☠☠☠
☠
Ingar bingar kepak sayap kelelawar menampari mendung. Badai yang berkesiur menyebabkan guruh berkumandang. Ekor petir berkecamuk membakar pucuk menara tertinggi Asrama Astabura. Sekujur tubuh bangunan kastel peyot telah dililit sulur pohon beringin. Di menara itu, tampak siluet menjulang di tengah ruangan rekreasi asrama. Ia adalah Rumeza, figur yang selama ini dikenal sebagai pengasuh bayi monster bertubuh manusia kini menagih kembali semua pemberiannya. Sebab, ia membutuhkan energi yang telah dipelihara bertahun-tahun hingga tumbuh menjadi spirit muda siap panen. Sebelum layu menyambut usia senja.
Wanita bercepol dengan gaun sutra itu kini seluruhnya berwujud gurita. Congor bibir seumpama capit pada mulut laba-laba terbuka lebar guna memasukkan seorang anak asuhnya yang sudah terbujur kaku.
Teriak dan isak tangis pecah ruah dan melebur sambaran guruh di kegelapan malam. Mereka tak menyangka sosok yang selama ini menggelontorkan kasih dan segala kehangatan afeksi; mengajari baca-tulis; menghitung; pelindung, justru berbalik menjadi sosok yang akan memenggal usia teramat belia anak-anak asuhnya secara beringas.
Pun, ia menutup rapat semua akses keluar-masuk asrama. Lebih-lebih Astabura menggagahi sendirian di pulau melayang, tak membuat para anak asuhnya berkomunikasi dengan orang dewasa lain.
Semua anak asuh yang masih utuh beringsut gemetaran menahan suara di sudut lemari ambruk, meja ringsek, ataupun ceruk pilar yang sudah roboh. Semua isi ruang rekreasi seperti habis dilanda tornado. Perkakas hobi dan aktifitas berserakan. Namun, ada satu anak asuh yang terjerat di lantai kayu di saat yang lainnya telah menemukan tempat persembunyiannya sementara. Kakinya terjeblos, tak bisa kabur saat wanita yang tak lagi dikenal rupanya itu menyisir sudut ruang di mana si anak itu terlihat oleh rembulan emas.
"Oh, Agira. Anak Maha Iblis Lidah Api Trojan. Anak kesayanganku yang paling bandel. Kemarilah, akan kubacakan sebuah dongeng ninabobo."
Agira, anak emasnya menatap nanar pada sosok Ibu berlumuran darah dari teman-temannya. Dengan kepayahan, bocah laki-laki berambut cokelat bersemburat oranye itu menarik paksa kakinya hingga berdarah.
Mulut Rumeza yang berlinangan air liur pun tak kuasa untuk menerjang Agira yang belum sempat menghindar.
"Kena kau!" Ia kemudian lekas mencekik bocah berusia sepuluh tahun itu dan menariknya tergantung tinggi-tinggi.
"Tidak! Jangan makan aku! Lepaskan! Lepaskan!" Agira terus meronta, kendati lilitan tentakel pada lehernya kian menjerat.
Anak-anak asuh itu, terlebih Agira tak mengerti kenapa ibunya; ibu mereka menjadi seperti ini. Kesalahan apa yang telah mereka perbuat sampai harus mengalami kejadian ini. Lantas, kenapa Rumeza yang mati-matian menghabiskan waktu untuk mencari para bayi monster yang diingkari keluarganya sendiri, seolah ditolak takdir, mengayomi mereka, kini ....
Agira yang menjerit, tahu-tahu tubuhnya mengeluarkan percikan api yang membakar rongga mulut Rumeza ketika hendak menggigitnya besar-besar. Rumeza sontak berteriak kepanasan. Megap-megap sembari menjaga kestabilan tubuh bertentakelnya yang meleleh.
Segera insting bocah itu meraih anak-anak asuh yang tersisa, mengambil kapak yang teronggok di kolong, tetapi Rumeza dengan tentakel terpanjangnya menjerat seorang bocah gadis yang berlari paling lambat.
"Caroline!" teriak Agira, berlari terseok-seok menghampiri bocah gadis yang akan ia selamatkan.
"Agira, kita pergi saja selagi monster ibu itu memakan Caroline!" pekik salah satu anak yang sudah menjangkau pintu dengan menggenggam kapak.
"Kau gila? Dia teman sekelas kita! Kau tega membiarkannya mati mengenaskan? Bagaimana kalau kau di posisinya?!" sentak Agira.
Noire terkesiap ketika menelan ludah begitu berat. Akhirnya bocah yang siap menjebol pintu dengan kapak ikut menerjang Rumeza.
Wanita monster yang berjalan menabrak plafon itu mengimpit tubuh Caroline, menjauhkannya dari Agira dan Noire.
Agira tak mau kalah, bocah itu melompat ke arah pilinan tentakel dan menggigit hingga percikan bunga api membakar gosong. Noire melompat ke arah wajah berusaha menebas wajah Rumeza yang hendak memasukkan Caroline ke mulutnya.
"ANAK-ANAK KURANG AJAR!" Rumeza belingsatan seperti cacing kepanasan, tiba-tiba saja ia menjulurkan lidah panjang. Tak ubahnya tentakel, ia gunakan untuk menggilas belasan anak-anak yang belakang Agira. Bahkan saking panjangnya, mampu meraih mereka yang sudah kabur ke luar halaman kastel.
Agira menjerit bebar seraya menendang dan menusukkan tangan bersulut api hingga menembus perut buncit Rumeza. Saling tinju, libas, tendang, banting di dalam halimun panas.
Noire mengambil kesempatan untuk menyeret keluar Caroline dari bebatan tentakel, sementara Agira masih sibuk melampiaskan amarahnya. Sikut-menyikut dan tendang secara sembarangan sampai menimbulkan gejolak riak yang menghanyutkan keduanya itu lebih jauh keluar kastel. Bobot tubuh yang tidak bisa dikuasai, Rumeza terseret terguling-guling ke tubir pulau melayang.
Agira segera bertindak dalam memimpin kabur dari asrama para monster yang telah menjadi neraka. Mereka terus berlari menjauhi kawasan kastel. Traumatis dan kekalutan membawa mereka pada pelabuhan langit. Di sana teronggok kapal layar bercadik. Mereka bertiga tergugu-gugu.
"Kita akan pakai ini," sahut mantap Agira seraya menarik tali yang terikat pada pohon samping jalur setapak pelabuhan.
"Hah? Kau bercanda? Lantas, bagaimana cara menaiki kapal ini?" Noire menaikkan alisnya meragu.
"Ibu pernah membacakan dongeng pelaut. Aku tahu cara menaiki kapal ini. Tali ini harus kita lepas. Lalu pasti ada jangkar yang menahan laju kapal," papar Agira seraya mengelilingi lambung kapal, guna memastikan apakah ada yang bocor atau keganjilan lainnya.
Noire dan Caroline menuruti perintah Agira. Segera kemudian, jangkar digulung naik, kapal berlayar di antara larikan awan.
"Akan ke mana kita selanjutnya?" tanya Noire dengan menjatuhi tatapan menuntut pada Agira.
"Apakah di sana akan ada Ibu?" timpal Caroline yang memeluk lututnya.
"A-Ada ibu juga di sana!?" Noire meremas gagang kapaknya.
"Bisakah kita pergi ke tempat yang tidak ada Ibu?" Caroline pun berdiri menghampiri Agira yang berdiri di pucuk haluan dan saling melempar tatapan traumatis pada Noire. Sebab, hanya tertinggal mereka bertiga yang masih hidup.
"Tenang teman-teman. Kita akan mencari rumah baru," jawab Agira. Meski demikian, ia menatap cakrawala maya di ufuk fajar sana penuh keraguan. Ia pun juga tak memiliki tujuan. Entah akan membawa mereka ke mana kapal tua ini.
Mereka tidak tahu-menahu kalau ada siluet ramping yang membelakangi cahaya, tengah membayangi dari balkon tiang layar.
☠
☠☠☠
1/11/2019
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRA ATMA: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019 ― ⌠selesai⌡
Cerita Pendek[18+] Mati Satu, Semua Binasa. Kau hanya punya satu otak. Lalu dipotong menjadi 30 bagian seperti dendeng tikus. Untuk bertahan hidup, kau harus memeras otak demi menghasilkan eksekusi karya tulis dari 30 tema berbeda sebulan penuh, sebelum garis-ke...