Bagian 6

140 10 0
                                    

Pagi yang kelabu. Barisan awan tebal lagi hitam itu bertengger mantap menghalangi masuknya sinar matahari. Langit pagi yang seharusnya ceria berubah suram tatkala suara guntur ikut menyertai awan gelap. Rinai gerimis perlahan mengguyur alam.

Silmi bertopang dagu dijendela kamar sembari merasakan hawa sejuk cipratan hujan. Mata yang mengatup itu membiarkan benak bebasnya berkelana. Si bidan tampil cantik dengan long dress berwarna soft pink yang membalut. Wajahnya cantik bersih, tidak menampakan kesedihan.

"Silmi, sudah siap?" Panggil Syifa yang juga berpenampilan rapih.

"Sampun, Ummik."

Silmi menyambar tas tangannya dari atas kasur, melangkah mantap menghampiri sang Ibunda yang menunggu diambang pintu kamar.

Didalam mobil, Silmi tak banyak mengeluarkan suara. Matanya asyik menatap rintik-rintik hujan yang mulai mereda. Suara hujan cukup menenangkan, meski disamping ia duduk ada Humam yang tak juga usai berceloteh mengenai teman-teman kelasnya.

Setiba dirumah hajat, hujan deras telah berubah menjadi gerimis halus menyejukkan. Secercah sinar mentari ikut menyembul seiring kepergian awan kelabu. Minggu nampaknya akan kembali cerah.

"Silmi? Ya Allah, cantiknya." Puji salah seorang kerabat yang lama tak bersua. "Sehat nduk?"

"Alhamdullilah sehat."

"Mana suamimu? Katanya sudah menikah?"

Syifa yang berdiri disamping Silmi tersenyum dengan cerah. Menatap putrinya dengan lembut selembut ia menjawab pertanyaan yang diajukan untuk Silmi.

"Di Turki. Lanjut S2."

"Subhanallah. Beruntung yo kamu nduk, dapet suami yang berpendidikan tinggi."

"Nggih." Balas Silmi tersenyum semampunya.

"Silmi, nemuin Bukde dulu yuk. Nanti dicariin lagi."

Syifa segera beranjak bersama Silmi. Ia tahu, topik pernikahan ini masih begitu sensitif bagi putrinya itu. Syifa ingin, sejenak saja Silmi melupakan kegundahan hatinya. Menikmati lagi senyum ditengah keramaian acara keluarga dan bercengkrama bersama. Syifa merindukan sosok Silmi yang ceria.

Mentari kian meninggi saat senyum Silmi yang menghilang itu nampak kembali. Gadis cantik itu nampak bahagia berkumpul lagi dengan saudara-saudara jauhnya yang sebaya. Membahas masa muda memang indah, seindah masa muda itu tercipta.

Beberapa menit yang dilalui bersama canda tawa itu nampaknya sukses menghilangkan perasaan gusar Silmi.

Saat para tamu menikmati jamuan makan siang, Silmi sengaja memisahkan diri. Belum bernafsu untuk menyantap makan siang. Gadis itu berjalan keluar, menyusuri jalan perumahan yang sepi ditemani angin dan rasa sunyi.

"Silmi?"

Silmi berbalik saat seseorang memangil namanya.

"Mas Zaki?"

"Bisa bicara sebentar?" Zaki berjalan pelan mendekati Silmi. "Pengantin prianya temen aku sekolah dulu." Ucap Zaki seketika menjawab rasa penasaran Silmi akan kehadirannya.

"Ada apa, Mas?"

"Maafin aku Sil. Aku sadar aku berlebihan waktu itu. Gak seharusnya aku ngomong sekasar itu dan, aku tahu aku nyakitin perasaan kamu."

"Mas Zaki ndak salah kok. Siapapun yang ada diposisi Mas Zaki memang sudah sepantasnya marah dan kecewa. Silmi yang seharusnya minta maaf karena Silmi yang sudah nyakitin hatinya Mas Zaki. Kondisi yang memaksa dan kita tidak bisa menolak. Maaf, Mas."

Khodijah UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang