Bagian 17

125 11 0
                                    

Waktu kian melaju. Menciptakan memori baru ditiap deru lajunya tanpa bisa diputar balik sekalipun keinginan kembali itu ada. Waktu akan selalu bergerak maju tanpa tahu siapa yang akan tersakiti oleh kisah dibalik setiap detak misterinya.

Satu tahun berat yang dialami setiap manusia tidak akan terus berlarut perih jikalau hati menyimpan keyakinan kepada Sang Ilahi. Hidup senantiasa penuh ujian yang jauh dari kata dambaan, namun ujian pula yang akan menjadikan para pelakunya mulia kalau tetap bergantung pada Allah semata.

Seperti Rose. Satu tahun belakangan hidupnya memang sedang berada dalam fase menyakitkan. Ditinggal Ibu yang selama ini ia rindu, disusul kepergian Ayahnya, lalu mencicipi pahitnya cinta bertepuk sebelah tangan sebab Alwi yang lebih memilih setia kepada Silmi.

Akan tetapi Rose berhasil bangkit dengan meneguhkan keyakinan hatinya. Menghamba kepada Allah Yang Maha Kuasa hingga akhirnya melabuhkan cinta pada Husin teman masa kecilnya. Teman lama yang akan menjadi teman hidup selamanya.

"Subhanallah, cantik sekali. Merona merah seperti Aisyah putri Abu Bakar." Puji Bibi Fatma yang menatap haru ponakan tercintanya.

Hari ini resepsi pernikahan Rose dan Husain. Sederhana namun tetap indah sebab diadakan diluar ruangan. Konsepnya cantik, diatas rerumputan berlatar belakang laut biru. Tak banyak tamu undangan. Sekedar kerabat dan beberapa teman dekat.

"Terima kasih sudah menjadi Bibi dan Ibu untuk Aisyah." Balas Rose yang hampir menitikan air mata.

Gaun putih yang menjuntai panjang itu membalut cantik tubuh ramping Rose. Ada kain putih tipis yang melapisi kerudung bermahkota diatas kepala si mempelai wanita. Pancaran cantiknya bukan main. Wajah barat yang dipoles make up lembut itu membuat setiap mata yang memandangnya tak lupa melempar pujian. Makhluk Allah yang cantik dengan hijabnya.

"Husain, tolong jaga Aisyah. Jangan sakiti dia apalagi sampai berpisah. Barakallah, semoga Allah memberkahi pernikahan kalian anak-anakku."

Sudut mata Rose nyaris saja menjatuhkan air mata jika tidak segera dihapus oleh Bibi Fatma. Bibi yang sudah dianggap seperti Ibu itu lantas meninggalkan pelaminan setelah mencium pipi kemenakannya. Tak ingin menciptakan kesedihan yang lebih lama.

Kedua orangtua Husain yang menyaksikan hanya ikut menuai senyum. Bahagia melihat putra bungsu mereka berhasil melabuhkan hati kepada orang yang dicintanya.

"Selamat dr.Husain, semoga Allah memberkahi pernikahan kalian." Ucap Zaki yang turut hadir meramaikan tamu undangan.

Zaki tak sendiri. Ada seorang gadis manis yang berdiri disampingnya. Gadis itu tak lain ialah kekasih hati Zaki. Apoteker Indonesia yang bekerja disalah satu apotek Ankara. Masih dalam tahap pendekatan, tapi berjalan menuju arah keseriusan.

Kedua mempelai nampak begitu bahagia. Lengkung senyum keduanya tak jua nampak luntur. Rose yang berdiri disamping Husain terlihat begitu menikmati setiap wajah tamu yang hadir. Gadis itu berdiri menggandeng suaminya dengan tangan bercincin yang melingkar manis dijarinya. Cincin pernikahan.

Berbicara mengenai cincin pernikahan, Silmi yang mengenakan gaun berwarna soft pink itu nampak mengelus jari manisnya yang sepi tanpa cincin. Wajah yang dipercantik make up sederhana itu tak kalah cantiknya dengan pengantin wanita. Terutama saat gadis itu memandang dari kejauhan dengan lasung pipinya yang turut mempermanis. Senyum yang menutup keinginan untuk juga memakai cincin pernikahan.

Silmi mengalihkan pandang matanya. Gadis cantik itu menatap suaminya yang tampan dengan jas hitam. Tampilan baru yang membuat Silmi semakin mencintai Alwi. Tapi memorinya berkelana kemasa pernikahan. Masa dimana Alwi tak memungkinkan untuk menyematkan cincin pernikahan kepada Silmi. Mengingat kondisi pernikahan mereka yang kala itu diambang ketegangan sebab kepergian Silma. Satu tahun yang tidak terasa.

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang