Seperti biasa, aku lebih dulu tiba di rumah daripada Risma. Kemana lagi kalau bukan meet up dengan teman sosialitanya. Kumpulan para istri yang kebanjiran uang. Wajar saja istriku kelimpungan kalau pulang.
Biaya nongkrong di restoran mewah dan bertanding-tanding ingin membayar, membuat Risma sering mendesak setelah di rumah.Mendesak agar uang yang kuperoleh lebih banyak daripada sekarang.
Ku cek sosial medianya, benar saja. Ia sedang asik makan malam di tempat para konglomerat. Segelas jus jeruk yang harganya ratusan ribu bahkan banyak minuman dibanderol jutaan rupiah. Sulit kujelaskan rasanya karena ketika kuteguk, otakku membayangkan isi dompet.Lidahku yang terbiasa makan-makanan warteg, sulit beradaptasi dengan makanan kebarat-baratan. Beda dengannya yang terbiasa memakan keju yang tidak ada putusnya. Keju apa lagi? Mozarella mungkin namanya.
"Bi, ibu kemana?" tanyaku basa-basi pada salah satu asidten rumah tangga yang membuka pintu.
"Anu, Pak. keluar sama teman-temannya" aku tahu itu.
"Tuan, itu nyonya sudah datang" selang beberapa menit masuk rumah, istriku juga tiba. Padahal hampir sejam menunggunya di teras rumah. Sekalian mencari angin di malam hari.Aku lembur untuk mencari uang tambahan, sedangkan dia sibuk keluyuran untuk menghabiskan uang lembur. Begitu seterusnya. Tapi pokok permasalahan bukan hanya itu saja. Masalah uang, kan memang sepenuhnya tanggung jawabku. Rezeki yang kudapat tentu karena ia bahagia. Bukankah kebahagiaan istri bisa mengundang limpahan nikmat? Yang walaupun dag dig dug setiap tanggal tua habis bulan habis gaji.
Tapi, tingkahnya itu yang membuatku risih dengan ocehan para tetangga, juga adik-adik dan orang tuaku. Ia sama sekali tidak malu ketika mempertontonkan kekonyolannya di akun sosial medianya. Berteriak-teriak tidak jelas di depan kamera. Aku malu!
"Dari mana saja?" tanyaku
"Kemana lagi. Ngumpul sama teman-teman. Kau sibuk, aku bosan di rumah" padahal dialah alasanku giat bekerja.
"Kan untukmu juga. Supaya kau selalu senang." tuturku pelan. Berharap malam ini tidak ada perdebatan panjang.
"Makanya, kalau istri nongkrong jangan diprotes, kan biar senang" ia kemudian berlalu.
"Tunggu!"
"Bisa minta tolong?""Kenapa, ada apa? Jangan yang susah-susah. Aku capek!" belum juga disuruh, sudah mengeluh duluan.
"Buatin teh panas dong. Lama tidak mencoba teh buatanmu!" semoga tak ditolak.
"Maaf yah, Mas. Sebelum ngumpul tadi, aku ke salon dulu. Coba lihat kuteks di kuku, cantik kan?" padahal hanya segelas teh.
"Kan tinggal di seduh, Risma! Tidak mungkin cat kukumu rusak kalau hanya mengambil air panas di dispenser kemudian menyeduh teh!" saking jengkelnya, namanya kusebut.
"Gampang yah? Kalau begitu kau saja yang buat tehnya, Mas. Sekalian untukku satu. Jangan lupa gulanya kurangi sedikit. Eh anuu, mas, tehnya yang pekat. Mau kan? Atau kalau tidak ikhlas, suruh bibi saja." Kena deh!
Secangkir teh panas, mestikah bangunkan pembantu lagi. Kasian seharian sudah bekerja. Lagipula, aku benar-benar rindu dilayani layaknya istri ke suaminya. Tapi, sudahlah. Malas berdebat.
***
Tumben pagi ini sebelum ke kantor Risma lebih dulu mandi dan mengganti pakaian. Kupikir untuk melayaniku. Sekadar membuat sepiring nasi goreng ataukah sepotong roti di atas meja. Tapi mustahil!
"Mau kemana pagi-pagi begini?" tanyaku heran.
"Arisan, mas." jawabnya singkat.
"Tapi bajumu, tidak sopan begitu. Istigfar Risma, auratmu dipertontonkan, dosamu suami yang tanggung" dia hanya memakai celana di atas lutut dan baju yang seperti belum selesai di jahit. Ada lubang di pundaknya.
"Syukurlah, mas kalau dosaku kau yang tanggung. Hehehe" betul-betul tidak ada harganya aku di matanya. Bukannya kaget lalu mengganti baju, ia malah cengengesan.
"Ganti bajumu itu. Tidak baik dilihat orang!"
Nadaku mulai meninggi."Repot amat, sih! Begini kalau menikah sama orang kampung. Ini acaranya di pantai. Masak iya harus pakai jaket tebal di sana." lagi-lagi aku hanya bisa beristigfar.
Besok di acara arisan keluarga, nasibku lebih suram dari ini.
Part 1
https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2838040822924457