ISTRI BOROS
Part 19
#istriborosSeumpama bunga, kami sedang mekar-mekarnya. Terlintas niat ingin memberinya kejutan. Tapi, apa? Perhiaasan? Sudah banyak. Pernah kuintip satu laci dalam lemari, semua berisi emas berlian. Baju celana apalagi. Di dalam kamar sebelah kiri, ada pintu penghubung dengan ruangan sebelah yang isinya aneka perlengkapan pakaian Risma. Ukurannya sekitar delapan kali delapan meter persegi. Di dalamnya segala jenis ada. Seperti: topi, jaket, sendal, sepatu, tas, dan masih banyak lagi. Mungkin kalau perempuan lain masuk kesana, dia akan bilang 'surga dunia'. Semua tersusun rapi.
Walaupun Risma terbilang perempuan manja dan serba diurusi, berbeda dengan barang-barang pribadi miliknya. Ia menata ruangan itu sendiri dan tidak membolehkan siapapun mengubah posisinya. Jadi, ia tahu persis dimana letak semuanya.
Lalu harus kuberi apa? Uangku pun tak seberapa. Coklat? Ia tidak begitu suka. Tadi kuumpakan hubungan kami seperti bunga. Kenapa tidak tumbuhan itu saja? Kuyakin dia pasti senang. Meskipun aku bukan tipe suami romantis, tapi perubahan Risma mesti diapresiasi. Walaupun hanya setangkai bunga.
***
Di pusat kota terdapat sebuah toko bunga yang lumayan besar. Niat hati mencari mawar, tapi setibanya aneka macam kembang seperti memanggil-manggil. Bunga lili dengan elegannya, carnation, garbera, anggrek, tulip, daffodil yang berarti harapan, dan hydrangea dengan bermacam warna. Begitu memanjakan mata. Saat ingin singgah sejenak, seketika kuingat Anita. Mungkin jika dianalogikan, bunga-bunga ini seperti perempuan merempuan di luaran sana yang terkadang membuat kita lupa tujuan awal.
"Cari bunga apa, Pak?" seorang lelaki paruh baya dengan kacamata yang melekat. Jam tangan mahal kelihatan serta kulit putih dengan mata sipit. Si empunya toko.
"Bunga mawar ada?" tanyaku.
"Banyak, pak. Seri warnanya lengkap. Kuning, orange, merah, pink, putih. Mau pilih yang mana? Atau digabung dalam bentuk buket, pak?"
"Warna merah saja, ko! Saya butuh 30 tangkai." panggilanku. Karena sepertinya memang keturunan cina. Dari dialegnya masih jelas kedengaran.
Pernah kubaca di artikel tentang Bunga mawar bahwa setiap warna memiliki makna tersendiri. Meski semuanya selalu dikaitkan dengan hal romantis. Dan, warna merah sangat tepat untuk mengekspresikan cinta. Juga mengatakan jumlahnya mesti dua belas, karena konon bulan dalam setahun ada segitu. Lain halnya denganku yang memilih tiga puluh sebagai simbol hari. Berharap Risma mengisi hariku setiap saat. Kenapa tidak sekalian 365 tangkai? Terlalu banyak. Uangku sisa sedikit. Hahaha.
"Tunggu yah. Silakan duduk dulu!" tutur si pemilik toko sambil menunjuk sofa abu-abu basah depan meja kasir.
"Tolong sekalian kartu ucapan cinta atas nama istriku koh. Risma!" tambahku.
Sekitar lima belas menit kutunggu di atas kursi sembari melihat jam yang sebentar lagi pukul setengah enam, ia datang membawa buket bunga mawar merah yang sangat indah. Tidak lupa ucapan 'aku mencintaimu' tertera di sepoting kertas berbentuk hati. Apa ini yang namanya belajar romantis? Yang kutahu. Aku berdebar-debar membayangkan senyum merekah Risma ketika tiba di rumah nanti.
"Coba cek namanya, Pak!" ia menjulurkan bunga dengan kartu ucapan menghadapku. Kumiringkan sedikit kepala agar jelas tulisannya.
"Ia, koh!" kuambil bunga sambil memberikan kartu kredit. Setelah proses transaksi selesai, aku pulang ke rumah dengan perasaan gembira.
***
Kurang lebih seperti tadi pagi. Tidak terlalu percaya diri untuk menemuinya. Tanganku gemetar basah menggenggam tangkai sambil berjalan dari parkiran ke rumah. Bunyi *krakk* pintu yang kubuka, beriringan dengan suara rintihan dari arah dalam kamar. Sunyi senyap sekitar, sehingga akan jelas suara menggema dari ruangan. Ada apa dengan Rismaku. Degup bahagia berganti kecemasan yang mengaduk-aduk hati. Dengan sepatu kantor yang masih melekat di kaki, aku berlari mencarinya.
