Bagian 4

156 10 0
                                    

Malam sunyi. Angin yang berhembus kencang diluar sana menambah suasana dingin tak berkesudahan semenjak kepergian Silma.

Rembulan pucat menggantung diangkasa. Temaramnya sinar bulan sukses terhalang oleh barisan tebal awan hitam. Nampaknya langit akan memuntahkan air matanya.

Tiga jam lalu rumah ini masih ramai oleh saudara dan tetangga yang menghadiri tujuh harian Silma. Gema Tahlil masih membekas ditelinga. Tujuh hari telah terlewat seperginya anak tertua.

Pukul satu dini hari. Lampu-lampu dibeberapa ruangan sudah kembali dimatikan. Silmi baru saja menyelesaikan pekerjaan terakhirnya seorang diri. Merapihkan dapur.

"Mbak?" Panggil Humam saat Silmi duduk sendiri diteras belakang. Menikmati hembusan angin.

"Belum tidur kamu, Mam? Ummik gimana? Sudah tidur?"

"Sampun Mbak. Tapi kayaknya Ummik ndak enak badan. Tadi Humam liat wajah Ummik kayak orang kesakitan, pusing kayaknya Mbak. Abi masih di pasholatan, tapi...Humam ndak liat Mas Alwi."

Silmi tersenyum tipis seraya mengangguk. Gadis itu sendiri sebenarnya tidak dalam kondisi fit. Kesehatannya menurun, hanya saja ia tak menampakkan sakitnya itu. Ada kantung mata lelah yang nampak menghias wajahnya.

Silmi masih jelas terpukul atas kepergian saudari tercintanya. Silma Ainun Najwa.

"Mbak, tidur sana. Humam ndak mau kalo Mbak Silmi jadi sakit juga. Humam tahu, sebenernya Mbak ndak pernah tidur kan tiap malam? Hampir tiap malem ini Humam liat Mbak Silmi selalu ada di pasolatan."

Tidak salah ucapan Humam. Setiap malam Silmi memang hampir tidak pernah tidur. Tiap malam ia selalu menghampiri pasolatan, tempat solat yang ia gunakan untuk mengadu kepada penciptanya. Memanjatkan doa disertai derai tangis dalam keheningan.

Ikhlas. Gadis itu terus belajar untuk mengikhlaskan Silma. Namun disisi lain, ia juga menangisi kehidupannya. Menangisi kenyataan jika ia menikahi pria yang dicintai dan mencintai kakaknya.

"Mbak terus mencoba, bahkan Mbak sudah mengikhlaskan kepergian Mbak Silma. Tapi permintaan terakhir Mbak Silma, itu yang Mbak fikirkan. Permintaan Mbak Silma terlalu sulit." Jelas Silmi dengan suara pelan.

Silmi menyandarkan kepalanya dibahu Humam. Gadis itu memejamkan matanya. Mencari ketenangan agar hilang rasa sedih yang terus mengganggu.

"Mbak kan sudah nikah? Apalagi yang sulit, Mbak?" Tanya Humam mengernyitkan alis.

"Menjadi Fatimah dan Khodijah."

Humam tersenyum lembut. Pemuda itu mengangkat kepala Silmi dari bahunya. Memegang kedua pundak kakaknya lalu kembali tersenyum.

"Humam percaya sama Mbak Silma. Bukankah suatu amanah diberikan kepada orang yang terpercaya? Adanya permintaan ini berarti Mbak Silma yakin, kalo Mbak Silmi pasti bisa mewujudkannya."

Ucapannya dewasa. Sikap remajanya yang konyol entah pergi kemana. Pria itu mencoba menjadi obat penenang untuk kakaknya.

Setidaknya Humam ingin menjadi teman curahan hati pengganti ketiadaan Silma. Humam ingin melakukannya meski ia bukan seorang wanita yang lebih memahami perasaan Silmi. Namun setidaknya, ia mengerti bagaimana kehilangannya Silmi atas kepergian Silma yang sudah menjadi belahan jiwanya.

"Mbak terus mencoba menjadi Fatimah yang terbaik untuk Ummik dan Abi. Tapi Khodijah? Bagaimana bisa Mbak menjadi Khodijah disaat wanita yang dicintai Kang Alwi adalah Mbak Silma? Wanita dengan wajah yang persis sama tapi dengan pribadi yang sesungguhnya berbeda."

Humam tak bisa bicara. Masalah hati bukanlah hal yang bisa ia atasi. Silmi menegakkan punggung. Gadis itu tersenyum kecil seraya mengacak pucuk rambut Humam.

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang