Bagian 15

101 10 2
                                    

Alwi menghembuskan nafas berat. Namun pria itu masih bisa menghirup oksigen dengan tenang begitu mendengar pemaparan dokter yang mengoperasi Silmi. Beruntung keselamatan masih memihak walau hal buruk masih bisa terjadi didetik berikutnya.

"Alhamdulillah. Berkat dr. Husain yang melakukan pertolongan pertama saat kecelakaan terjadi, nyawa pasien masih bisa diselamatkan." Jelas pria paruh baya dengan jas putih khas dokternya. "Menekan nadi pada leher dibawah telinga juga pertolongan darurat yang sangat menolong untuk luka dikepala bagian belakang."

Kembali Alwi membuang dengan berat nafas ketegangannya. Masih begitu berat baginya untuk sekedar menarik ujung bibir membentuk senyum. Dahi pusing itu berkerut, hampir menyatukan kedua alisnya.

"Mengingat tabrakannya, bukan tidak mungkin jika pasien akan mengalami gegar otak atau kemungkinan lainnya seperti pecahnya pembuluh darah. Kita hanya bisa melihat kondisi selanjutnya setelah pasien siuman." Imbuh dokter berperawakan khas Turki itu.

Dokter paruh baya itu segera berlalu usai menyampaikan keadaan Silmi yang kini telah dipindah alihkan keruang rawat inap. Alwi beranjak dengan lututnya yang masih bergetar lemas. Benaknya tak jernih bak tertusuk ribuan jarum. Jemarinya lantas menyeka ujung mata yang berair, tak siap menjumpai Silmi yang koma.

Langkah kakinya terhenti. Alwi mengepalkan tangan menguatkan hati. Sekelebat bayangan di Mesir menyeruak menghantuinya. Mengulang memori kerapuhannya saat memasuki ruang rawat Silma yang kala itu menghembuskan seluruh nafas kehidupannya.

Alwi nampak sedikit trauma.

Husain dan Rose yang duduk ber-infus dikursi roda sudah ada disana sejak Alwi menemui dokter. Rose juga ikut dirawat mengingat kondisinya yang sangat tidak sehat.

"I'm sorry. Maafin aku, Al. Aku sadar semua ini salah aku." Ucap Rose penuh sesal.

Mata sembab Alwi masih menatap sang pujaan hati yang terbaring tak sadarkan diri. Hidungnya dibantu selang pernafasan, tangannya diinfus cairan juga darah. Alwi mengusap kepala Silmi yang dibalut perban. Hatinya sakit mendapati Silmi yang koma. Jiwanya lemah berurai tangis.

"Aku kalut. Aku bersalah, Al." Rose kembali meminta maaf.

Rose diliputi rasa bersalah yang amat besar. Entah bagaimana ia menembus dosanya pada Silmi yang belum ia kenal. Tak tahu bagaimana nanti menghadapi Alwi jika sesuatu yang buruk sampai terjadi kepada Silmi. Rose bersedih, bersalah. Gadis berwajah barat itu merasa terbebani.

Sepertiga malam. Purnama menghias cerah seorang diri. Menerangkan malam, namun tampak kesepian. Bersedih hati tanpa ada yang menemani. Malam berangin, menghembus kesunyian setelah kepergian Husain dan Rose.

Alwi menunaikan tahajudnya diruang rawat Silmi yang tak kunjung membuka mata. Hanya bising alat medis yang menemani sunyi malamnya. Monitor jantung terus menampakan pergerakan denyut Silmi yang dihiasi banyak kabel medis penunjang kehidupan. Juga tabung besar yang berisi ribuan volume oksigen pernafasan.

Lama ia bersimpuh mengangkat tangan, memohon doa. Selepas itu Alwi duduk disamping Silmi. Meraih lalu menggenggam tangan pucat sang istri yang terdapat goresan luka. Air matanya jatuh tanpa aba-aba. Hatinya terluka.

Alwi membenamkan wajah disamping tubuh Silmi. Dalam hatinya, pria itu terus merapalkan doa. Tak henti-hentinya memohon pinta. Bertutur tulus untuk kesembuhan istrinya yang baru ia cinta. Alwi rapuh tanpa tempat berlabuh.

"Ya Allah, engkau Maha Mengetahui apa yang tersirat dalam hati hamba. Selamatkan Silmi, sembuhkan wahai Rabbi ..."

●●●●●

Mentari bersemi dari ufuk timur. Belum sempurna betul, masih mencoret-coret langit abstrak dengan berkas cahaya paginya. Bentang langit  fajar yang apik. Penuh harap seiring meningginya cercah sinar si bola api.

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang