4.) hitungan mundur

68 19 2
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



"Tidak, jangan sekarang!"

Mata Vorqa mendelik tatkala kedua ujung kakinya mulai lesap. Lututnya mengambruk di atas tikar rumbia. Di hadapannya tergolek lemah seorang wanita tua yang mengalami kutukan tidur abadi. Karena terungkap sebuah rahasia tentang siapa dirinya, sosok yang telah membesarkannya—masih bayi bertali pusar—itu terkapar dalam keadaan antara mati, tetapi tidak sewajarnya sebagai manusia hidup.

"Beri aku waktu sebentar lagi ...," gumamnya dengan tatapan menelanjangi langit-langit gubuk itu. Seolah tengah mencari sesuatu entah siapa. "Aku mohon, Atma Jelaga .... Hanya untuk berpamitan .... Aku mohon ....."

Kesunyian melindap ke udara ketika pintu tersingkap lebar-lebar. Atma Jelaga melayang rendah memasuki bilik. Makhluk taksa itu meletakkan jam pasir di birai jendela. Satu sisi tabung tembus pandangnya telah kosong setengah bagian, sisanya luruh mengendap pada tabung di bawahnya.

"Aku bukan bermurah hati memberikan setengah." Sosok Atma Jelaga yang lebih serupa kabut gunung keramat menggumpal. Ia menunggu di sudut di mana tepat pada cakrawala baskara naik takhta. "Butir terakhir akan langsung memakan segala memoar tentangmu."

"Terima kasih." Vorqa menyunggingkan senyum lemah. Sepasang alisnya tertaut sedih. "Mungkin ini terbaik untukmu, Bu. Seharusnya kau tak pernah datang ke sungai dan membawaku pulang ... Mengasuhku ... memberi cinta .... Padahal aku bukan darah dagingmu."

Bertetes-tetes air mata mengalir dari kelopak bercekung tajam Vorqa.

"Tapi, ungkapan berjuta terima kasih juga tak akan cukup untuk membalas semua curahan kebaikan masamu untuk diriku. Untuk segala keegoisanku, kau selalu mengalah. Wajahmu selalu melembut meski kurusak selendang kesayanganmu dari peninggalan mendiang Ayah. Sekali pun tak pernah kudengar suaramu menyakiti telingaku."

Melalui sudut mata, Vorqa menatap sengit butiran pasir yang terus meluncur ke tabung yang hampir terisi tiga perempat bagian.

"Tapi, justru aku yang selalu membuatmu kepayahan dalam menanganiku."

Mengesampingkan hal itu, Vorqa menangkup tangan ibunya yang mulai menghitam. Sekelebat memoar kembali menyeruak dalam benak. Pemuda itu sudah belasan tahun menjalani hidup sebagai putra seorang janda yang ditinggal mati suami dalam perebutan perbatasan antardaerah kekuasaan suku. Apakah benar dirinya dipertemukan oleh dadu Yang Punya Hidup sebagai pelipur lara, ataukah sebatas penguji.

Derik engsel jendela menjerit saat siulan angin menghampiri tengkuk Vorqa. Ia sontak menoleh pada jam pasir yang kian memburunya. Lekas-lekas gigi bertaringnya menggigit daging keriput si Ibu lebar-lebar. Ia isap kuat hingga darah hitam membeludak. Kontan saja, Vorqa tersedak. Raga manusia memang merepotkan, racun kutukan tidur membuat paru-parunya terasa terbakar. Bagaimana bisa ibunya terlelap seperti tidur pada umumnya. Tak sekalipun terdengar rintihan kesakitan.

Akan tetapi, apabila jasad ibunya dibiarkan saja cepat atau lambat akan membusuk. Melihat butir-butir pasir di tabung atas kian surut, Vorqa harus bergegas. Ia kembali menyedot seluruh racun itu meski harus berkali-kali memuntahkannya.

Vorqa menjerit sejadi-jadinya begitu mengetahui kedua tangannya turut menghilang perlahan. Kini dirinya sudah tak bisa lagi memeluk Ibu. Ia harus cepat sebelum butiran terakhir jatuh.

Sebentar lagi, bagian tubuh Ibu yang sudah terisap kembali merona. Tinggal sedikit lagi. Kepala Vorqa berdentum-dentum mau meledak. Entah mengapa racun kutukan yang ia sedot lama-lama semakin memekat dan mengental.

Mana pula suara butir pasir yang terus mengalir jatuh sungguh menyiksa telinganya. Ingin rasanya menghancurkan tabung kaca pasir itu dan mengembalikan seluruh masa untuk kembali utuh bersama Ibu.

Terus saja ia sedot meski membuat tubuh manusianya menghitam dan megap-megap. Vorqa sangat mengutuk dirinya sendiri yang tidak terlahir dari rahim si Ibu dan selayaknya manusia biasa.

Mendengar sebuah suara terbatuk penuh kerinduan, Vorqa mengangkat kepalanya. Matanya memanas ketika melihat rambut kelabu ibunya kembali menghitam lebat. Wanita paruh baya itu terbangun dalam keadaan linglung.

Sesungging senyum merekah di bibirnya Vorqa, hendak merajut kata, tetapi suaranya tak sampai keluar. Ia melirik penuh kengerian ketika tabung atas jam pasir itu telah kosong.

Bersamaan dengan semburat keoranyean mulai menampakkan diri, tubuh Vorqa penyap seutuhnya.

Ah ... sepertinya permintaan berjuta maafku juga tidak akan cukup untuk mengembalikan masamu. Termasuk masa di mana kita berjalan di masa depan. Andai, aku bisa menghentikan waktu, kita akan tetap bersama, selalu.

Terpancar samar-samar segerombol daun semanggi berjatuhan di pangkuan Ibu. Dahinya mengernyit kala tangannya bersentuhan dengan salah satu helaian hijau itu. Ia terkesiap mendapati air matanya menetes tanpa sebab.


Sebuah prasasti yang teronggok di sungai yang dipenuhi tanaman semanggi berukir:

Buana Atma selaku artefak, keberadaannya telah menjadi kutukan bagi manusia yang mengetahui dan meyakini. Mereka adalah ciptaan yang tidak memiliki keterikatan waktu di bumi (kecuali hari akhir). Namun, setiap putaran masa kembali, mereka terlahir dari bentuk dan kemunculan ketaksaan fasid. Manusia hanya sebagai sarana pembawa raga yang mudah cetai.




4/11/2019


CAKRA ATMA: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019 ― ⌠selesai⌡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang