ISTRI BOROS PART 18

1K 27 3
                                    

ISTRI BOROS
Part 18
#istriboros

Setelah menimbang-nimbang di perjalanan, kuputar balik arah mobil mumpung belum terlalu jauh. Kuputuskan untuk masuk menemui Risma. Aliran darahku tidak karuan, begitupun jantung dan nafas yang mendadak sulit kuatur. Melangkah sedikit, mundur selangkah. Begitu terus sampai kupejamkan mata dan meyakinkan hati bahwa dulu aku pernah segrogi ini saat berdekatan dengan Risma. Kaki berjalan normal dengan sendirinya, hingga tak terasa telah tiba di pintu kamar utama. Tempatku dengannya memadu kasih dulu.

Kupegang gagang pintu,  dan mengumpulkan nyali untuk membuka. Kudapati Risma duduk di lantai dan bersandar di sisi ranjang. Lututnya dipeluk dan tertunduk.

"Risma!" sapaku. Kupegang pucuk kepalanya lalu memberikan senyum terbaikku.

"Mas!" wajahnya terangkat sedikit ke atas dan menatapku penuh pengharapan. Dan kembali tertunduk saat tangisnya pecah.

"Maafkan mas yang menghukummu sekejam ini." ucapku sembari ikut duduk di hadapannya kemudian menuntunya berdiri. Kupeluk tubuh Risma dengan sangat erat. Ia semakin tersedu-sedu.

"Aku perempuan sial, Mas. Kau dan orang tuamu celaka bertemu denganku!" Kulepaskan Risma dari dekapan lalu menatap matanya. Ia melihat ke bawah, lalu kuangkat dagunya dengan ujung jemari.
"Aku yang salah. Sudah sepantasnya kau memperlakukanku seperti itu!" ucapnya lagi. Spontan telunjukku menutup mulut Risma.

"Kau adalah takdirku. Sejauh apapun aku berlari menjauhimu, kalau berjodoh, kita akan kembali dipertemukan dengan cara tak terduga. Kau adalah aku. Semua salah yang kau toreh karena aku tidak becus mendidikmu." matanya berbinar-binar. Segera kuseka basah yang menutupi wajah cantiknya.

"Sudah, sayang. Jangan menangis lagi. Kesalahan kemarin semoga bisa membuat hubungan kita semakin erat.  Terima kasih sudah berusaha menjadi lebih baik. Kini giliran Risma yang melabuhkan tubuhnya di dadaku. Kubalas dengan memeluknya kembali dengan erat. Pucuk kepala kucium berkali-kali. "Mas, sudah peluknya. Nanti kau terlambat!" ucap Risma yang menyuruhku berhenti. "Biar saja!" kataku.

"Astaga sampai lupa!" aku mengagetkannya. "Kenapa, Mas?" ia melihatku dengan kening mengkerut.

"Aku lupa meminta maaf pada anak kita!"  Risma mengelus-elus perutnya. Saat ingin kusentuh, dia melarang. Katanya malu-malu.

"Sebentar saja!" aku berlutut lalu mecium perut istriku. Dan melantunkan doa "Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa](QS. Ali Imron: 38).

Risma menyapu-nyapu kepalaku. Ku dekatkan telinga berharap ada suara kecil dari dalam, tapi mustahil. Kuselingi dengan nada bercanda ,membisikkan kalimat, "jangan boros seperti ibumu, nak!"  kami tertawa bersama.

"Sudah, Mas. Nanti telat. Nanti gajinya berkurang, aku marah loh!" ucapnya sembari tertawa. Sendu berubah menjadi semburat kebahagiaan. Terima kasih ya Rabb. Tetapkanlah hati hamba berkomitmen hanya dengan satu wanita saja. Risma. Bimbinglah kami agar bisa melewati badai-badai yang siap menerjang biduk rumah tangga kami kapan saja.

"Mas berangkat dulu yah!" posisiku kembali berdiri seraya mencium kening Risma.

"Mukamu berjerawat. Kusam!" ucapku.

"Biar saja, mas. Demi anak ini!" jawaban yang menakjubkan. Seorang perempuan manja berubah drastis setelah kejadian itu.

"Tapi jauh lebih cantik dari sebelumnya!" kubelai lembut wajahnya. Ia memegang tengkuk leherku agar sedikit menunduk kemudian mencium pipiku lama sekali.

"Istirahat yah, jangan capek-capek!" ucapku sebelum berangkat ke kantor.

                                            ***

Setelah perempatan merah pertama yang sudah dekat dari rumah Anita, aku mulai deg-degan. Risih jika ia melakukan hal sama seperti kemarin. Dan, benar saja. Dari kejauhan kulihat ia masih berdiri dipinggir jalan. Tidak menahan satu angkotpun yang lewat di depannya. Hati dipenuhi curiga. Segera kutancap gas mobil lebih cepat sehingga bisa lolos dari Anita. Kenapa juga belum berangkat padahal ini sudah lewat jamnya.

