VIII

40.2K 4.6K 658
                                        









Ada kalanya, kau harus meruntuhkan dinding besar penghalang segalanya yang disebut keegoisan. Ada saatnya kau harus meluluhkan segala kekeras kepalaanmu terhadap segalanya. Ada saat dimana kau harus membukakan hati, menyelami perasaan sendiri dan mendengar jeritan hati kecilmu. Ada dimana saat kau menutup telinga tidak ingin mendengarkan orang lain dan membuat dirimu emosi pada mereka, maka bukalah telingamu dengarkan mereka dengan seksama, pilah yang baik dan tinggalkan yang buruk. Kau tak akan melakukannya secara langsung, namun harus bertahap. Selami dulu perasaanmu, cobalah memahami isi hatimu dan dengarkan teriakan hati kecilmu yang menggema dalam pikiranmu.

.

Jeno menghela nafas, kali ini ia tak bisa fokus mengerjakan laporan yang menumpuk dan harus segera di tandatangani. Kedatangan Taeyong dan Jisung yang menemui sang ayah diruangannya benar-benar mengalihkan atensi Jeno.  Tak ia sangka, tawa si mungil membuat dadanya benar-benar sesak. Hati kecilnya berteriak, mendesak dirinya untuk mengikuti arahan si hati kecil, mengejar Taeyong dan meraih putranya, memeluknya seperti yang seharusnya.

"Ji-" Jeno terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, "-sung." Tubuhnya bergetar.

Matanya mendadak  terasa perih entah karena apa, ada sesuatu yang bergemuruh dalam dadanya, mendesak dirinya untuk segera beranjak dari tempat  duduknya dan menghampiri Taeyong beserta sang ayah yang pergi menuju cafetaria gedung perusahaan keluarganya.



.





Jungwoo mengulurkan tangannya yang memegang secangkir kopi hangat ke hadapan Jaemin, pemuda manis itu menunggunya untuk makan siang karena Taeyong menculik Jisung lagi hari ini. Dia jadi merasa kesepian dan berinisiatif untuk menemui Jungwoo.

"Doyoung hyung akan segera kemari." Jungwoo kemudian mulai membahas tentang hal-hal apa yang disukai Jisung dan dengan polosnya Jaemin menjawab jika Jisung masih bayi yang sering menangis hanya karena buang air.

Jungwoo tergelak,  Jaemin benar-benar sangat polos. "Maksudku, apakah ia suka saat kau menyanyikan lagu atau memanggil namanya." Jungwoo tertawa keras melihat wajah Jaemin yang kebingungan, tampang pemuda manis itu terlihat begitu menggemaskan dengan kening berkerut.

"Dengarkan, misalkan kau memanggilnya Jisung-i. Apakah ia menatap matamu seperti menunjukkan ketertarikan khas seorang bayi?" Jaemin mengangguk, ia ingat putra mungilnya itu menatapnya dengan mata berbinar saat ia memanggil namanya. Itu sungguh menggemaskan, ingatkan Jaemin untuk menciumi pipi kenyal putranya nanti setelah pulang dari jalan-jalan dengan Taeyong; pamannya secara biologis.

"Ah, Taeyong hyung sih. Kenapa harus menculik Jisung lagi hari ini." Jungwoo mempoutkan bibirnya, menatap meja gemas seolah disana terpampang wajah Taeyong yang minta di cubit.

"Katanya tuan Lee ingin bertemu Jisung lagi, jadi ku berikan ijin Taeyong hyung membawa Jisung lagi." Jaemin menyesap kopi hangat di meja setelahnya, menatap ke sekeliling.

"Yah, bagaimanapun tuan Lee adalah kakek biologis Jisung."  Jungwoo mengendikkan bahunya, ia memaklumi hal itu. Kakek mana yang akan mengabaikan cucu dari keturunannya sendiri. Tidak ada kakek yang tega mengabaikan sang cucu, apalagi yang satu ini bahkan tidak diakui ayah biologisnya sendiri.



.



Gowon mengerutkan keningnya, menatap bingung ke arah Siyeon yang terlihat kesal menatap ponselnya. "Huh..." ia menghela nafas kasar dan mengetuk-ngetukkan jarinya ke atas meja.

"Pasti Jeno lagi?" Tebak Gowon tepat sasaran,  Siyeon mengangguk dengan wajah cemberut kesal.

"Aku sudah benar-benar mengesampingkan perasaanku padanya. Sesulit itukah dia membuka hati untuk puteranya?" Siyeon menghela nafas kesal berkali-kali, bukannya ia kasihan dengan Jeno malah terlintas pemikiran untuk mencakar wajah Jeno dan membuat pria itu terlihat buruk rupa sekalian agar menyesal bseumur hidup karena tidak mendengarkan perkataannya.