Tubuhku lemas seketika. Seperti tidak bertulang. Nafasku pun serasa ingin menghilang. Di depan ranjang, Risma tergeletak bersimbah darah dari pangkal paha hingga lantai putih berubah warna. Sebuket bunga mawar di tangan jatuh di ujung kaki.
"Kau kenapa?" tanyaku sambil berusaha menggendongya. Ia tak henti merintih kesakitan dengan meremas bagian perutnya. "Mas! Sakit!" ya Tuhan cobaan apa ini. Bagaimana dengan Risma dan calon anak kami.
Kubopong menuju mobil untuk mencari rumah sakit ibu dan anak. Diperjalanan darahnya trus mengalir seiring Risma yang mulai tidak sadarkan diri.
***
Setiba di UGD, istriku ditangani langsung oleh dokter yang sedang bertugas serta beberapa perawat dan bidan juga mendampingi. Aku diarahkan untuk mengisi beberapa data umum untuk pasien seperti nama dan alamat lalu mengambil telepon genggam untuk mengabari orang tua Risma.
Setelah administrasi selesai. Kubuang tubuh di atas kursi tunggu depan UGD. Kutopang kepala dengan tangan lalu memukul berkali-kali. Kalau terjadi sesuatu pada keduanya, tentu aku adalah orang yang paling bersalah disini. Selang beberapa saat, seorang perawat keluar.
"Keluarga pasien atas nama Risma!" kuarahkan pandang menujunya. "Aku suaminya, Sus!" ucapku panik.
"Bapak, silakan menemui dokter obgyn di sebelah sana!" ia menunjuk ke arah ruangan yang bersebelahan dengan istriku."Silakan duduk!" dokter terlihat begitu tenang. Berbanding terbalik denganku yang kacau balau.
"Bagaimana keadaan istriku, dok?" ucapku bergetar.
"Setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan dalam. Juga di USG, istri bapak mengalami keguguran. Padahal Bu Risma memeriksakan kandungannya beberapa waktu lalu, sudah kuberitahu untuk tidak bekerja terlalu berat dan jangan stres karena tidak baik untuk ibu hamil." kedua tangan dokter menyodorkan sebuah hasil pemeriksaan. Mungkin begini maksud orang-orang tentang dunia runtuh. Rasa marah, kecewa, sedih bercampur menjadi satu. Aku menangis sejadi-jadinya di ruangan dokter.
"Seringkali ibu hamil yang baru mengalami keguguran akan tergoncang secara emosional ia butuh istirahat total. Bapak sebagai suami, harus menguatkan istrinya. Jangan seperti ini di depan pasien, karena tentu menambah beban pikirannya" kuseka basah di pipi. Tapi, seperti mata air, tidak ada habisnya.
"Lalu tindakan selanjutnya, dok?" ucapku terbata.
"Saat di USG, seluruh jaringan janin sudah keluar atau disebut keguguran lengkap, jadi istri bapak tidak memerlukan tindakan lebih lanjut. Tapi, saya tetap akan meresepkan obat-obatan untuk mengatasi keluhan pasien yang lain!"
"Juga untuk memastikan kestabilan tubuh, istri bapak biarkan dulu di rawat inap barang satu dua hari.***
Jika berita ini membuatku terpukul, begitupun dengan Risma. Ia jauh lebih terluka dan merasa bersalah tidak becus menjaga kandungannya."Mas, anak kita!"
"Mas, maafkan aku!"Risma terus-terusan menangis di atas ranjang rumah sakit. Tangannya menarik-narik seprei."Maafkan aku, Mas!" ia menatap mataku dengan wajah sendu.
Kuhapus air mata yang menggenang "Sudah, sayang. Tidak apa-apa. Nanti kita bisa punya anak lagi insya Allah!"
"Aku istri tidak berguna. Aku bukan ibu yang baik!" teriaknya.
"Jangan berkata seperti itu!" ucapku.
"Ini balasan atas dosa-dosaku padamu dan ibu, Mas. Aku tidak berguna. Menantu durhaka!" teriaknya lagi.
"Maaf, mas!" masih menangis tersedu-sedu."Ussttt. Tidak apa-apa, sayang! Tuhan masih mau kita menghabiskan waktu berdua dulu!" tangan kananku menggenggam Risma, satunya lagi menyapu-nyapu lembut ubun-ubunya. Kucium berkali-kali untuk menguatkan, walaupuh aku sebenarnya tidak punya tenaga lagi. Sekujur tubuh masih sangat lemah, tapi nasehat dokter tadi masih menggema. Jika ada yang mesti disalahkan, akulah orangnya. Suami tidak berguna.