Teleponku berdering.
"Halo, pak! Kenapa kencang sekali cara bawa mobilnya. Sampai kulambaikan tangan, bapak tidak lihat!" ucapnya dibalik telepon.

"O ,iyakah. Maaf. Ada yang mesti kukerjakan di kantor. Jadi tidak sempat memperhatikanmu di jalan. Sudah dulu yah. Aku buru-buru" balasku.

"Pak, tolong kembali ke sini! Aku juga terlambat. Tidak ada angkot yang lewat." ia kembali membujuk.

"Pakai mobilmu saja. Sudah yah. Aku buru-buru. Maaf!" kutekan tombol merah di HPku, lalu menonaktifkannya.

                                               ***

"Kudengar-dengar jabatan ASM akan dikurangi oleh direktur kita yang baru" ucap Faisal berbisik-bisik. Posisi kami sedang di lobby kantor. Ada dua pasang sofa yang saling membelakangi. Jadi mereka tidak melihat bahwa aku sedang duduk di belakangnya.

"Masak? Kok bisa?" itu suara Arman. Kumiringkan sedikit kepala agar bisa mendengar lebih jelas.

"Katanya tidak efektif kalau posisi itu dipegang tujuh orang sekaligus. Terlalu banyak. Jadi, akan ada dua orang yang terancam turun jabatan.!" ucap Faisal lagi.

"Jadi territory/wilayah yang dipegang dua ASM itu akan dibagi-bagi ke lima orang yang bertahan? Begitu?" tanya Arman.

"Iya. Kira-kira seperti itu. Menurutmu, siapa yang akan kena sial? Semoga pak Ibam yah? Faisal cekikikan.

"Jahatnya kamu." kudengar Arman berbicara sambil memukul temannya.

"Siapa suruh selalu dekat-dekat dengan Anita calon istriku!" balasnya. Aku berdiri kemudian berdeham sehingga mereka perlahan tapi pasti membalikkan badan ke arahku. Aku memalingkan wajah, lalu memberinya senyuman. Mereka saling memandang dan menyalahkan.

Begitulah hidup. Kita tidak pernah tahu siapa kawan dan lawan yang sebenarnya. Jangan mengukur kebaikan seseorang saat kita sedang berada di puncak. Karena seringkali tulus dan modus beda tipis.

                                            ***

Jam istirahat adalah hal yang paling kunanti. Hari pertama istriku Risma memberi bekal yang di dalam rantang ada campur tangannya. Meski tak semua. Bibi tentu lebih mendominasi. Saat kuletakkan satu demi satu bagian, Anita tanpa permisi, menerobos masuk dengan membawa bekalnya juga.

"Pak, tadi aku terlambat lagi karena membuatkanmu ini!" ucapnya.

"Tidak usah. Terima kasih. Istriku sudah membuatkan makanan ini. Kau beri saja pada teman yang lain." ucapku.

"Punyaku lebih enak pak. Coba lihat tampilannya." ia membuka kotak berisikan menu ayam goreng, sambal matah dan sayur jagung. Lalu menyingkirkan rantang yang sudah ku sajikan tadi.

"Tidak usah Anita. Kasihan Risma sudah buat ini subuh-subuh!" kutarik kembali tempat makan tadi yang mulai sedikit menjauh dari tanganku.

"Simpan saja ini. Nanti kasih OB saja, Pak. Itung-itung sedekah. Bu Risma bisa dapat amal!" ia tersenyum seolah yang dilakukannya hal baik.

"Apa-apan kamu ini!" ucapku. Anita tersentak. Matanya tidak berkedip sama sekali.

"Pak! Semua ini kulakukan karena kutahu istrimu tidak becus mengurusmu dengan baik" matanya berair.

"Maaf Anita. Seburuk-buruknya Risma. Dia tetaplah istriku. Lagipula, seandainya kau bertemu denganku sebelum menikahinya, kuyakin kau tidak akan sudi berbuat begini. Satu-satunya perempuan yang meyakinkanku memulai dari nol dan memberanikan diri mempersuntingnya. Kembalilah ke meja kerjamu!"

"Lalu kebaikanmu selama ini untuk apa?" Air matanya menyeruak.

"Maaf. Kau hanya kuanggap rekan kerja. Tidak lebih!" berat bibir untuk berucap, tapi lebih baik daripada terus-terusan terjerumus dosa. Ia kemudian berlari keluar ruangan dan meninggalkan rantang dan kotak berserakan di atas meja.

Anita memang sempat menggoyahkan imanku. Berpikir Risma tidaklah lebih baik darinya. Tapi, beruntung logika dan hati masih terkendali. Menyadari diri bahwa sepatutnya seorang suami selalu menundukkan pandangan agar nafsu berahi tidak menguasai. Karena, tentu diluaran sana banyak ribuan wanita yang lebih menarik dari istriku.

ISTRI BOROSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang