3.) si mata manusiawi di musim dingin

126 22 10
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Entah kutukan apa yang menyebabkan persinggahan sementara di pesisir penyu buntung hanya ramai ketika musim berbedak rinai beku. Sebuntung gadis manis yang ditinggal minggat ibunya bersama penyumbang mani. Sosok yang seharusnya menjadi pengayom justru memberikan neraka duniawi.

Pondok bobrok yang berdiri miring hampir ambruk itu adalah satu-satunya tempat berteduh dari badai salju. Meski sebetulnya lebih banyak apesnya di musim panas dan semi lainnya, mengingat akan ada berjajaran pondok sate katak beku selaku pengganjal asam lambung dan hiburan tarian ular temporer yang tumbuh sporadis.

Ini terjadi lagi ketika pelancong musiman kembali menyesaki kedai mesum pria kotor itu. Apalagi helaian rambut sutra kemuning miliknya menjadi daya atraktif nan seksual tersendiri. Empu kedai berwokan itu tentu saja bisa memukul harga untuk dipatok setinggi-tingginya.

Barangkali ini kesepuluh kalinya, si gadis menjadi komoditas satu-satunya yang hidup di tempat pesing, dan masih hijau pula.

Pun hanya di musim penuh kebekuan ini, si Rambut Cokelat Keemasan bertemu dengan sepasang mata sehijau limau yang satu-satunya memandang dirinya paling manusiawi.

Namun, sosok itu tak ubahnya halimun fajar, duduk bisu, tidak berperangai selayaknya orang tengah dimabuk kegiatan: gosok, isap, sedot, kocok, dan gigit pada benda-benda penjangkit berangta. Orang itu selalu datang tanpa tercium bau apa pun selain aroma air hutan es dan lebih memilih berteduh ke sudut dari hiruk-pikuk kedai. Empu kedai tak pernah mengusik karena pelancong aneh itu selalu memesan segelas anggur murahan paling mahal yang hanya bisa ditemui di kedai para anjing saling bercumbu di muka umum.


Dalam gulungan selimut, Ghera meringkuk di kolong meja umpama kepompong. Deretan gigi tanggalnya bergemeletuk menahan suara meluncur bebas. Tetap saja, rintihan bisu tak bisa ia bendung di saat sisa tetes darah bekas tonjokan pada gusi bengkaknya masih terasa berdenyut-denyut. Sungguh tak main-main hadiah yang ia dapatkan ketika tak sengaja membuat gosong telur ceplok sarapan si Empu rumah. Tentu saja akibat dari kekurangan tidur dampak memoles seluruh sepatu bot di Empu membutuhkan waktu hingga menabrak waktu pertengahan malam. Oleh sebab itu, kognisinya gonjang-ganjing untuk mengatur kobaran api dalam tungku.

Lukisan carut-marut di sekujur tubuh laiknya peta luntur kian memborok. Masih terasa pedih ketika tiap gesekan kain kucel menangkup udara dingin yang terus berupaya menembus serat benang jalinan bulu domba itu. Salju tahun ini begitu menggila. Sebanding lurus dengan cambukan sabuk yang diterima begitu usianya beranjak dua digit.

Sedangkan derap sepatu bot lusuh itu makin mendekat. Kaki besarnya mendobrak pintu hingga menimbulkan derit memekakkan telinga. Pria kekar berbalut mantel bison itu menyemburkan sumpah serapah. Engsel pintu yang baru saja ia perbaiki tiga hari lalu kembali remuk.

CAKRA ATMA: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019 ― ⌠selesai⌡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang