Bagian 5

167 8 0
                                    

"Jadi, semua itu bener?"

Silmi mengangguk, membenarkan tuduhan Dewi mengenai cerita pernikahannya.

Dewi yang mendapat pembenaran dari si-empunya kisah, sontak terlonjak kaget. Gadis itu tak menyangka jika pernikahan mendadak itu benar-benar terjadi.

"Terus suamimu itu pergi lagi?" tanya Dewi yang kembali dibenarkan oleh Silmi. "Lah kamu ndak dapet nafkah lahir batin dong?"

Silmi menarik ujung bibirnya, membentuk sebuah senyum kecil.

"Aku ndak nuntut apa-apa dari Kang Alwi. Lagipula kita sama-sama butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. Aku juga ndak mau menghancurkan masa depan yang sudah dia rencanakan. Kita butuh proses, Wi."

"Tapi Sil, pernikahan tanpa cinta ... apa bisa kalian membangun rumah tangga tanpa cinta?"

"Banyak pepatah mengatakan kalau cinta akan tumbuh dengan seiring waktu berjalan. Mungkin kita hanya tinggal menunggu waktu seraya usaha dan doa."

Dewi memalingkan wajah sebentar. Ia masih tak habis fikir dengan pernikahan mendadak yang terjadi pada teman seperjuangannya itu. Dewi tak faham atas keputusan Silmi yang menurutnya kurang matang difikirkan.

"Sil?"

"Hmm?"

"Apa kamu ndak mikir bagaimana sulitnya Kang Alwi menjalankan rumah tangga bersama kamu?"

Silmi mengerutkan dahi. Gadis itu nampaknya mengerti akan arah pembicaraan Dewi. Silmi ingin menguatkan hati atas keputusannya untuk mencintai Alwi, dan ia tak ingin mendengar hal yang kurang mengenakan.

"Wi-"

"Fikirkan Kang Alwi yang harus hidup  dengan orang lain, namun berwajah sama persis dengan orang yang dia cintai. Bagaimana perasaan Kang Alwi saat menatap kamu yang memiliki wajah seperti Mbak Silma? Apa kamu ndak mikir kesana, Sil?"

Silmi tertegun mendengar lontaran kata yang diucap oleh Dewi. Ia tahu betul bagaimana perasaan Alwi sekalipun tidak langsung merasakan. Silmi memang berfikir ke arah sana, tapi tak begitu men-detail akan perasaan terdalam Alwi.

"Wi, aku ...."

"Bagaimana jika yang dipandang memang kamu, tapi hatinya menganggap kamu sebagai Mbak Silma?" celetuk Dewi penuh emosi. "Bagaimana kalau dia tersenyum dihadapan kamu sedangkan mata dan hatinya terpancar hanya untuk Mbak Silma? Fikirkan lebih jauh Sil."

Silmi benar-benar terketuk atas ucapan Dewi. Apa yang dikatakan Dewi sebenarnya cukup menyakitkan, tapi ia tak memungkiri jika semua itu bisa saja terjadi. Bisa saja yang berinteraksi dengan Alwi memanglah dirinya tapi dianggap sebagai kembarannya.

Silmi nyaris meneteskan air mata. Gadis itu menyadari lagi jika memang benar yang dicintai Alwi adalah Silma, bukan dirinya. Sakit. Seketika sakit yang dirasa mengingat ucapan Dewi yang kejam namun menyadarkan.

"Maaf, Sil ... aku ndak maksud apa-apa. Aku hanya ingin kamu bahagia. Bahagia menjalani kehidupan rumah tanggamu bersama orang yang kamu cintai dan dia pun mencintai kamu."

Silmi butuh berfikir kembali. Ingin rasanya ia menangis keras untuk menjernihkan hati dan fikirannya yang amat sangat kusut nan kelabu.

Hatinya goyah kembali. Jika difikir ulang, ia sendiri pun bertanya-tanya dalam hati. Keputusannya menikah mungkin semata karena Silma. Karena kecintaanya kepada Silma hingga ia ingin mematuhi semua permintaan kembarannya itu, terlebih permintaan terakhir.

Ucapan Dewi barusan nampaknya terus mengusik keresahan didada.

Benar. Bagaimana jika yang kemarin dan esok kemudian ... yang dipandang oleh  Kang Alwi adalah Mbak Silma, bukan Silmi?

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang