Bagian 9

146 9 0
                                    

Langit malam begitu tenang. Rembulan pucat yang menggantung ditengah malam nampak kesepian tanpa kehadiran para bintang. Kawanan awan tebal sesekali menutupi sinar redup yang mencoba menghidupkan kegelapan. Malam damai tanpa hiruk pikuk kota.

Alwi Al-Ghifari baru saja melipat sajadah biru laut begitu menyelesaikan rangkaian sholat maghribnya. Pria Bandung itu nampak santai dengan celana panjang dan kaos hitam polos yang ia kenakan. Kakinya melangkah keluar dari kamar.

Alwi berjalan pelan tanpa disadari Silmi. Mata dan bibirnya tersenyum saat mengamati sang istri yang sibuk berkutat dengan seperangkat alat dapur. Yang diamati masih asik memasak makan malam, tak sadar akan kehadiran seseorang.

"Masak apa? Wangi banget sampe bikin sholat nggak khusuk." Canda Alwi mendekat kearah Silmi.

"Sayur lodeh sama ikan goreng, plus sambel terasi."

"Kesukaan aku banget." Alwi berseru riang.

"Kan Kang Alwi yang minta." Timpal Silmi santai.

"Emang iya? Kapan aku ..."

"Waktu belanja kemaren Kang Alwi sendiri yang minta sayur lodeh, ikan goreng sama sambel terasi. Belum inget juga?" Potong Silmi masih sibuk meracik sayur.

Alwi mencoba berfikir, mengingat-ingat saat ia meminta Silmi untuk memasak makanan kesukaannya. Tak lama, benar saja, senyum kikuk itu mengembang saat ingatannya menemukan kebenaran atas ucapan Silmi.

"Hehe, aku baru inget."

"Kang Alwi tunggu aja didepan, biar Silmi yang masak."

"Biar aku bantuin."

"Ndak usah Kang, nanti bau dapur. Belajar beres-beres rumah dulu aja." Sindir Silmi bercanda.

Si manis tak menghiraukan ucapan Silmi. Pria itu malah meraih pisau dengan bawang merah ditangan. Membantu diam-diam maksudnya.

Silmi yang terlalu fokus dengan masakannya itu nampak tidak menyadari apa yang Alwi lakukan. Si bidan tentu tidak akan membiarkan pria yang tidak bisa memasak untuk memegang pisau apalagi mengiris bawang. Alwi lolos dari pengawasan sementara ini.

"Ah!" Alwi merintih.

"Ya Allah, Kang Alwi?"

Alwi berulah. Telunjuknya nampak berdarah menggantikan si bawang yang seharusnya diiris. Alwi yang tidak mengindahkan ucapan Silmi akhirnya diceramahi.

Penuh kecemasan, Silmi segera mematikan kompor. Menggenggam lengan Alwi lalu menyeret suaminya itu kearah westafel. Darah dari luka yang cukup dalam itu segera dialiri air.

Alwi hanya diam layaknya anak kecil yang dimarahi karena tidak menuruti ucapan orangtua. Matanya tak bisa berhenti mengikuti sosok Silmi yang kesana-kemari mencari obat merah. Saat si gadis kembali dengan setoples kopi hitam, Alwi lantas bingung. Lagi ngobatin luka kok bawa kopi?Mau ngopi emang? Alwi membatin.

"Kang Alwi tuh ya, kan udah dibilangin Silmi aja yang masak. Kenapa ikut-ikutan ngiris bawang coba? Kan luka jadinya." Oceh Silmi cemas.

Silmi meraih telunjuk Alwi yang berdarah. Perlahan gadis itu membubuhi bubuk kopi pada luka Alwi yang masih mengeluarkan darah. Terus diulang hingga kopi benar-benar membalut luka dan menyumbat darah.

"Makasih." Tutur Alwi saat Silmi menghembuskan nafas lega.

"Masih mau coba-coba ngiris bawang?" Omel Silmi masih dengan nada cemas.

Seutas senyum manis terbit dibibir Alwi. Mendengar ocehan Silmi justru membuat hatinya kian tenang. Entah kenapa, rasanya pria itu ingin terus terluka jika seperti ini keadaannya. Ada kebahagiaan tersendiri melihat Silmi yang mencemaskan dirinya.

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang