Bagian 1

504 18 0
                                    

Merah kegelapan. Awan yang nampak merah itu melingkupi alam dengan begitu apiknya. Mentari dengan sempurnanya menghilang dari permukaan bumi. Azan maghrib berkumandang, menyeru alam agar kembali menyembah sang Maha Pencipta.

"Alhamdulillah~"

Sorak kebahagiaan itu mengudara saat seorang pria berjas putih ala dokter menghampiri beberapa orang yang tengah menunggu di ruang persalinan.

"Semuanya selamet dok? Ibu dan anaknya ndak apa-apa kan? Sehat semua kan?" Tanya seorang pria berkumis tipis dengan peci dan logat jawanya yang kental.

"Alhamdulillah, ibu dan kedua anaknya sehat." Sahut si dokter dengan senyum hangat

"Dua? Anak saya kembar toh?" Timpalnya tak percaya

Pria berwajah manis teduh itu menatap kedua orangtuanya yang tersenyum haru. Senyum dibibirnya mengisyaratkan rasa bahagia luar biasa yang tak bisa digambarkan, senyum gembira seorang ayah.

"Nggih pak, anaknya dua dan cantik-cantik" dokter itu menegaskan

Hamid namanya. Si ayah baru yang tak jua berhenti menuai sabit manis dari tiap pucuk bibirnya. Rasa syukurnya tak bisa ia gambarkan lebih kecuali dengan senyum dan sedikit linangan air mata.

Namun sejenak ia menatap lagi Pak Dokter yang akan beranjak pergi.

"Tapi dok, kok saya cuma denger satu suara tangisan bayi ya?"

Dokter itu menatap Hamid dengan tatapan sedikit mendalam. Entah apa yang ada didalam fikirannya, yang jelas sebutir rasa gelisah mulai tersirat di hati Hamid.

"Kakek-nenek nya barangkali mau liat bisa masuk saja" Ujar sang dokter menoreh lagi senyum penenangnya "Pak Hamid bisa ikut saya sebentar? Ada yang mau saya bicarakan." Lanjutnya saat orangtua Hamid pergi memasuki ruang bersalin.

Dokter dengan perawakan gagah tinggi itu berjalan mendahului Hamid, membimbingnya agar bisa ikut keruangan pribadi guna membicarakan perihal menegangkan yang membuat Hamid mulai berfikir negatif.

Langkahnya nampak gemetar. Hamid terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit membuntuti si pria tua berjas dokter.

Semoga ndak ada hal aneh, semoga semuanya baik-baik saja.

●●●●●

"Silma...Silmi...~"

Matahari musim panas menyinari bumi dengan amat terik. Pepohonan diam mematung tanpa adanya semilir angin yang berhembus.

Bayi-bayi mungil yang dua belas tahun silam terlahir dengan hanya selisih lima belas menit itu, kini telah menjelma menjadi gadis-gadis cantik yang tengah beranjak remaja. Remaja yang aktif dan ceria.

Syifa yang biasa dipanggil Ummi oleh putri-putrinya nampak kelelahan saat mengejar si kembar di halaman rumah mereka yang besar. Namun Syifa tersenyum, bahkan selalu tersenyum saat memandangi kedua putrinya yang cantik serupa tanpa beda.

Sekilas keduanya nampak sama. Tapi bedanya, ukuran tubuh Silma sedikit lebih pendek dan kurus ketimbang Silmi yang nampak berisi dan tinggi. Kulit Silma-pun sedikit lebih pucat dibanding Silmi yang padahal sudah terlihat putih.

Silmi kian dipermanis dengan adanya lesung pipi dan tahi lalat kecil di pipi kirinya.

"Ayo masuk, Abi udah nungguin mau makan siang." Ucap Syifa sedikit memekik supaya terdengar

"Mbak...Ummik...ayo masuk, Umam mau makan, udah laper." Ucap seorang anak kecil yang tiba-tiba menarik baju Syifa.

Anak kecil itu Humam. Usianya tujuh tahun, lebih muda lima tahun dari kedua saudari kembarnya. Dia si bungsu yang cerewet namun menghibur.

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang