13.) rajah pirau

29 9 0
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Begitu mata terbuka, hanya kabut tebal sepenjuru pandang yang diraih. Memoarnya melambai-lambai pada tapak tilas kepulan tungku. Aroma manis bercampur gurih memenuhi seluruh tubuhnya. Bahkan kulit-kulitnya merasakan sentuhan hangat yang diharapkan dan dirindukan kehadirannya. Namun, ketika arah pandangnya tertumpuk pada dirinya, ia tak menjala entitas apa pun yang disebut dengan tubuh.

Terpancar samar-samar bilah pisau beradu pada talenan mengusik pendengaran.

"Ibu?" Ia berucap, tetapi hanya terdengar oleh pembatas ruang kepala. Rasa-rasanya suara yang ia keluarkan hanya bergumpal pada isi otaknya.

Mengejutkan, sosok berbalut kain belacu selaku celemek itu menghentikan duet pisaunya dengan talenan. Sosok itu membalikkan badan. Rambutnya yang tersanggul masai membingkai ruang kosong yang seharusnya ditempati oleh kepala.

Sontak si Pemanggil Ibu tercekat. Walau sebetulnya ia tak merasakan tubuhnya merosot jatuh, atau terjengkang. Ada suatu dorongan insting untuk menghindar. Entah apa itu, dirinya sendiri tak mengerti.

Meski lirih, sosok sang Ibu terdengar seperti terisak. Kedua tangannya yang berkabut terjulur, dan hendak membelai si Pemanggil-nya.

"K-Kau siapa?!" Akan tetapi, si Pemanggil Ibu justru beringsut menjauh.

"Kau tidak mau bertemu ibumu, Nak? Kenapa kau tinggalkan Ibu sendirian? Kenapa kau sudah lebih dahulu dijemput Dia?"

"Menjauh dariku! Kau bukan Ibuku!" Raungan si Pemanggil menguap ketika tangan si Ibu hendak mengacungkan besi penjapit dengan kobaran api. "Tidak! Menjauuuuh! Ibuku tak mungkin membunuh anaknya sendiri yang bahkan belum lahir ke dunia!?"

Semua menggelap seiring ayunan acak yang membara itu menebas tubuh taksanya. Bertepatan sebuah lekuk pendar mencuat pada pertemuan percikan api. Segumpal deburan ombak menggiring si Pemanggil Ibu terembas pada pusaran palung angin. Dalam kungkungan pusaran arus yang menjulang ke ufuk, ia bertemu pada ribuan, mungkin jutaan dari pergumulan siluet-cahaya tak berwujud yang sudah tertiup perjanjian hidup dan mati. Sayangnya, mereka ialah yang belum sempat menepati rajah tangan, entah pula apakah ini bagian dari merampas takdir-Nya.

Pada masa yang tak terikat dunia fana nan rangup, mereka terombang-ambing oleh gelombang berkabut yang tak berujung.




13/11/2019


CAKRA ATMA: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019 ― ⌠selesai⌡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang