Bagian 13

103 9 0
                                    

"Stop."

"Masih lumayan jauh, Sil. Ini tengah malem."

Silmi tidak menjawab tapi hanya menatap Alwi, isyarat agar suaminya itu membayarkan uang pada si supir taksi.

Alwi menuruti Silmi dengan membayarkan sejumlah uang sebelum keduanya turun. Tepat setelah mereka turun ada dua orang penumpang lain yang langsung menaiki taksi tadi.

"Kang Alwi ndak liat kalo orang itu lagi sakit? Ungkap Silmi berbisik sambil menunjuk pria paruh baya berbaju biru tua.

"Sakit?"

Tak lama setelah kedua penumpang baru itu naik, Alwi tersenyum. Benar saja, salah satu dari dua orang itu meminta si pengemudi agar mengantar mereka kerumah sakit.

"Kok kamu bisa tahu?" Tanya Alwi sesaat setelah taksi yang mereka tumpangi sebelumnya kembali melaju.

"Siapapun juga bisa tahu kalo dia sakit. Kang Alwi-nya aja yang kurang peka."

"Jiwanya Ibu bidan memang beda ya?" Lagi-lagi Alwi menggoda.

Alwi menatap Silmi yang berjalan disampingnya. Ada senyum yang terlukiskan. Mata pria itu berbinar seolah dipenuhi cinta. Terlebih saat Silmi berbalik menatapnya, terlihat menggemaskan. Ada perasaan tenang sekaligus senang.

Entah sejak kapan, memandang Silmi sepertinya sudah menjadi hobi bagi Alwi. Memilik senyum manis berlesung pipi dan mata besar yang cantik seperti namanya, Huril Aini. Siapapun pasti akan betah berlama-lama menatapnya.

"Boleh aku pegang tangan kamu?" Tanya Alwi ragu.

"Bukankah sudah seharusnya?" Jawab Silmi mengulang ucapan Alwi siang tadi saat mereka di Istanbul.

Tanpa ragu Alwi segera menggenggam tangan Silmi, istrinya. Bulan yang bersinar seperti kalah indah dengan senyum bahagia keduanya.

Ditemani cahaya redup lampu jalan, dua orang yang menghabiskan akhir pekan bersama itu kembali melangkah dengan bercakap-cakap.

"Aku gak tahu sejak kapan. Tapi cuma wajah kamu yang aku lihat sekarang ini."

"Bukan Mbak Silma?" Silmi mengelak.

"Gak mudah memang ngelupain wajah Silma yang empat tahun terakhir selalu ada dalam pandangan aku. Silma memang bukan orang yang terbuka. Gak pernah cerita soal perasaan dia yang sebenernya apalagi tentang saudara kembarnya."

Silmi menyimak dalam kebisuan. Telinganya terus mendengar apa yang ingin Alwi sampaikan. Yang ia harap tidak akan melukai perasaannya.

"Mungkin ini hasil dari tekad yang kuat. Tiga bulan diawal kebersamaan kita itu merupakan saat yang sulit karena jujur, aku masih melihat Silma dalam diri kamu. Tapi seiring kebersamaan kita pula, aku sadar kalo wajah yang aku lihat bukan lagi wajah Silma, tapi kamu. Sifat, tingkah, dan cara bicara kamu yang ceria, yang berbanding terbalik sama sifat Silma, mungkin itu faktor lain yang perlahan-lahan menyingkirkan wajah Silma dari fikiran aku."

Silmi kaget karena selama dua dari lima bulan kebersamaan mereka Alwi hanya melihatnya sebagai Silma. Tapi ia tersenyum, menghentikan langkahnya lalu menghadap Alwi.

Dibawah sinar temaram lampu jalan, kini Silmi yang berbalik memegang kedua tangan Alwi.

"Dibalik setiap senyum Silmi, selalu tersimpan sebuah ketakuatan yang besar. Sebuah ketakutan besar akan kegagalan menjadi seorang Khodijah idaman. Kang, Silmi jauh dari kata sempurna. Julukan Khodijah-pun mungkin nggak akan pernah tersandangkan. Tapi Silmi ingin masuk surga Allah dengan ridho suami." Tuturnya tulus dari hati. "Sekalipun nantinya Silmi memang ndak berhasil hadir dihati Kang Alwi, tapi Silmi akan terus berusaha mencari ridho Kang Alwi sebagai seorang suami. Silmi akan berusaha, agar kelak mendapatkan gelar Khodijah sang istri idaman ... meski tanpa dicintai."

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang