulah di sini."
"Itu masalahnya," Naru mengungkapkan secara jujur, ia tidak mau menutupi apa-apa lagi dari wanita itu. "Aku benar-benar berharap kau mau mengerti kekhawatiranku. Hubungi aku lima kali dalam sehari. Kirimkan pesan setiap saat," Hinata memutar bola matanya kesal. "Ayolah, jangan membuatku tidak nyaman."
"Jangan khawatir, aku akan berikan bonus video saat aku pergi mandi."
Naru membuang tawanya, mencubit pipi istrinya. "Aku tidak mau masturbasi, karena itu memalukan!"
"Kau mau aku jujur?" Naru terdiam, mengamati istrinya yang berantakan. Bekas-bekas merah berada di sekujur tubuh wanita itu. Naru tidak dapat mengingat apa pun sebenarnya tentang tadi malam—tentang ciuman yang menjelajahi tubuh istrinya. Dan sekarang dia mengingat semua itu, hampir sekujur tubuh wanita itu, Naru menjamahnya dengan ciuman-ciuman sensual. Ia tak dapat berhenti melakukannya. Karena dia hanya ingin memastikan bahwa wanita itu benar miliknya. "Aku pernah masturbasi karena mengingat tentangmu. Apa kau ingat saat aku enggan untuk kau sentuh di awal pertemuan kita kemarin? Aku takut akan melakukan hal seperti itu lagi. Kau benar, itu sangat memalukan."
"Apakah sentuhanku mematikan?"
"Aku lumpuh," masih mengamati wajah suaminya, Hinata kemudian mengambil pelukan, menghirup dalam-dalam aroma tubuh sang suami. "Ketika kau menyentuhku, aku tidak dapat bergerak. Aku terlena, dan terus ingin kau sentuh," selagi membalas pelukan istrinya, Naru mengamati jam pada nakas. Seharusnya dia bisa menggarap tubuh istrinya sekali lagi. Rapat masih siang setelah makan siang. Waktu masih panjang, pikir Naru, tidak ingin menyia-nyiakan perasaan yang bergejolak.
Sedangkan Hinata kemudian merasakan sentuhan sensual di punggungnya yang telanjang. Ia melenguh sesaat, rasanya dingin dan panas. Ia ingin suaminya menyentuhnya cukup lama, ingin pula menggagahinya sekali lagi untuk pagi ini. Dan sangat rela diperlakukan apa pun, tubuhnya merasa begitu ketagihan karena tadi malam, Hinata tak dapat menutupi itu.
"Naru..." laki-laki itu melepaskan pelukan dari tubuh telanjang istrinya, berpindah untuk melucuti pakaiannya sendiri, sebelum akhirnya dia menyerang istrinya dengan penyatuan pagi yang membuat mereka sama-sama mabuk.
□■□■□■□■□
Naru tampak menyesal ketika dia benar-benar tidak bisa pulang untuk makan malam bersama istrinya. Ini persoalan sama tentang perdebatan tentang Ms. Hiroko yang memutuskan untuk berhenti bekerja.
Hiroko cukup percaya diri untuk melakukannya. Apa yang dilakukan atau dipilih wanita itu bukan serta merta karena rasa kecewa yang besar soal kehadiran Mrs. Uzumaki di sisi bosnya. Hiroko tidak ingin berbuat nekat itulah alasan dia berhenti—bisa dibilang, ia hampir kehilangan kendali, memilih jalan untuk menggoda sang bos. Hiroko berhasil memprotes dirinya sendiri tentang tidak baiknya bersikap kurang ajar.
Ketika Naru berhasil masuk ke penthouses dan melupakan masalah tentang Hiroko, dia malah menjumpai istrinya tidur di sofa. Tadi siang, Hinata mengantar dirinya pergi ke kantor dan bilang akan mampir untuk membeli kaset film di toko langganannya. Film itu pun masih diputar. Belum lagi setidaknya ada lima kaset berisikan lima film romantis di atas meja yang dipenuhi oleh bungkus keripik kentang.
Kemudian, yang dilakukan oleh Naru, dia mengambil duduk di pinggir sofa besar yang ditiduri oleh istrinya. Sejenak ia mengambil usapan pelan pada kepala wanita itu, lalu berpindah mengusap lengannya, hingga membuat wanita itu melenguh. "Aku mengganggu tidurmu?"
"Sepertinya aku baru melihat sekitar 10 menit filmnya, lalu aku ketiduran, tahu-tahu filmnya sudah selesai." Naru mengambil remote, untuk mematikan layar televisi dan pemutar kaset video. "Kau membawa apa? Aku mencium bau garlic."
"Oh, itu," Naru senang penciuman istrinya sungguh tajam soal makanan, ia sempat tertawa selagi menarik kotak ayam krispi di sampingnya. "Aku membawa makanan kesukaanmu," mata Hinata berbinar. "Makanlah, aku akan pergi mandi."
"Apa kau ingin aku membaginya?"
"Tidak. Aku sudah kenyang."
Hinata mengambil duduk manis sambil memangku kotak ayam krispi itu. Ia baru saja memimpikan makan ayam. Sepertinya indra penciumannya tidak main-main. Ia mampu mencium dalam radius kilo meter—mungkin saat suaminya antre membeli tadi, langsung terhubung dengan alam mimpinya. "Ah, aku tidak menyesal menikahinya. Dia tahu apa yang aku suka."
□■□■□■□■□
B E R S A M B U N G
KAMU SEDANG MEMBACA
SECONDLY ✔
Fanfiction[Short Series] Naruto dan Hinata menikah karena alasan yang tak dapat dimengerti oleh mereka sendiri, dan dua tahun kemudian, mereka memutuskan untuk bercerai. Lima tahun setelahnya, tepatnya saat mereka memiliki kehidupannya masing-masing, keduany...