ISTRI BOROS
Selama sepuluh tahun pernikahan, bisa dihitung jari berapa kali kusantap makanan yang dimasak istriku. Itupun hanya membeli seafood lalu digoreng seadanya. Kalaupun dibumbu, ia hanya menggunakan bumbu instan yang dibeli di supermarket. Bukan hanya itu, hampir sepulang kerja dia tidak di rumah.
Kami belum dikaruniai anak, jadi mungkin itu alasannya tak betah sendirian saat aku tengah bekerja di kantor. Sehingga hampir setiap bulan gajiku yang dua puluh juta tidak cukup untuk dipakai berfoya-foya.
Kami punya dua orang pembantu. Satunya untuk membantu memasak dan satunya membersihkan rumah serta mencuci pakaian. Jadi bisa dikatakan istriku Risma hidup dengan sangat layak.
Kadang iri dengan istri saudara atau rekan-rekan kerjaku. Walaupun gaji seadanya, tapi raut wajahnya tak nampak kesusahan. Setiap hari dibuatkan bekal untuk dibawa ke kantor. Sederhana memang, tapi sangat kuidamkan.
Tak ada yang bisa kusesali dari kejadian ini. Aku sendirilah yang memilih untuk menikahi gadis dari garis keturunan konglomerat. Gaji yang fantastis di mata orang-orang, masih sering dikeluhkan olehnya.
"Mas, harusnya kah cari sampingan lain biar hidup kita bisa lebih baik lagi. Tidak malu dengan keluarga-keluarga lain. Setiap acara arisan, bajuku yang paling kuno" ucapnya
"Kuno? Baju sepotong begitu harga lima juta masih kuno?" tanyaku terheran-heran. Kalau yang begini kuno, bagaimana yang keren. Astaga.
"Iya, kuno. Baju kakak ipar dua puluh juta. Belum berlian, belum jam tangan, sendal, sepatu, dan masih banyak lagi barang mewah yang mereka pakai.
"Kalau kau tidak setuju, jangan salahkan aku kalau lelaki di luar sana ku beri celah untuk merusak rumah tangga kita" timpalnya.
"Istigfar, Mah!" jawabku.
Aku begitu mencintainya, tapi kalau terus-terusan begini, salahkah aku jika menaruh simpatik pada teman kantorku Anita? Dia perempuan yang sangat sederhana. Persis impianku di kala muda. Hanya jodoh yang mengantsrkanku bertemu Risma.
Setiap hari pakaiannya begitu sejuk dipandang mata. Tak ada blink-blink yang membuat mata rusak.
Aku terus-terusan beristigfar tiap kali perasaan itu bergejolak. Kucoba meyakinkan hati bahwa Rismalah satu-satunya perempuan yang ingin kutemui di surga nanti. Walau tak kunafikkan, Anita jauh lebih baik dari Risma.
"Bukannya kau sudah berjanji akan menafkahiku lahir dan batin? Pernyataan yang selalu dilontarkan setiap inginnya tidak diiyakan.
"Baiklah, mungkin aku harus buka bisnis agar bisa mendapat penghasilan tambahan. Tapi bolehkan kupinjam uang simpanan kita dulu untuk modal?" tawarku.
"Simpanan apa? Sadar mas, gajimu tidak cukup untuk biaya setiap hari. Mana bisa disimpan?" jelas gaji duapuluh juta tidak cukup jika gaya hidupnya seperti orang yang berpenghasilan milyaran.