☠☠☠
☠
"Ekor atau kepala, mana yang kaubutuhkan?"
Gergasi umpama ular hutan itu mendebaskan uap panas pada Raja Kesatria. Berdiri seorang lelaki dengan zirah baja besinya yang berhasil meluluhlantakkan perisai mayat hidup di pulau segitiga permata merah.
Satu-satunya manusia dari sekian ribu tahun yang berani menginjakkan kaki pada dunia para gergasi kuno. Pancaran penuh ambisi terpampang menyalang pada sepasang mata sang Raja Kesatria.
Bibirnya yang semenjak tadi mengatup, terbuka perlahan. Dengan nada penuh wibawa nan intimidatif menjawab, "Aku mencari taring naga yang tersimpan pada kepala. Aku butuh pedang baru, yang lebih kuat untuk menaklukkan pulau keseratus! Akan kuukir sejarah dan bendera kekuasaanku pada pulau-pulau jajahanku!"
"Binal sekali hasratmu, Yang Mulia. Sungguh dengan kekuatanmu sekarang, kau masih saja serakah!" Sang Gergasi menyemburkan napas apinya menghalau si manusia angkuh itu.
Sang Raja Kesatria melangkah ke samping. Perisai pada tangan kiri ia lempar selaku bilah tajam ke arah leher bersisik raksasa. Namun, sang Gergasi melibaskan ekor berdurinya. Kontan saja perisai yang digadang-gadang telah melindungi tubuh sang Raja Kesatria dari segala serangan sihir hancur bebar.
"Tidak mungkin!" Terpancar air muka terkesiap karena tidak percaya atas apa yang dilihatnya.
Sang Gergasi pun terbahak banglas.
"Manusia selalu menganggap dirinya makhluk ciptaan alam paling sempurna, tapi ketamakan yang tertanam di hati membuat kalian kerdil. Orang bodoh akan selalu belajar, sedangkan orang pintar akan menyimpan keangkuhan untuk merendahkan lainnya."
Sang Raja Kesatria mendengkus. Ia melompat sekali sentak mengayunkan bilah pedang yang dilancarkan mengenai pucuk kepala Gergasi.
Lagi-lagi sang Gergasi menarik ekor panjang dan meliukkan ke arah tubuh sang Raja Kesatria. Lelaki itu berputar mundur, lantas melesak ke dalam hutan. Agresi ekor Gergas meleset dani menghantam serdadu pinus.
"Jangan bersembunyi, Yang Mulia. Buktikan nyalimu untuk mendapatkan apa yang kauinginkan!"
Sang Raja Kesatria yang merapatkan diri di salah satu batang pinus terbesar memejamkan matanya sejenak. Ia memikirkan sebuah rencana, bagaimana cara menumbangkan Gergasi itu. Sungguh merepotkan, mendekati langsung ke garis depan disembur api, berbelok ke belakang disambut ekor berduri. Seolah ekor itu memiliki pikirannya sendiri.
Sang Raja Kesatria memicingkan matanya. Atensinya tertumbuk pada ekor sang Gergasi. Jika ia bisa memiliki ekornya, sempurna sudah senjata yang ia miliki untuk melancarkan segala hasrat serakahnya.
Namun, bagaimana untuk mendapatkan kepala dan ekor itu, kalau mendekati salah satunya ternyata sesulit ini?
Sudah sebulan lebih dirasa, yah, sang Raja Kesatria yakin, dan tidak membuahkan hasil.
Apakah ia harus menyerang ketika Gergasi itu dalam keadaan lengah?
Itu artinya, sang Raja Kesatria harus bersabar agar taktiknya terlaksana dengan sempurna.
Musim hujan serbuk es yang dinanti tiba. Inilah kesempatan sang Raja Kesatria menyiapkan rencana. Ketika suhu kian merendah, ia pastikan sang Gergasi tengah terlelap menghangatkan tubuh di dalam gua.
Bersama awak kapal, mereka mengendap-endap membawa kantung-kantung jerami berisikan es batu. Jala yang terbuat dari akar lotus laut mampu meredam energi dari makhluk sihir berdarah panas.
Begitu jala telah mengkungkung sang Gergasi dan jerami mulai membekukan sekitar sarang, sang Raja Kesatria berdiri di ujung bebatuan. Ia ayunkan pedang melintang ke arah kepala sang Gergasi yang masih terpejam erat.
Akan tetapi, ketika bilah runcing itu membuai angin, sang Gergasi tiba-tiba berbunyi.
"Ah, Yang Mulia rupanya telah memilih kepala. Tapi ingatlah ini Yang Mulia, kau tak akan mendapatkan seluruh harta yang bersemayam di dunia ini dengan cara tiranimu ini," kata sang Gergasi untuk terakhir kalinya.
Alis sang Raja Kesatria tertukik bingung. Sabetan pada kepala Gergasi meragu. Tulang lehernya tak tertebas sekali sentak. Sang Raja Kesatria harus mengulang tiga kali hingga zirah kebanggaannya berlumur darah hitam dari Gergasi. Begitu mendapatkan taring keras yang melebihi pedangnya itu, ia abaikan ekor berduri yang sempat mengusik interesnya.
"Kita kembali ke kerajaan!" seru sang Raja Kesatria seraya mengangkat tinggi-tinggi taring hasil jarahannya.
Akhirnya para awak kapal bersorak Yang Mulia mereka mendapatkan apa yang diinginkan.
Mereka akhirnya menguliti daging naga untuk persediaan kembali ke singgasana sang Raja Kesatria.
Wajah penuh rasa bangga terpatri makin gamblang kala kapal perangnya melabuh selamat di wilayahnya. Iring-iringan meriah menanti kedatangan sang Raja Kesatria ketika derap langkahnya menapak angkuh pada dataran.
"Di mana putraku? Dia harus melihat dan belajar menjadi bagaimana menjadi penerus Raja Kesatria!" ucap Raja Kesatria amat tegas dan garang. Matanya menatap nyalang pada seorang maha patih yang tergopoh-gopoh memberi sambutan di balai astaka.
"Yang Mulia hormat penuh kejayaan untuk Anda." Maha patih lekas bertekuk lutut dengan tangan mengatup di depan muka menjunjung keagungan Raja Kesatria.
"Katakan ada apa? Kenapa balai astaka seperti kuburan?" Melihat raut wajah gelisah maha patih, sang Raja Kesatria mengerutkan wajah tak suka.
"Yang Mulia harus mengetahui kabar ini ... calon pewaris Anda tewas ketika ada pemberontakan sipil," papar maha patih yang masih menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Perlihatkan jasad putraku sekarang!" Tubuh sang Raja Kesatria bergetar. Sontak ia bergegas menuju serambi altar peribadatan untuk yang telah tiada.
Bagai dihantam gelombang air raksasa ketika ia membuka kain penutup jasad dan memaparkan raga anak semata wayangnya terbujur kaku tanpa kepala.
"Di mana kepala putraku!" jeritnya yang menyentak upacara kematian.
Maha patih menundukkan badannya. "Mereka memburu kepala calon penerus takhta, ma-maafkan hamba ... para prajurit kecolongan ketika pesta perayaan tanpa kehadiran Anda."
Amarah dan kesedihan berpadu dalam ceruk hati dan pikirannya. Bukan waktunya ia menyalahkan prajuritnya yang bodoh. Ia harus membangun keyakinan solid untuk menggempur lawan.
"Sudah waktunya kita berperang! Cepat siapkan armada perang dan hancurkan sarang pengkhianat di seberang laut!"
"Tapi Yang Mulia ...!"
"Ada apa lagi!?"
"Pemimpin pemberontakan itu adalah Kakak Anda sendiri."
"Apa katamu!? Omong kosong! Dia sudah mati sepuluh tahun lalu!"
"Kakak Anda yang diduga sudah mati, rupanya masih hidup dan kini memburu kepala calon penerus takhta untuk menukar takhta yang telah direbut oleh Anda. Kami melihat wajahnya ketika membawa kepala pewaris sebelum menghilang di langit malam."
"KEPARAT!"
☠
☠☠☠
29/11/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRA ATMA: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019 ― ⌠selesai⌡
Krótkie Opowiadania[18+] Mati Satu, Semua Binasa. Kau hanya punya satu otak. Lalu dipotong menjadi 30 bagian seperti dendeng tikus. Untuk bertahan hidup, kau harus memeras otak demi menghasilkan eksekusi karya tulis dari 30 tema berbeda sebulan penuh, sebelum garis-ke...