"Kurasa dia hanya belum menyadarinya." Gowon berkomentar, duduk di sofa tak jauh dari posisi Siyeon berada dan menatap ponselnya dengan malas.

"Haruskah dia mendapat karma dulu agar menyesal? Benar-benar mengesalkan." Siyeon bahkan gemas ingin menendang wajah Jeno menggunakan kakinya, well ternyata perasaan cintanya selama ini telah membutakannya dari sifat Jeno yang tidak bertanggung jawab itu. Beruntung ia membatalkan pernikahannya. Bagaimana nasib Jaemin jika menikah dengan pria seperti Jeno? Siyeon pening memikirkannya.

"Terkadang jika seorang Lee Jeno bodoh, seperti saat inilah dirinya. Egois." Gowon mengangkat ponselnya, menatap layar dengan malas untuk yang kesekian kalinya.

"Aku lupa kau berteman dengan Jeno." Siyeon menepuk jidatnya, lupa jika ia bahkan tidak sengaja mengenal Jeno dari sepupunya ini yang berteman dengan Jeno dan berada di kelas yang sama dengan pria egois itu, dulu.

"Kemana saja kau!" Cibir Gowon sembari melempar ponselnya ke sofa dan memijit keningnya.



.




Jeno membuka pintu ruangan sang ayah dengan gemetar, ada perasaan cemas tiba-tiba melanda hatinya. Setelah pintu ia buka, ada  Jisung disana yang tengah meminum susu dalam botolnya, dan Taeyong yang menatap kaget kearahnya.

"Boleh aku masuk, ayah?" Tanyanya gugup, apalagi saat Taeyong menatapnya aneh.

"Masuklah." Tuan Lee tersenyum ramah pada si bungsu seperti biasa yang ia lakukan. Ia tak pernah marah pada sosok si bungsu,  hanya menyayangkan sifatnya yang membuat ia dan istrinya naik darah. Bahkan Taeyong hampir mengamuk karena ulahnya dan putra keduanya yang marah-marah karena sifat si bungsu yang egois dan keras kepala.

"Aku-" tiba-tiba lidahnya terasa kelu. Ada sekelebat perasaan aneh ketika matanya bertemu dengan tatapan Jisung yang menatapnya sambil menghabiskan sisa susu dalam botolnya. Getaran dihatinya begitu keras, seolah berusaha menyadarkannya. Meneriakkan jika bayi itu adalah putranya, Jeno harusnya menyadari reaksi tubuhnya yang gemetar karena itu.

"Kau ingin menggendongnya?" Taeyong menatap Jeno dengan kening berkerut, melihat si bungsu yang sedikit gemetar membuatnya menyadari sesuatu. Seegois apapun Jeno, ia tetap tak akan bisa mengabaikan buah hatinya sendiri.

Tanpa banyak bicara Taeyong menyerahkan Jisung ke arah Jeno, membiarkan si bungsu membiasakan dirinya dan menggendong Jisung, menatap wajah Jisung dengan seksama dan menunduk dalam menatap wajah Jisung yang menatap tepat kearah wajahnya.

Terasa panas berada di sekeliling pelupuk  matanya, pandangannya memburam tiba-tiba. Setetes air terjatuh ke wajah Jisung, dan bayi mungil itu mengerjap menatapnya. Ia menangis pada anaknya sendiri. Jisung adalah satu-satunya titik kelemahannya yang ia temukan secara nyata pada dirinya.

"Hiks..." Taeyong melirik kearah Jeno yang berdiri menghadap kearah jendela besar dengan Jisung ia dekap erat. Untuk pertama kalinya tuan Lee dan Taeyong tersentuh menonton sebuah adegan, dimana Jeno yang terisak mengecup pipi putranya untuk pertama kalinya dan menyebut dirinya sebagai seorang ayah.

"Ini ayah, nak."

Dan tuan Lee beserta Taeyong terharu mendengarnya, ah... harusnya ia bisa mengabadikan moment dimana Jeno menangis. Tapi, ini bukan saat yang tepat untuk hal itu. Karena Jeno tengah melepas rindu pada sang buah hati, dan itu adalah moment yang begitu hangat.

"Jisungie, ini ayah." Jeno melirik wajah putranya yang menatapnya berbinar ada rasa hangat menjalar di seluruh tubuhnya. Entahlah apa itu, tapi rasanya benar-benar menyenangkan.

"Ayah merindukanmu." Jeno mengecup kening bayi mungilnya dan tersenyum penuh arti pada si mungil. Mungkin, ia harus mencoba untuk membuka hatinya seperti kata Siyeon, tak ada salahnya kan ia belajar menerima Jaemin.



.




.






To Be Continue....

Duhh gaje lgi....

Cover  Up ✔[Nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang