Bagian 10

110 11 0
                                    

Dihari yang indah, ditemani cuaca cerah, sambaran petir tiba-tiba mengoyak sukma. Buliran tangis perlahan menyapu pipi. Kenyataan yang baru saja Rose terima dari ponselnya nyatanya tak seindah praduga. Ia bisa saja tak terima, tapi suara dari seberang telepon sana tak bisa ia pungkiri memanglah milik kerabatnya.

Tiga belas tahun. Butuh bertahun-tahun bagi seorang Rose untuk menyelesaikan puzzle hatinya yang hancur berkeping-keping semenjak perceraian kedua orangtuanya. Hari demi hari ia mencoba menyatukan kembali bongkah puzzle yang tercerai-berai melukai jiwa. Puzzle itu nyaris sempurna jika saja ia meletakan satu bagian lagi yang merupakan pusatnya. Tapi sepertinya puzzle yang ia susun itu tidak akan bisa utuh kembali. Sebab pelengkapnya, kini pergi. Pergi jauh dan tak akan pernah kembali.

Alwi terus memperhatikan Rose yang diam sepanjang jalan. Lalu saat keduanya tiba didepan rumah yang Alwi yakini sebagai rumah Ibunya Rose, gadis itu berhenti. Kaki lemasnya melangkah mundur. Air matanya-pun kembali jatuh menghujam pipi mulus yang sudah lama memerah.

Rose bergetar. Kenyataan pahit ini terlalu menguncang jiwa. Tubuhnya lemas berpeluh. Gadis itu tidak siap dengan apa yang bakal ia lihat.

"Come in." Ajak Alwi meyakinkan.

"I'm not ready, i'm scared." Jawabnya dengan suara parau.

"Aisyah!"

Refleks Alwi dan Rose menoleh saat seorang wanita paruh baya menghampiri. Ada kantung mata panda yang melingkar diarea mata sembabnya. Wajahnya berduka. Ia pasti seorang keluarga.

"Teyze." Balas Rose dengan suara lemah.

Wanita paruh baya yang dipanggil bibi itu seketika memeluk tubuh Rose. Tangis keduanya pecah setelah bertahun-tahun tak jumpa. Tapi tangis kali ini tak bisa dianggap sebagai tangis haru karena kembali bertemu, melainkan tangis sendu yang menyimpan duka pilu.

Alwi mengekor saat Rose bersama bibinya memasuki rumah duka. Diatas kasur, didalam kamar besar yang dipenuhi oleh keluarga, saat itulah Rose merasakan pukulan hebat dijantungnya.

Dipandangnya sosok sang Ibu yang sudah terbujur lemah tanpa ruh dibalik jasadnya. Kedua kelopak mata di wajah tercinta itu sudah terkatup. Bukan menutup mata untuk sekejap atau beberapa menit kedepan, tapi selamanya. Allah mengambil kembali makhluknya.

Rose tak bisa mengendalikan diri. Emosi kesedihannya meluap tak dapat dibendung. Gadis itu menangis sejadi-jadinya sembari memeluk tubuh membeku sang Ibu. Semua orang yang menyaksikan kembali menitihkan air mata, termasuk Bibi Fatma yang menelepon Rose.

"Ya Allah." Rintih Alwi yang ikut emosi menyaksikan bagaimana sedihnya perasaan Rose.

Alwi kembali mengingat bagaimana terguncangnya ia karena kepergian Silma kala itu. Begitupula Silmi yang menangis sejadi-jadinya karena kepergian Silma. Tapi siapapun itu pasti akan sangat rapuh jika berkaitan dengan kepergiaan sosok tercinta.

Rose tak kuat. Batinnya memberontak tak terima. Bertahun-tahun usahanya untuk kembali ke Turki harus berbuah duka lara. Saat keperihannya tak bisa ia pendam lagi, tubuh itu roboh. Rose pingsan tak sadarkan diri.

"Ini." Ucap Bibi Fatma seraya menyerahkan sebuah kain. "Tolong berikan kepada Aisyah saat dia sudah siap dan bisa menjaganya."

"Ini ..."

"Kerudung. Ibunya ingin sekali melihat putrinya memakai kerudung dan menjadi muslimah sejati. Tolong bujuk Aisy ..." Bibi Fatma berhenti sejenak. "Rose. Tolong bujuk Rose."

Alwi menerima kerudung pemberian Bibi Fatma. Wajah sembabnya tersenyum kecil. Tatapan sendu itu menaruh harap besar pada Alwi yang nampak ragu.

Bukan perkara mudah meyakinkan seseorang. Terlebih seorang gadis dengan budaya barat yang kental. Alwi tak bisa menjanjikan permintaan berat ini, tapi mata sendu Bibi Fatma membuatnya tak kuasa menolak.

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang