23.) pohon lobak raksasa

14 4 0
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Karena ceroboh memanggil gerbang magi untuk pergi ke suatu tempat, Walzer malah terdampar di zaman antah-berantah.

Sepenjuru ia menyapu pandang, hanya terdapat berderet-deret batu raksasa yang dipahat sedemikian rupa.

Dari sana muncul orang-orang telanjang, lusuh, gimbal melalui sebuah pintu yang juga terbuat dari batu, tetapi hanya setinggi dua kali dari manusia dewasa.

Walzer yakini itu adalah pintu. Walau sebetulnya cara mereka melewati untuk keluar atau pun masuk ke dalam batu raksasa yang rupanya berongga sangat lebar itu dengan didorong atau ditendang berjamaah.

Masalahnya yang menjadi atensi utama Walzer adalah, mereka dalam keadaan telanjang.

Dirinya yang hidup pada peradaban di mana telepon nirkabel sudah menjadi kebutuhan pokok, merasa risih ketika mereka, orang-orang gua itu beraktivitas seharian dengan membiarkan alat vital-vital mereka bergelantungan diterpa angin.

Anehnya, orang-orang tak tau adab berpakaian itu tampak biasa saja.

Walzer berpikir keras, kenapa tidak ada laki-laki atau pun perempuan yang iseng melakukan percobaan penggerayangan.

Mata Walzer memicingkan matanya. Ia yang tak mengenal seluk-beluk peradaban barbar itu hanya memilih berondok di dahan kayu dari pohon raksasa berdaun seumpama lobak raksasa. Setelah tiga matahari tenggelam, dan kabur dari kejaran singa bergigi gergaji, hanya tempat itu yang sekiranya masih dianggap aman olehnya. Paling tidak belum ada hewan buas yang menantang ketinggian pohon itu. Kecuali nyamuk vampire yang membuat kulitnya menjadi bentol-bentol hitam.

Daripada itu, ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu. Ia harus segera kembali ke peradabannya.

Mana lagi cerutunya tinggal setengah. Ia harus menemukan sumber prana di mana gerbang magi akan menjemput untuk pulang.

Walzer tak bisa berkomunikasi dengan orang-orang itu. Sekali pernah mencoba, berakhir bokongnya nyaris ditombak oleh tulang hiu todak yang sudah diberi racun katak merah jambu.

Demi keamanan, pria ahli nujum nyasar itu memilih tidak berhubungan lisan dengan siapa pun yang berwujud manusia itu. Bahkan ia sendiri tak tahu mereka berbicara dengan bahasa apa, selain lebih terdengar seperti gumaman orang pertarungan di atas ranjang.

Entah mendesah, menggeram, berdecak. Entah yang mana pun, Walzer tak peduli lagi.

Sembari menunggu para manusia gua itu berhenti menodongkan tombak dari bawah, Walzer mengumpulkan benang-benang roh dari udara.

"Sebelas benang, dan aku tak mendapatkan korelasi benang menuju zamanku. Aku harus bergegas." Ia melirik pesimis.

Orang-orang gua itu kenapa tidak lelah juga. Sudah tiga kali matahari menggelinding dan berganti purnama, mereka masih gigih bergantian.

Walzer mengendus-endus bajunya yang sudah kumal. Ia sudah tidak tahan dengan aroma busuk dari darah babi dan kotoran manusia ketika mereka menemukan dirinya terkapar di tepi sungai dan melempari benda tengik itu ke mantel mahalnya.

Begitu cerutunya tinggal beberapa senti, ia lempar ke bawah seraya berkomat-kamit. Jalinan benang berdenyar tipis. Salah satu dari mereka menangkap dengan beringas. Namun, sepercik api berkobar membakar tangannya. Seketika orang gua yang menangkap putung cerutunya menjadi bahan samsak. Karena orang-orang sekitar panik, ia ditujah habis-habisan dengan tombak.

Walzer yang mengira energinya sudah habis, bibirnya tersungging mencong. Tiba-tiba instingnya menyala.

Ia memetik sehelai daun kering, kemudian dipintal dengan benang magi. Ia lakukan berulang. Begitu malam menjelang, ia lempar satu-satu dengan benang magi itu agar tepat mengenai manusia gua.

Kesatuan siaga mereka terhadap Walzer pun mudah buyar. Mereka menjadi saling serang.

Walzer pun berpikir inilah saatnya untuk turun dan kabur selagi mereka sibuk dan kebingungan dengan adanya percikan api yang membara itu.

Sekelebat matanya menjala benang roh yang senada dengan zamannya.

"Akhirnya!"

Dengan sisa energi maginya, ia memanggil gerbang magi. Namun, sehelai daun kering pohon lobak raksasa yang ia petik ikut tersangkut oleh kantung mantel. Bersama dirinya kembali ke zamannya.

Walzer semingrah kembali menjumpai gedung-gedung kaca dan beton pencakar kaki langit. Ia renggangkan bahu karena otot-ototnya mulai terasa nyeri.

"Saatnya pulang."

Helai daun kering yang tersangkut jatuh bersama langkah kakinya menuju peron bawah tanah. Sebuah tunas menyeruak dari akar daun kering itu dan meresap ke dalam tanah.

Sedangkan, Walzer yang sudah rindu dengan kucuran shower air hangatnya bersiul seraya merendam seluruh tubuh di dalam cairan wangi rempah-rempah. Tak lama ia terlelap dengan garis bibir melengkung lebar. Ia bisa pikirkan esok hari untuk kembali menjelajahi zaman lain. Yang tentunya akan lebih selektif memilih gerbang magi agar tidak nyasar lagi.

Akan tetapi, esok harinya tersiar kabar dari berita domestik, menuturkan: ditemukan sebuah pohon raksasa berbentuk seperti lobak, setinggi tiga kali patung liberty tumbuh menghancurkan stasiun kereta bawah tanah.

Mulai dari situ akses transportasi antarkota dibatasi oleh kesatuan keamanan. Sebagian warga terkurung dan sebagian lain tidak bisa masuk. Sebab, akar pohon asing itu terus merambat di bawah tanah hingga ke permukaan yang berhasil merobohkan gedung-gedung canggih pusat perkantoran.




Jika kalian sadar, hampir semua cerpen di proyek DWC 2019: Cakra Atma ini memiliki ending gantung alias tidak terselesaikan.

Emang, saya sengaja. Lagi pun ini work cuma saya jadikan samsak muntahan ide, yang suatu saat akan saya eksekusikan lebih mendalam di work lain, yang entah kapan kalau saya niat.




23/11/2019



CAKRA ATMA: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019 ― ⌠selesai⌡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang